KONSEP AKAL DAN WAHYU DALAM PANDANGAN SEKTE DAN FILOSOF ISLAM
A.   Pengertian Akal
Akal adalah daya berpikir yang ada dalam diri manusia dan merupakan salah satu daya dari jiwa serta mengandung arti berpikir, memahami, dan mengerti. Kata akal berasal dari bahasa Arab, kata asalnya ‘aqala yang berarti mengikat dan menahan. Pada zaman Jahiliah orang yang berakal (‘aqil) adalah orang-orang yang dapat menahan amarahnya dan mengendalikan hawa nafsunya, sehingga karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan yang bijaksana dalam menghadapi segala persoalan yang dihadapi. [1]
Selain berarti mengikat dan menahan, akal juga memiliki makna pemahaman dan tadabbur, tentu yang dimaksudkan akal memiliki makna pemahaman dan tadabbur disini adalah akal yang berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama.

B. Pentingnya Akal.
1. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang membedakan manusia dari mahluk lain.
2. Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
3. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal, iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akal-lah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.[2]

C. Kekuatan akal
1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Mengetahui adanya hidup akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4.  Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6.  Membuat hukum-hukum mengenai kwajiban-kwajiban itu.[3]


D.  Pengertian Wahyu
Wahyu adalah pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Ragib Isfahani dalam menjelaskan pengertian wahyu secara literal berkata: akar kata wahyu bermakna isyarat cepat, oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilakukan dengan cepat disebut wahyu.[4] Dan ini bisa berbentuk ucapan bersandi dan berkinayah, atau tidak dalam bentuk kata-kata tapi berbentuk isyarat dari bagian anggota-anggota badan atau dalam bentuk tulisan. 

E. Karakteristik Wahyu
1. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari Tuhan, Pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
2. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
3. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
4. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
5. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia. baik perintah maupun larangan.
7. Sesungguhnya wahyu yang berupa al-qur’an dan as-sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.[5]

F. Kekuatan wahyu
1. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia
3. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
4. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi. [6]

G. Akal dan Wahyu Menurut beberapa Aliran
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam konteks, yang manakah antara akal dan wahyu yang menjadi sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, apa yang baik dan yang buruk, serta tentang kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.  
Aliran Mu’tazilah, berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui empat konsep tersebut. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkand, mengemukakan hal yang sama- kecuali kewajiban menjalankan yang baik dan yang buruk akal mempunyai kemampuan mengetahui ketiga hal tersebut.
Sebaliknya aliran Asy’ariyah, berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan sedangkan tiga hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada tuhan, baik dan buruk serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat diketahui manusia berdasarkan wahyu.
Sementara itu aliran maturidiah Bukhara berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut yakni mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan buruk dapat diketahui dengan akal, sedangkan dua hal lainnya yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang buruk hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Adapun ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh paham Maturidiyah Samarkand dan mu’tazilah, dan terlebih lagi untuk menguatkan pendapat mereka adalah surat as-sajdah, surat al-ghosiyah ayat 17 dan surat al-a’rof ayat 185. Di samping itu, buku ushul fiqih berbicara tentang siapa yang menjadi hakim atau pembuat hukum sebelum bi’sah atau nabi diutus, menjelaskan bahwa Mu’tazilah berpendapat pembuat hukum adalah akal manusia sendiri- dan untuk memperkuat pendapat mereka dipergunakan dalil al-Qur’an surat Hud ayat 24. Sementara itu aliran kalam tradisional mngambil beberapa ayat Al-qur’an sebagai dalil dalam rangka memperkuat pendapat yang mereka bawa . ayat-ayat tersebut adalah ayat 15 surat al-isro, ayat 134 surat Taha, ayat 164 surat An-Nisa dan ayat 18 surat Al-Mulk.

H.Fungsi wahyu
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi aliran kalam tradisional, akal manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik aliran Mu’tazilah maupun aliran Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu.
Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Wahyu diperlukan untuk memberi tahu manusia, bagaimana cara berterima kasih kepada tuhan, menyempurnakan akal tentang mana yang baik dan yang buruk, serta menjelaskan perincian upah dan hukuman yang akan di terima manusia di akhirat. Sementara itu, bagi aliran kalam tradisional karena memberikan daya yang lemah pada akal fungsi wahyu pada aliran ini adalah sangat besar. Tanpa diberi tahu oleh wahyu manusia tidak mengetahui mana yang baik dan yang buruk, dan tidak mengetahui apa saja yang menjadi kewajibannya.
Selanjutnya wahyu bagi kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat.
Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hukuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan. Al-Ghozali mengemukakan,  sekiranya syariatnya tidak ada- manusia tidak aka ada kewajiban mengenal Tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya.
Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan larangan-larangan Tuhan. Al-Baghdadi berkata semuanya itu hanya bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu tak ada kewajiban dan larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja, yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan.  
Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang boleh terjadi.
Adapun aliran Maturidiyah cabang Samarkand wahyu mempunyai fungsi yang kurang, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia. Oleh Karena itu dalam system teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak merdeka. Tegasnya manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka.
Di dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang Samarkand manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.

I.     Hubungan akal dan wahyu dalam Pandangan Filosof Muslim

Al Kindi (185-246 H / 801-860 M)
Menurut al-Kindi jika akal adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari akal identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara akal dan wahyu. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan akal, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks suci agama.

Al Farabi (257 H- / 870-950 M)
Akal dan wahyu sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif.

Ibnu Sina (370-428 H / 980-1037)
Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina membagi filsafat praktis dibagi menjadi (al-hikmah al–amaliyyah) yaitu pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya.
Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.

Ibn Tufail (506-581 H/1110-1185 M) 
               Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn  Yaqzan  malahan menghidupkan  pendapat  Mu'tazilah  bahwa  akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti  adanya  Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia  berbuat baik  dan  menjauhi  perbuatan  jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu  pulau,  jauh  dari  masyarakat  manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran  ilmu  dari Tuhan,  seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi
dan Ibn Sina.
 
Ibn Rusyd (1126-1198 M)
               Dalam  pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain, menegaskan  bahwa  antara  akal  dan   wahyu tidak   ada pertentangan,  karena  keduanya  membicarakan  kebenaran,  dan kebenaran tak berlawanan dengan  kebenaran.  Kalau  penelitian akal  bertentangan  dengan  teks  wahyu  dalam  al-Qur'an- maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti  ta'wil  adalah meningga]kan  arti  lafzi  untuk  pergi ke arti majazi. Dengan kata lain,  meninggalkan  arti  tersurat  dan  mengambil  arti tersirat.  Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
               Menurut Ibn Rusyd akal dan wahyu suatu harmoni yang saling melengkapi.  Dan dalam   harmoni   ini   akal   mempunyai   kedudukan   tinggi. Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan  di  sana dikenal  dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah kebenaran  ganda,  yang  mengatakan  bahwa  pendapat  filsafat benar,   sungguhpun   menurut  agama  salah.  Agama  mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah  yang  menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.

Mulla Sadra (979-1050 H / 1571-1641 M)
Mulla Sadra sejak muda telah menguasai Teologi (Ilmu Kalam) secara sangat mendalam baik pada fase pelajarannya di Syirāz, Qazwin ataupun Isfahan dia selalu bersentuhan dengan Teologi sehingga pada usia sangat muda, Mulla Sadra sudah menguasai Teologi secara matang. Beberapa kitabnya yang ditulis pada fase-fase belajarnya merangkum kritik-kritik tajamnya kepada Mu’tazilah yang menyandarkan sepenuhnya pada akal sehingga cenderung mengabaikan nash-nash Syari’at dan Asy’ari yang cenderung mengabaikan akal dan hanya menganggap bahwa semata kebenaran hanyalah syari’at. Bagi Mulla Sadrā keduanya berada pada dua titik ekstrim yang sama bahayanya. 
Akal dan Wahyu ketika masih berada dalam wacana Asy’arian dan Mu’tazilah menjadi dua hal yang selalu beroposan, pada al-Hikmah al-Muta’āliyyah menjadi sekeping mata uang yang hanya berbeda sisinya. Argumentasi-argumentasi filosofis Mulla Sadrā menjangkau nash-nash tersebut dan memberikannya dalil-dalil rasional. Mulla Sadrā membuktikan bahwa wahyu dan hakikat yang diajarkan para Nabi bukan hanya dapat dibuktikan secara rasional akan tetapi keduanya sama sekali tidak memilki pertentangan sedikitpun. Wahyu dan Akal merupakan sebuah kesatuan dari gambaran kemanunggalan Wujud Tuhan.
Mulla Sadrā memandang akal dalam dua hal penting ; pertama, Seluruh asal dari kebenaran wahyu dan kenabian serta agama berasal dari akal dan merupakan jembatan untuk sampai pada syariat. Kedua, akal manusia meskipun derajatnya lebih rendah dari wahyu dan agama dalam membimbing manusia akan tetapi kejelasannya dan benderangnya tidak kurang dari wahyu. Meskipun demikian tidak sedikitpun terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Akal yang sehat dengan Wahyu yang benar dalam pandangan Mulla Sadrā, keduanya adalah satu warna. [7]
Bagi Mulla Sadrā akal dan wahyu merupakan hal yang satu dan berasal dari tempat yang satu yaitu Ruh Kesucian (Ruh al-Quds) atau Intelek Aktif (Aql Fa’āl) dan bagi Mulla Sadrā tidak terbayangkan diantara kedua hal tersebut terjadi pertentangan. Karenanya Akal berfungsi sebagai penopang rasional bagi penyaksian ruhaniah (Musyāhādah) dan penyaksian ruhaniah merupakan puncak tertinggi dari upaya menyerap pengetahuan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan Mulla Sadrā mengambil tiga sumber mendasar dan melakukan harmonisasi diantara ketiga hal tersebut dan menjadikan warna filsafat tersendiri yang jauh lebih sempurna dari pemikiran yang berkembang sebelumnya. Karenanya ada banyak tokoh yang memandang Mulla Sadrā sebagai Filosof Peripatetik, Teosof Iluminasi sekaligus Teolog Islami.
Menurut Mulla Sadra, seorang filosof Islam dimana filsafatnya mencerminkan pengaruh timbal balik akal dan wahyu, berpendapat bahwa wahyu hakiki dan pesan hakiki Tuhan tidak kontradiksi dengan proposisi akal (bagian ketiga). Dalam tinjauan tersebut, dia berkata, “Maka kami bawakan dalil kuat yang berkaitan dengan topik ini, sehingga diketahui bahwa syariat dan akal memiliki kesesuaian sebagaimana dalam hikmah-hikmah lainnya, dan mustahil syariat Tuhan yang benar dan hukum-hukum-Nya berbenturan dan bertentangan dengan makrifat-makrifat akal dan argumentasi rasional, dan binasa bagi filsafat yang teori-teorinya tak sesuai dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya.


[1]Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 1994), vol 1 h, 98

[2] Harun, Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1987)  h,  44
[3] Ibid., h 44
[4] Di dalam al-Qur’an terdapat lafal-lafa wahyu, yang kurang lebih disebutkan tujuh puluh kali dan memiliki beberapa arti. Misalnya dalam surah Maryam ayat 11 dipakai dalam arti “isyarat”, dalam surah an-Nahl ayat 68 dipakai dalam arti “ilham, dan dalam surah asy-syuara ayat 13 diartikan sebagai “wasiat”.  Lihat, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar van Hoeve, 1994), vol 5 h, 164
[5] Majid,  Najjar, Pemahaman Islam, (Bandung: PT. Remaja Rodsakarya, 199[5]) h, 19
[6] Harun, Nasution, Op. Cit., h. 44
[7] Mulla Sadra, Muqaddimah., h. 280. Lihat, http://abikholid.blogspot.com/2008/05/mulla-sadra.html


Post a Comment

 
Top