Barang siapa memberikan kemudahan terhadap orang yang dalam kesusahan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya selama ia masih menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Suatu kali, Ibrahim bin Adham berbincang-bincang dengan Syaqiq al-Bakhi, muridnya di dalam tasawuf. Semula Syaqiq al-Balkhi adalah seorang bisnisman dari Balkh. Tapi karena tertarik pada tasawuf dia tinggalkan bisnisnya. Ibrahim bertanya, “Mengapa kamu tinggalkan bisnismu kemudian menjadi pengikutku.” Syaqiq berkata, “Ketika saya menjadi bisnisman, saya selalu dilanda ketidakpastian tentang bisnis saya di masa depan. Saya selalu resah. Sampai suatu saat saya berada di padang pasir yang jauh dari kehidupan. Saya lihat ada seekor burung jatuh menggelepar-gelepar karena patah sayapnya. Saya berpikir, malang benar burung itu. Pastilah dia akan mati karena tidak ada makanan baginya. Ketika saya berpikir begitu, tiba-tiba ada burung lain terbang, di paruhnya ada makanan. Lalu dia jatuhkan makanan itu kepada burung yang patah sayapnya. Akhirnya saya berpikir, kalaulah burung saja pasti dapat makanan dan dapat meneruskan hidupnya dalam keadaan apapun, tentulah manusia lebih dari itu.” Ibrahim bin Adham lantas berkata, “Kenapa engkau hanya memikirkan burung yang patah sayapnya dan tak berdaya itu, sementara engkau tidak berpikir untuk burung yang terbang dan memberikan makanan kepada sesamanya yang kelaparan dan membutuhkan?”
Menyimak nasehat Ibrahim bin Adham kepada Syaqiq al-Bakhi di atas, mengingatkan kita sebagai ummat manusia, kita harus dapat menjadi umat beriman yang produktif, dalam artian selalu berorientasi untuk memberi kebahagian pada orang lain. Karena kebahagiaan kita sangat dipengaruhi bagaimana kita memperlakukan orang lain. Jika yang kita inginkan adalah kebahagiaan yang penuh dengan cinta, maka perlakukanlah semua orang dengan kasih yang tulus dan semangat memberi tanpa pamrih. Seperti kata pepatah, "Apa yang kita tabur dan tanam, itulah yang akan kita panen dan nikmati," Orang pertama yang meraih manfaat dari sebuah usaha untuk membahagiakan orang lain adalah pelakunya sendiri.
Tuhan sungguh Maha Pengasih. Dia selalu memberi kita lebih banyak dari yang kita perkirakan dan inginkan. Pada saat kita menanam beberapa butir padi, kita akan memanen beberapa karung beras, tetapi tentu langkah awal yang  harus kita lakukan adalah segera ke ladang dan mulai mencangkul. Hal sama juga terjadi manakala kita berusaha meringankan kesulitan orang lain, membantu orang-orang yang membutuhkan, menolong orang-orang yang tertindas, dan menghibur orang-orang yang sedang tertimpa musibah, maka kita akan mendapati kebahagiaan mengelilingi kita dari segala penjuru arah.  
Tanpa kita sadari, perlahan-lahan kebaikan yang tulus itu akan berdampak pada perubahan yang positif bagi diri kita dan orang lain. Laksana nyala api sebuah lilin kecil yang memiliki kemampuan untuk menyalakan puluhan ribu lilin kecil lainnya. Cukup hanya dengan menyalakan sebatang korek api yang digunakan untuk menyulut sebatang lilin kecil dan nyala apinya dapat disebarkan ke ratusan, ribuan, bahkan jutaan lilin lainnya.
Oleh karena itu, berusahalah sebisa mungkin untuk menjadi nyala api yang pertama yang menyalakan lilin yang lain. Ingatlah baik-baik, kebahagiaan jiwa kita akan menuntun orang lain menuju kebahagiaan. Sebagaimana yang disinyalir  pepatah cina kuno, “Berilah seekor ikan pada seseorang, dan kita telah memberinya lauk pada hari itu. Ajarilah mereka cara untuk mendapatkan ikan, dan kita telah memberinya lauk untuk seumur hidupnya.” Menebarkan kebahagiaan kepada orang itu bagaikan harumnya bunga mawar, ia dapat memberikan keharuman kepada si penanam. Dan orang-orang yang berada di sekitarnya ikut merasakan kenyamanan serta keuntungan kepada si penjual.
Bahkan, meskipun kita hanya mampu memberikan seutas senyum simpul ketika berjumpa dengan orang lain, maka kita telah berbuat amal kebajikan yang adiluhung. Nabi Muhammad, Bersabda, “Jangan anggap remeh suatu perbuatan baik, bahkan jikapun kamu bertemu saudaramu dengan muka tersenyum (karena itu adalah perbuatan yang berat timbangan kebaikannya)." 
Budi Munawar Rahman mengemukakan, kemampuan seseorang untuk berbagi dengan sesamanya. Hal itu menggambarkan bahwa ia telah sampai puncak cinta yang tertinggi. Cinta yang mewujud dalam kata “ke-kita-an,” atau dalam bentuk “cinta persaudaraan” (brother love), adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang paling fundamental, karena menyangkut rasa tanggung jawab, perhatian respek atau hormat pada setiap makhluk manusiawi lainnya, dalam keingingan memajukan hidupnya, yang bersumber pada afeksi murni, rasionalitas dan daya produktifitas. Sebagaimana yang tergambar dalam puisi Rumi berikut ini,
Karena cinta, duri menjadi mawar
Karena cinta, cuka menjelma anggur segar
Karena cinta, pentungan jadi mahkota penawar
Karena cinta, kemalangan menjelma keberuntungan
Karena cinta, rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar
Karena cinta, tumpukan debu tampak sebagai taman
Karena cinta, batu keras menjadi lembut bagai mentega
Karena cinta, duka menjadi riang gembira
Karena cinta, sakit jadi sehat
Karena cinta, amarah berubah menjadi keramah-tamahan.

Apabila seseorang ingin hidup bahagia, maka ia sebaiknya ikut mengusahakan kebahagiaan untuk orang lain, karena kebahagiaan seseorang bergantung pada kebahagiaan orang lain dan kebahagiaannya.
Tudor Drizer

Post a Comment

 
Top