Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa nafs tidak tersusun dari substansi-substansi yang terpisah, bukan pula dari materi dan forma. Selain itu, nafs bukan bersifat fisik dan bukan pula esensi yang merupakan sifat yang bergantung pada yang lain. Sesungguhnya nafs berdiri sendiri dan tetap ada setelah berpisah dari badan ketika kematian datang. Dia menyatakan bahwa kata al-ruh juga digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalam badan dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa (nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga angin juga disebut ruh. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa kata ruh dan nafs mengandung berbagai pengertian, yaitu: Ruh adalah udara yang keluar masuk badan. Ruh adalah asap yang keluar dari dalam hati dan mengalir di darah. Jiwa (nafs) adalah sesuatu itu sendiri, sebagaimana firman Allah, Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang … (QS. al-’An’am, 54). Jiwa (nafs) adalah darah yang berada di dalam tubuh hewan, sebagaimana ucapan ahli fiqih, “Hewan yang memiliki darah yang mengalir dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir”. Jiwa (nafs) adalah sifat-sifat jiwa yang tercela atau jiwa yang mengikuti keinginannya. Tentang tempat ruh dan nafs di dalam tubuh, Ibnu Taimiyah menjelaskan: “Tidak ada tempat khusus ruh di dalam jasad, tetapi ruh mengalir di dalam jasad sebagaimana kehidupan mengalir di dalam seluruh jasad. Sebab, kehidupan membutuhkan adanya ruh. Jika ruh ada di dalam jasad, maka di dalamnya ada kehidupan (nyawa); tetapi jika ruh berpisah dengan jasad, maka ia berpisah dengan nyawa”. Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa jiwa manusia berjumlah satu, sementara al-nafs al-ammarah bi al-su’, jiwa yang memerintahkan pada keburukan akibat dikalahkan hawa nafsu sehingga melakukan perbuatan maksiat dan dosa, al-nafs al-lawwamah, jiwa yang terkadang melakukan dosa dan terkadang bertobat, karena didalamnya terkandung kebaikan dan keburukan; tetapi jika ia melakukan keburukan, ia bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Dan dinamakan lawwamah (pencela) karena ia mencela orang yang berbuat dosa, tapi ia sendiri ragu-ragu antara perbuatan baik dan buru, dan al-nafs al-mutmainnah, jiwa yang mencintai dan menginginkan kebaikan dan kebajikan serta membenci kejahatan.

Post a Comment

 
Top