“Tidak ada sesuatu mushibah pun yang menimpa seseorang ke­cua­li dengan izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, nis­caya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Ma­ha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. at-Taghâbun (Hari Ditampakkan Kesalahan-Kesalahan) [64]: 11)
Mungkin di antara kita pernah bertanya dalam ha­ti. Ke­na­pa sering terjadi bencana alam dan ke­ma­nusiaan seperti; gem­pa bumi, tsunami, banjir ban­dang, dan peperangan? Me­nu­rut Ali Syariati, se­bagian orang tidak berhasil menjawab per­ta­nya­an di atas karena mereka menjawab persoalan tersebut meng­­gunakan logika mereka sebagai manusia. Padahal logika ma­­nu­­sia sangat terbatas dan tidak semua fenomena di dunia ini sanggup di jawab oleh logika manusia. Jonh C. Maxwel, me­­na­­makannya God factor. God factor adalah hal-hal yang ber­ada da­lam kekuasaan dan jangkauan Allah.
Sebagaimana peristiwa yang terjadi pada Nabi Musa. Keti­ka Dia sedang menyampaikan khutbah di tengah-tengah ka­um Bani Israel. Dia menasehati dan mengingatkan kaum Ba­ni Is­ra­el dengan ayat-ayat Allah. Ketika dia selesai dari khut­bah­nya, tiba-tiba ada seorang lelaki bertanya: “Siapakah di an­tara penduduk negeri ini yang alim? Nabi Musa menjawab: “Aku adalah orang yang pernah berbicara dengan Allah.’’ Na­mun Allah mewahyukan kepada Musa bahwa ada seorang ham­ba Allah yang lebih alim (lebih dalam ilmunya) dari diri­nya. Mendengar penjelasan itu Musa bermaksud mencari orang tersebut dan hendak berguru kepadanya. Berdasarkan tun­tun­an dan bimbingan Allah akhirnya Musa bertemu dengan ham­ba pilihan tersebut dia adalah Nabi Khidir.
Nabi Musa mengucapkan salam kepada hamba pi­lih­an tersebut untuk memulai perkenalan. Hamba yang shaleh ber­­tanya kepada Nabi Musa: “Siapa engkau? Nabi Musa men­ja­wab: “Aku adalah Nabi Musa” Dia bertanya kembali kepa­da­­nya: “Nabi Musa, seorang nabi bagi kaum Bani Is­ra­el? Na­bi Musa menjawab: “Ya, engkau benar. Siapa yang mem­be­ritahumu tentang diriku?” Hamba yang shaleh men­ja­wab: “Yang memberitahuku adalah Allah yang telah me­ngi­rim dirimu kepadaku. Maka, tahulah Nabi Musa bahwa le­laki ter­se­but adalah orang yang selama ini ia cari dan karena di­ri­nya­lah ia melakukan perjalanan yang sangat jauh.
Nabi Musa meminta kepada hamba yang shaleh tersebut agar dirinya diperkenankan mengikuti dirinya guna menuntut il­mu darinya. Hamba yang shaleh tersebut menerima Nabi Mu­sa untuk ikut bersama dengannya, dengan syarat ia bisa men­jaga kesabaran dirinya, dan tidak menentang atau me­nyang­gah dirinya, meskipun ia melihat di dalam tingkah lakunya (per­buat­an­nya) nanti secara kasat mata tidak sesuai dengan pe­mi­kir­an atau hatinya. Dia boleh menyanggah dan menentang per­buatannya tersebut, apabila ia telah selesai menjelaskan ke­benaran dari permasalahannya. Maka terjadilah kesepakatan antara Na­bi Musa dengan hamba pilihan tersebut.
Namun proses belajar mengajar itu tidak berlangsung la­ma, karena Nabi Musa tidak sabar dan tidak mampu me­ma­ha­­mi pelajaran yang diterimanya dari Nabi Khidir. Materi pe­­la­jaran itu diantaranya; Khidir melubangi perahu yang me­­re­ka tumpangi, Khidir membunuh seorang anak serta Khi­­dir membetulkan dinding rumah di sebuah desa yang pen­­du­­duk­nya memiliki sifat bakhil. Tentu saja ketiga materi pelajar­an yang di­ajarkan Khidir ini mengundang protes Nabi Musa. Sehingga pro­ses belajar mengajar ini tidak dilanjutkan, karena Nabi Mu­sa telah melanggar perjanjian yang mereka sepa­kati, yaitu Nabi Mu­sa harus dapat menahan diri dan tidak me­nen­tang apa yang akan diperbuat oleh Nabi Khidir sebelum adanya pen­je­las­an (keterangan) dari Nabi Khidir.
Nabi Khidir akhirnya menjelaskan kepada Nabi Musa me­nge­­nai hakikat dan kebenaran tindakan yang telah ia perbuat, yang menurut  pandangan Nabi Musa  adalah per­­buat­an yang tidak terpuji. Nabi Khidir  menjelaskan maksud dan  tujuan ia melubangi perahu tersebut hingga ru­sak. Dia berkata: “Adapun perahu, maka ia adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, maka aku ingin men­ja­dikannya memiliki cela karena di balik sana ada raja me­ngambil setiap perahu secara paksa.” (QS. al-Kahfi [18]: 79). Seandainya perahu tersebut tidak dirusak (dilubangi) oleh Khidir, maka tentulah para prajurit raja yang zalim tersebut akan ber­bu­at semena-mena dan merampas perahu-perahu milik orang-orang miskin.
Kemudian Khidir menjelaskan sebab mengapa dia mem­bu­nuh anak kecil yang mereka jumpai. “Dan adapun si anak, ma­ka kedua orang tuanya adalah dua orang mukmin, dan ka­mi khawatir dia akan membebani kedua orang tuanya ke­dur­hakaan dan kekufuran. Maka kami menghendaki, kiranya Tu­han mereka berdua mengganti bagi mereka berdua yang lebih ba­ik darinya (dalam hal) kesucian dan lebih dekat (dalam) ka­sih sayang (-nya).” (QS. al-Kahfi: 80-81).
Mengenai dinding rumah yang hampir roboh dan dia per­baiki hingga kembali baik seperti sediakala, maka Khidir men­jelaskannya: “Adapun dinding itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya terdapat sim­pan­an bagi mereka berdua, sedang ayah keduanya adalah se­orang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar su­pa­ya keduanya mencapai kedewasaan mereka berdua dan mengeluarkan sim­pan­annya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan aku tidaklah me­lakukannya berdasar kemauanku. Demikian itu makna apa yang engkau tidak dapat sabar menghadapinya.” (QS. al-Kahfi [18]: 82).
Seperti Nabi Musa, sebagian orang memahami suatu fe­no­mena berdasarkan logikanya semata. Padahal tidak semua feno­me­­na bisa dijawab dengan logika manusia. Seperti peristiwa yang saya alami. Dulu saya tidak bisa memahami kenapa Allah mengirimkan orang-orang yang memiliki karakter bu­ruk dalam hidup saya. Namun seiring bergulirnya sang waktu dan bertambahnya kedewasaan serta kejernihan pandangan da­lam menilai suatu masalah, akhirnya saya menyadari bahwa Allah mengirimkan orang-orang yang memiliki karakter buruk (vam­pire emotions) dalam hidup saya itu adalah cara Allah meng­ajarkan apa arti terdalam dari angel emotions (emosi yang selalu berorientasi pada kebaikan).
Peristiwa serupa juga pernah dialami oleh Guruh Soekarno Put­ra. Tak selamanya menjadi anak bangsawan selalu hidup ber­­ge­­limang tawa merekah serta kebahagiaan merona. Buk­ti­nya Put­­ra Proklamator RI itu mengaku tidak bisa hidup bebas le­­lua­sa mes­ki dia menjadi anak mantan orang nomor satu di negeri ini.
Tekanan hidup paling berat dia alami ketika melihat orang­tua­nya “dizalimi” banyak orang, selepas tahun 1965. “Hati saya hancur berkeping-keping, marah, dendam kesumat,” kata­nya. Namun Guruh sadar, bila dia terbawa hanyut dalam nafsu ang­kara murka dan dendam kesumat, hidup semakin terasa sakit seperti dunia menghimpit dan selalu dibayang-bayangi belenggu masa lalu yang kelam.
Dia pun belajar berdamai dengan situasi yang tidak mem­ba­ha­giakan itu. “Saya dengarkan amarah orang-orang yang ku­rang menerima keluarga saya. Di situlah saya mulai belajar ber­ikh­las,’’ tutur pendiri sanggar tari Swara Mahardika ini. Setelah de­wasa barulah anak bungsu Soekarno ini sadar, semua yang ter­jadi di dunia bukanlah kebetulan. Semua adalah campur ta­ngan Allah. Dan katanya, “Inilah cara Allah mendidik saya, me­lalui hati nurani.”
Ya, terkadang kita perlu mengubur dalam-dalam kenangan bu­ruk, serta berusaha sekuat tenaga untuk terlahir kembali men­ja­di hero, karena kita terlahir untuk menang (We are born to Win). Sebelum mengakhiri bab pertama ini, perkenankanlah sa­ya menuliskan kembali sebuah petuah indah yang saya baca dari tulisan Haidar Bagir. Isi petuah ini men­ceritakan tentang perjalanan hidup seorang hamba yang me­mohon kepada Allah untuk terhindar dari segala macam ben­tuk kegagalan, kesusahan, kesombongan, dan penderitaan. Na­mun Allah mempunyai jawaban lain yang tidak terpikirkan oleh kita, tapi rupanya inilah cara terbaik Allah mendidik kita agar menjadi insan yang lebih kuat serta memiliki ketegaran yang kokoh.

Post a Comment

 
Top