“Sesungguhnya, Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan te­ladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali, bukanlah dia termasuk orang-orang yang menyekutukan (Tuhan), (lagi) yang men­syukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menun­jukinya pada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaik­an di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar terma­suk orang-orang yang saleh. Kemudian, Kami wahyukan kepa­da­mu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang ha­nif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang menyekutukan Tuhan.”
(QS. an-Nahl, (Lebah) [16]: 120-123)
Nabi ibrahim dan istrinya Saydah Hajar baru saja men­dapat anugerah dari Allah berupa kehadiran se­orang bayi mungil di tengah-tengah kehidupan me­reka, yang telah lama mereka rindukan ke­ha­diran­nya. Bayi mungil nan lucu itu diberi nama Ismail. Baru saja Nabi Ibrahim mereguk kebahagian dengan lahir­nya buah hati terkasih yang ia nantikan puluhan tahun. Allah memerintahkan Ibrahim pergi ke Kan’ân. Itu pertanda ia ha­rus segera pergi meninggalkan istri dan anaknya tercinta. Ib­rahim tidak sampai hati meninggalkan istri dan anaknya di pa­dang pasir gersang nan tandus- sepanjang mata memandang ter­lihat hanyalah bentangan padang pasir. Namun apa hendak di­kata, karena ini merupakan perintah Allah tidak ada pilihan lain, Nabi Ibrahim sangat memahami apa pun yang menjadi perintah Allah itu adalah yang terbaik.
Setelah sekian lama berpisah dengan anak dan istrinya tercinta, Ibrahim mendapat restu Allah menjumpai mereka. Na­mun, kebersamaan yang baru saja dirasakan Ibrahim be­ser­ta keluarga tercintanya tidak berlangsung lama. Allah kem­ba­li me­nguji keimanan dan kecintaan Ibrahim kepada-Nya. De­ngan me­me­rintahkan Ibrahim menyembelih putra ke­sayangannya.
Subhanallah, sungguh sebuah ujian teramat berat bagi Ib­ra­him. Terlebih lagi ia baru saja berkumpul dengan istri dan anak­nya setelah berpisah sekitar dua belas tahun lamanya. Ibrahim di­ha­dap­kan dua pilihan yang sulit, dia tetap mencintai Allah dengan me­laksanakan perintah-Nya atau menuruti hawa nafsu­nya men­cintai dunia dengan mengabaikan perintah Allah.
Namun sebuah kebijaksanaan yang luhur ditunjukkan Na­­bi Ibrahim tatkala perintah penyembelihan putranya Is­mail. Ia tidak buru-buru mengambil keputusan melainkan men­dis­ku­sikannya dengan Ismail, karena ini menyangkut nasibnya. Dia­log keduanya terekam dalam surat ash-shaffat, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang di perintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS. ash-Shaffat [37]: 102).
Sikap demokratis yang dipertontonkan Ibrahim menjadi pelajaran penting bagi para orang tua dalam mendidik dan mengasuh anaknya. Karena sering kita jumpai, adanya sebagian orang tua yang dalam mendidik anak-anak mereka masih mengajarkan untuk bergantung pada pendapat orang lain daripada pendapatnya sendiri. Padahal sebagai bagian dari umat Islam, seyogyanya kita meneladani Nabi Ibrahim dalam mendidik dan membesarkan anak sebagai titipan Allah. Kejadian seperti ini pernah dialami oleh Kahlil Gibran, Sang Maestro Sastra Arab. Tatkala puisi-puisinya dicemooh dan ditertawakan ayah kandungnya. Mungkin dari penolakan ayahnya itulah Gibran menuliskan dalam bukunya The Prophet (Sang Nabi), mengenai kebebasan seorang anak. “Anakmu tidaklah sama seperti dirimu, mereka adalah putra dan putri kehidupan yang mempunyai dunia yang berbeda denganmu. Mereka terlahir dari kamu namun mereka bukan milikmu. Sekalipun mereka hidup bersamamu, namun kamu tidak berhak menentukan hidup mereka.”
Ribuan tahun silam sebelum orang mengenal The Prophet (Sang Nabi) karya Sang Maestro Kahlil Gibran, Ibrahim su­dah lebih dulu mengajarkan, bagaimana orang tua harus meng­har­gai pendapat orang lain, sekalipun dia anaknya sendiri. Ja­uh sebelum orang membaca buku Your Erroneus Zones karya Wayne D. Dyer, Nabi Ibrahim sudah lebih dulu mengajarkan ba­gai­mana memberikan penghargaan dalam kehidupan berkeluarga.
Sebuah kesabaran dan ketulusan yang sulit dilukiskan un­tuk kesekian kalinya, di pertontonkan Ismail tatkala dengan ke­tun­dukan dan kepatuhan kepada Allah, ia menganjurkan kepa­da ayahnya untuk menaati perintah Allah. Padahal perin­tah itu berkaitan dengan kelangsungan hidupnya. Sungguh se­buah kepribadian yang langka, ditengah-tengah kehidupan ma­sya­ra­kat modern yang gampang sekali menggadaikan akidahnya de­ngan harga yang sangat murah. Hanya karena takut dibilang ke­ting­galan zaman orang begitu berani membuang iman dalam hati­nya. Agaknya kita perlu merenung sejenak di tengah-te­ngah kejenuhan dan kepenatan kehidupan metropolis ini. Un­tuk mengintropeksi diri, bertanya kepada diri sendiri, benar­kah kita sudah mencintai Allah di atas segalanya atau justru se­baliknya, ada udang di balik batu.
Ibrahim dan Ismail telah menunjukkan kapasitas dan kua­li­tas mereka sebagai hamba pilihan. Mereka percaya bahwa ke­ten­tuan Allah adalah yang terbaik. Karena ketentutan Allah sela­lu berkiblat pada kebaikan bagi manusia untuk tetap ber­iman kepadanya. Bukan kepada kalkulasi dagang untung rugi yang bersifat duniawi. Beruntunglah sebuah bangsa yang dipim­pin oleh mereka yang punya kepekaan nurani, akal sehat, dan ke­tulusan seperti Ibrahim dan Ismail.
Tatkala keduanya telah benar-benar taat dan berserah diri, ma­ka Allah menyeru Ibrahim dan seraya memujinya karena telah melaksanakan ujian yang amat berat yang ditimpakan kepadanya. Kemudian Allah mengganti sembelihan itu dengan seekor kambing yang gemuk, sehat, dan besar. Kesabaran yang diperlihatkan kedua Nabi ini kisahnya telah diabadikan Allah dalam al-Qur’an. Ibrahim dan keluarganya mengajarkan kepada kita bagaimana mencintai Allah setulus hati dan sepenuh jiwa tanpa persyaratan apa pun.
Demi cintanya kepada Allah, Ibrahim ikhlas berkurban secara holistik (menyeluruh) untuk mensyi’arkan agamanya. Karena ketulusan cintanya kepada Allah Saydah Hajar ikhlas merawat dan membesarkan anaknya di tengah kesunyian padang pasir yang nyaris tanpa harapan, dalam waktu yang tidak singkat. Pengorbanan yang besar pun ditunjukkan Isma’il untuk berbakti kepada Allah dan kedua orang tuanya. Jadi, tidaklah berlebihan kalau orang bijak mengungkapkan love is sacrifice.
Sebagai bukti kemuliaan pengorbanan Nabi Ibrahim dan keluarganya, kisah pengorbanan mereka diabadikan dengan penyembelihan hewan qurban pada Hari Raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha adalah simbol untuk menumbuhkan sense of sacrifice, (jiwa yang mau berkurban) bagi seluruh umat manusia. Semangat berkurban seyogyanya tidak berhenti pada ritual memotong hewan kurban dan membagi-bagikannya kepada orang yang berhak menerimanya. Namun lebih dari itu, spirit berkurban lebih mengarah pada tumbuhnya kesadaran holistik  (menyeluruh) yang positif dan humanis pada diri seseorang.
Setiap orang tentu ingin mengisi waktu yang tersisa dalam hidupnya bertabur prestasi. Prestasi itu sulit untuk diraih, bila ia tidak mau berjuang. Karena makna hidup itu sendiri adalah perjuangan, anugerah, permainan, dan amanat. Tidak ada kehidupan tanpa perjuangan. Namun, dalam perjuangan itu seseorang dituntut untuk berani berkorban. Karena pengorbanan itu adalah harga yang harus dibayar untuk memperoleh sebuah keberhasilan. Meminjam ungkapan orang bijak, “There is no success without sacrifice.”
Makna Terindah Sebuah Ketulusan
•    Keluarga Nabi Ibarahim adalah profil keluarga yang benar-benar memiliki ketulusan dan keikhlasan yang sempuna dalam mencintai Allah. Seorang Muslim diperintahkan untuk mencitai Allah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits. “Tidak beriman seseorang diantaramu hingga Aku lebih dicintai olehnya dari pada anaknya dan orang tuanya serta manusia seluruhnya.” (HR Bukhari Muslim)
•    Sesungguhnya yang kita cari di dunia ini bukanlah gemuruh tepuk tangan, akan tetapi bagaimana kita dapat merengkuh keridhaan Sang Khaliq. Karena kalau kita berani jujur, itulah puncak tertinggi dari kebahagiaan yang sejati.
•    Setiap orang tentu ingin mengisi waktu yang tersisa dalam hidupnya bertabur prestasi. Prestasi itu sulit untuk diraih, bila ia tidak mau berjuang. Karena makna hidup itu sendiri adalah perjuangan, anugerah, permainan, dan amanat. Tidak ada kehidupan tanpa perjuangan. Namun, dalam perjuangan itu seseorang dituntut untuk berani berkorban. Karena pengorbanan itu adalah harga yang harus dibayar untuk memperoleh sebuah keberhasilan. Meminjam ung­kap­an orang bijak, “There is no success without sacrifice.”
     “Dijadikan indah bagi manusia kecintân kepada aneka syahwat, yaitu wanita-wanita, anak-anak lelaki, harta yang tidak terbilang lagi berlipat ganda dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik.”
(QS. Ali-Imrân (Keluarga ‘Imran) [3]:14)

Post a Comment

 
Top