A.  Definisi Teori dan Macam-macamnya

Teori adalah serangkaian hipotesa atau proposisi yang saling berhubungan tentang suatu gejala (fenomena) atau sejumlah gejala. Definisi ini sebetulnya sudah cukup menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan teori, akan tetapi tidak berarti bahwa definisi tersebut di atas adalah satu-satunya definisi tentang teori. Beberapa definisi lain tentang teori sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan berikut ini;

“Theories are sets of statement, understandable to other, which make predictions about empirical events.”[1]
“It will be convenient for our purposes to define a theory simply as a  set of statement or sentences.”[2]
“Basically, a theory consists of one or more functional statements of proportions that treat the relationship of variable so as to account fo a phenomenon or set fo fenomena.”[3] 
“The term theory is normally applied to the higher order integration of hypotheses into systematic networks that attempt to describe  and predict broader ranges of events by allowing one hypothesis to quality another or to specify the conditions under which another will appropriate.”[4]

Dari berbagai definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa teori di satu pihak adalah ringkasan fakta-fakta dan pihak lain merupakan perkiraan tentang implikasi (akibat) dari fakta-fakta tersebut dan kemungkinan hubungan antara fakta-fakta tersebut.

B.  Macam-Macam Teori
Bermacam-macam teori dapat digolongkan menurut bentuk atau menurut isinya. Menurut bentuknya, ada dua macam teori, yaitu:
  1. Teori konstruktif (menurut istilah Einstein, 1934, dan Marx, 1951) atau teori merangkaikan (Kaplan, 1964), yaitu teori yang mencoba membangun kaitan-kaitan (sintesa) antara berbagai fenomena sederhana.
  2. Teori principle (Einstein, 1934) atau teori reduktif (Marx, 1951) atau teori berjenjang/Hierarchical (Kaplan, 1964) adalah teori yang mencoba menganalisa suatu fenomena ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil.

Menurut isinya, juga ada dua macam teori (Kaplan, 1964) yaitu:
  1. Teori Molar, yaitu teori tentang individu sebagai keseluruhan, misalnya teori tentang tingkah laku individu dalam proses kelompok.
  2. Teori molekular, yaitu teori tentang fungsi-fungsi syaraf dalam tubuh suatu organisme, misalnya teori konsistensi kognitif.[5]

Selain penggolongan teori ke dalam beberapa tipe menurut bentuk dan isinya, kita perlu pula mengetahui teori mana yang baik dan teori mana yang tidak baik. Baik tidaknya suatu teori tidak ditentukan oleh bentuk atau isinya, melainkan ditentukan oleh beberapa norma di bawah ini:
  1. Norma Korespondensi (norm of corespondence) yaitu seberapa jauh teori ini cocok dengan fakta-fakta yang ada. Semakin cocok teori dengan fakta, semakin baik.
  2. Norma Koherensi (norm of coherence) yang meliputi dua ukuran:
a.       Seberapa jauh teori itu cocok dengan teori-teori sebelumnya. Ini tidak berarti bahwa suatu teori tidak boleh bertentangan dengan satu atau dua teori sebelumnya, akan tetapi walaupun ia bertentangan dengan teori-teori tertentu, suatu teori yang baik masih cocok dengan sejumlah teori lainnya.
b.      Kesederhanaan (simplicity), yaitu teori tersebut sederhana, dalam arti tidak rumit, tidak berbelit-belit, mudah dimengerti. Kesederhanaan ini meliputi dua hal;
1)      Kesederhanaan deskriptif, yaitu kesederhanaan dalam uraian tentang teori itu sendiri.
2)      Kesederhaan induktif: yaitu kesederhanaan dalam prosedur penarikan kesimpulan (induksi) dari data-data yang ada.

  1. Norma Pragmatik, yaitu seberapa jauh suatu teori mempunyai kegunaan praktis. Makin besar kegunaan praktisnya, makin baik teori yang bersangkutan.[6]

C.  Pengembangan Teori Dakwah
Dalam mengembangkan dakwah sebagai ilmu terasa sangat tidak mungkin tanpa dibarengi dengan adanya penemuan dan pengembangan kerangka teori dakwah. Tanpa teori dakwah maka apa yang disebut dengan ilmu dakwah tidak lebih dari sekadar kumpulan pernyataan normatif tanpa memiliki kadar analisa atas fakta dakwah atau sebaliknya, ilmu dakwah hanya merupakan kumpulan pengetahuan atas fakta dakwah  yang tidak akan bisa dijelaskan hubungan kausalitasnya antar fakta sehingga mandul untuk memandu pelaksanaan dakwah dalam menghadapi masalah yang kompleks.
Secara akademik, dengan adanya teori dakwah maka dapat dilakukan generalisasi atas fakta-fakta dakwah, memandu analisa dan klasifikasi fakta dakwah, memahami hubungan antarvariabel dakwah, menaksir kondisi dan masalah dakwah baru seiring dengan perubahan sosial di masa depan serta menghubungkan pengetahuan dakwah masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.

D.  Teori Medan Dakwah
Teori ini dapat dikatakan sebagai teori yang menjelask situasi teologis, kultural, dan struktural mad’u (masyarakat) pada saat permulaan pelaksanaan dakwah Islam.
Dakwah Islam, sebagaimana diketahui, adalah sebuah ihtiar muslim dalam mewujudkan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, jama’ah dan masyarakat dalam semua aspek kehidupan sampai terwujud khairul ummah. Khairul ummah adalah tata sosial yang sebagian besar anggotanya bertauhid (beriman), senantiasa menegakkan yang ma’ruf (tata sosial yang adil), dan secara berjama’ah senantiasa berusaha mencegah yang munkar.
Di dalam khairul ummah, penyampaian yang ma’ruf (penegakkan keadilan) dan pencegahan yang munkar kezhaliman merupakan suatu kewajiban bukan hak. Artinya, penegakkan keadilan merupakan imperatif moral-fitri yang terdalam, bagian integral fungsi sosial Islam dan, sekaligus, merupakan refrelksi tauhid, yang jika tidak ditunaikan berarti penyimpangan dari kebenaran, berarti suatu bangsa.

E.   Teori Proses dan Tahapan Dakwah
Ada beberapa tahapan dakwah Rasulullah dan para sahabatnya yang dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pertama, tahap pembentukan (takwin). Kedua, tahap penataan (tandhim). Ketiga, tahap perpisahan dan pendelegasian amanah dakwah kepada kepada generasi penerus. Pada setiap tahapan memiliki kegiatan dengan tantangan khusus dengan masalah yang dihadapi. Dalam hal ini dapat dinyatakan ada beberapa model dakwah sebagai proses perwujudan realitas ummatan khairan.

  1. Model Dakwah dalam Tahap Pembentukan (Takwin)
Pada tahapan ini kegiatan utamanya adalah dakwah bil lisan (tabligh) sebagai ihtiar sosialisasi ajaran tauhid kepada masyarakat Makkah. Interaksi Rasulullah Saw dengan mad’u mengalami ekstensi secara bertahap: keluarga terdekat, ittishal fardhi (QS. 26: 214-215) dan kemudian kepada kaum musyrikin, ittishal jama’i (QS. 15: 94). Sasarannya bagaimana supaya terjadi internalisasi Islam dalam kepribadian mad’u, kemudian apa yang sudah diterima dan dicerna dapat diekspresikan dalam ghirah dan sikap membela keimanan (akidah) dari tekanan kaum Quraisy. Hasilnya sangat signifikan, para elite dan awam masyarakat menerima dakwah Islam.
  1. Tahap Penataan Dakwah (Tandzim)
Tahap tanzhim merupakan hasil internalisasi dan eksternalisasi Islam dalam bentuk institusionalisasi Islam secara komprehensip dalam realitas sosial. Tahap ini diawali dengan hijrah Nabi Saw ke Madinah (sebelumnya Yastrib). Hijrah dilaksanakan setelah Nabi memahami karakteristik sosial Madinah baik melalui informasi yang diterima dari Mua’ab Ibn Umair maupun interaksi Nabi dengan jama’ah haji peserta Bai’atul Aqabah. Dari strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan militer sudah sedemikian mencekam, sehingga jika tidak dilaksanakan hijrah, dakwah dapat mengalami involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.
            Hijrah dalam proses dakwah Islam menjadi sunnatullah. Mad’u (masyarakat) diajak memutus hubungan dari lingkungan dan tata nilai yang dhalim sebagai upaya pembebasan manusia untuk menemukan jati dirinya sebagaimana kondisi fitrinya yang telah terendam lingkungan sosio-kultural yang tidak Islami. Hal ini berarti merupakan peristiwa “menjadi” muslim dalam sejarah sebagai perwujudan “muslim” dalam dunia fitri. Semuanya menunjukkan bahwa tanpa hijrah secara komprehensif maka kegiatan dakwah kehilangan akar alamiahnya: kembali ke fitri.

  1. Tahap Pelepasan dan Kemandirian.
Pada tahap ini ummat dakwah (masyarakat binaan Nabi Saw) telah siap menjadi masyarakat yang mandiri dan, karena itu, merupakan tahap pelepasan dan perpisahan secara manajerial. Apa yang dilakukan Rasulullah Saw ketika haji wada’ dapat mencerminkan tahap ini dengan kondisi masyarakat yang telah siap meneruskan Risalahnya.

F.   Problematika yang dihadapi dalam pembentukan Teori Dakwah

Secara historis sudah hampir satu abad dakwah sebagai kegiatan mengajak umat manusia masuk ke jalan Allah dan mewujudkan Islam dalam kenyataan masyarakat telah menjadi kajian  dalam dunia akademik pada fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir. Perguruan Tinggi Islam di perlbagai belahan dunia Islam pun telah mengikuti tradisi akademik al-Azhar tersebut dengan membuka Jurusan Dakwah di Fakultas Ushuluddin atau Fakultas Dakwah yang berdiri sendiri. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Indonesia membuka Jurusan Dakwah pada fakultas Ushuluddin, dan pada 1971 Fakultas Dakwah pun berdiri sendiri di IAIN. Para alumni Jurusan Dakwah dan Fakultas Dakwah sudah berjumlah ribuan, mereka mengabdi dalam perlbagai lapangan kegiatan dakwah, termasuk di dunia akademik sebagai staff pengajar.
Namun demikian, usia status akademik yang telah begitu tua dan para alumninya diakui oleh pemerintah dan masyarakat, ternyata masih menyimpan sebuah pertanyaan yang mendasar yang belum terjawab secara serius dan komprehensip. Pertanyaan itu menyangkut status keilmuan dakwah, apakah dakwah itu ilmu atau hanya sekedar pengetahuan. Jika dakwah itu ilmu, termasuk ilmu dalam kerangka paradigma yang mana; sebaliknya jika dakwah hanya pengetahuan, apakah termasuk pengetahuan yang telah memiliki sistematikanya atau hanya pengetahuan biasa yang tidak terstruktur dengan jelas.
Dalam memandang masalah di atas, para pakar studi keislaman memiliki kategori jawaban yang beragam. Pertama, kelompok pakar yang menyatakan bahwa dakwah sudah menjadi ilmu. Dalam kelompok ini terdapat tiga golongan: (1) pakar Dakwah yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu yang mewujudkan Islam dalam kenyataan hidup bermasyarakat di semua segi kehidupan yang sedang mencari jatidiri, mengembangkan metodologi serta diawali dengan kajian epistemologi dakwah. (2). Pakar komunikasi yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu lintas disiplin yang lebih dekat pada ilmu komunikasi dalam paradigma logis. Golongan ini menyarankan jika dakwah adalah “ilmu” dalam pengertian ilmu pengetahuan, harus mengembangkan pendekatan empiris. (3) pakar Sosiologi yang menyatakan bahwa dakwah adalah ilmu dalam kategori “ngelmu” yaitu suatu perangkat kepercayaan yang memberikan pedoman kepada manusia bagaimana cara mengatur hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan makhluk lainnya. Kedua, kelompok pakar yang menyatakan bahwa dakwah bukan ilmu tetapi hanya pengetahuan. Kelompok ini belum memberikan penolakan secara ilmiah mengenai status keilmuan dakwah. Mereka baru berbicara dalam forum-forum terbatas dengan hujjah yang tidak sistematis, apalagi dalam bentuk tulisan ilmiah. Barangkali lebih tepat jika penilaian mereka disebut masih bersifat spekulatif.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa kalangan akademik yang secara khusus menyelenggarakan proses belajar mengajar dan penelitian mengenai dakwah Islam, misalnya Fakultas Dakwah, masih langka dalam pengkajian dakwah sebagai ilmu. Kelangkaan ini tercatat empat faktor penyebab; (1) ghirah (semangat) keilmuan belum melembaga sebagai tradisi ilmiah di kalangan staff pengajar (dosen), (2). Kelangkaan literatur yang mengkaji dakwah sebagai ilmu yakni sebagai kajian epistemologis, (3) tiadanya dana penelitian ilmiah yang secara khusus untuk tujuan pengembangan dakwah sebagai ilmu, dan (4) para sarjana dakwah baik yang didalam maupun di luar kampus terbenam dalam rutinitas kegiatan yang menyebabkan kehilangan semangat untuk berpikir reflektif dan ilmiah mengenai dakwah. Hal ini berarti kesadaran teoritik dan metodologis para sarjana dakwah di manapun masih sangat kurang. Oleh itu, perlu ditumbuhkan kesadaran dan semangat meneliti dalam civitas akademika dakwah- terutama para dosen, peneliti, dan mahasiswa yang berkecimpung dalam dunia dakwah.


[1] Mandler, G, dan Kessen, W, The Language of psychology, (New York: Wiley, 1959), hal. 142. Lihat juga, Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. III, 1995), hal. 5.
[2]Simon, H. A, dan Newell, A, “Models: Teir uses and limitations,” dalam L.D. White (Editor), The State of the Social Sciences, (Chicago: University of Chicago Press, 1956), hal. 67. Lihat juga, Sarlito Wirawan Sarwono, Ibid., hal. 5.
[3]Hollander, E. P, Principles and Methods of Social Psychology, (New York: Oxford University Press, 1967), hal. 55 Lihat juga, Sarlito Wirawan Sarwono, Ibid., hal. 5.
[4]Mc David, J. W., dan Harari, H, Social Psychology: Individuals, Groups Sociaties, (New York: Harper dan Row, 1968), hal. 21. Lihat juga, Sarlito Wirawan Sarwono, Ibid., hal. 5.

[5] Ibid., hal. 6.

[6] Ibid., hal. 7.

Post a Comment

 
Top