A.  Objek Syura
Mengenai objek musyawarah para mufasir berbeda pendapat. Menurut Muhammad Rasyid Rida (pengarang Tafsir al-Manar), objek yang dimusyawarahkan hanya yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan urusan agama. Sebab kalau urusan agama, seperti keyakinan, ibadah, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah Swt dimusyawarahkan, itu berarti ada campur tangan manusia di dalamnya, padahal masalah-masalah itu telah disyariatkan oleh Allah Swt. Tetapi bagi at-Tabari, Fakhruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maraghi, urusan yang dimusyawarahkan bukan hanya masalah-masalah keduniaan, melainkan juga masalah-masalah keagamaan, sebab banyak timbul masalah sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, keluarga, dan sebagainya yang pemecahannya memerlukan jawaban dari agama.[1]
Dari pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang sudah baku dan rinci diuraikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak mendapat tempat untuk dimusyawarahkan. Karenanya, Islam tidak membenarkan melakukan musyawarah dalam masalah-masalah seperti dasar-dasar keimanan atau ibadah kepada Allah. Ini merupakan otoritas Allah sepenuhnya. Sebaliknya, terhadap masalah-masalah yang dijelaskan Allah dan Rasul-Nya secara global dan umum atau yang tidak dijelaskan sama sekali, maka umat Islam diperintahkan untuk melakukan musyawarah sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebagai contoh, musyawarah dilakukan dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik, seperti menetapkan hukum pajak, perdagangan, dan lain-lain.[2]

B.       Subjek Syura
Dalam hal subjek syura, dengan siapa musyawarah tersebut dilakukan, Nabi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, pernah menasihatkan kepada Ali:

“Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan orang penakut, karena dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan orang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuaanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi merupakan bawaan yang sama. Semuanya bermuara pada prasangka buruk kepada Allah.”[3]
Adalah suatu kenyataan bahwa tidak semua manusia mempunyai kemampuan intelektual dan ketajaman pemikiran. Karena itu, tidak mungkin musyawarah dilakukan dengan menghimpun seluruh manusia dan meminta pendapat mereka tentang suatu masalah. Nabi sendiri dalam melakukan musyawarah lebih banyak mengikut sertakan sahabat-sahabat senior atau sahabat-sahabat tertentu saja yang memang mempunyai pandangan dan pemikiran yang tajam. Karena itu, para ulama memandang bahwa musyawarah ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai ilmu yang mendalam dan ketajaman pemikiran. Mereka, sesuai dengan surat an-Nisa, [4]: 59 disebut dengan ulu al-amr. Merekalah yang akan melakukan musyawarah mencari terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Al-Mawardi dan para ulama Sunni pada umumnya menamakan orang yang melakukan musyawarah dengan ahl al-hall wa al-‘aqd (orang yang berhak melepas dan mengikat). Maksudnya adalah orang yang dapat memutuskan sesuatu atau membatalkannya. Sementara Ibn Taimiyah menamakan mereka dengan ahl al-syaukah. Namun pada hakikatnya, kedua istilah ini menunjukkan suatu kelompok dalam masyarakat yang dapat dijadikan sebagai “tempat untuk bertanya” dan rujukan demi kepentingan masyarakat tersebut. Kelompok ini setidaknya terdiri dari orang-orang yang berpengaruh di dalam masyarakat, terutama karena pengetahuan mereka yang mendalam dan perhatian mereka yang besar terhadap kepentingan masyarakat. Dengan demikian, ahl- al-hall wa al-‘aqd atau ahl al-syaukah dapat dikatakan sebagai wakil masyarakat untuk memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat bersangkutan sehingga tercapai kemaslahatan hidup mereka.

C.       Tata Cara Syura
Tentang bagaimana etika musyawarah dilakukan, surat Ali ‘Imran [3]: 159 barangkali dapat dijadikan sebagai rujukan. Ayat ini menunjukkan tiga sikap yang diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam melakukan musyawarah. Pertama, lemah lembut. Sikap ini penting, terutama bagi seorang pemimpin. Sikap yang kasar dan mau menang sendiri bisa membuat mitra yang diajak bermusyawarah tidak menaruh simpati dan melakukan aksi walk out. Akibatnya, musyawarah tidak dapat mencapai maksud yang diinginkan. Kedua, memberi maaf. Dalam munsyawarah tidak tertutup kemungkinan terjadi argumentasi yang alot dan menegangkan. Keadaan ini bisa mengakibatkan tersinggungnya satu pihak terhadap pihak yang lain. Hal ini harus dihadapi dengan sikap dingin dan terbuka. Makanya kita sering mendengar ungkapan tentang musyawarah seperti, “Hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin.” Ini mengisyaratkan bahwa dalam musyawarah akal pikiran kita harus tetap terpelihara secara jernih, sehingga terhindar dari sikap emosional. Sebab, kalau emosional yang muncul, musyawarah pun bisa berubah menjadi ajang pertengkaran, sehingga tidak menghasilkan apa-apa selain permusuhan dan dendam. Oleh sebab itu, Allah mengajarkan etika bahwa dalam musyawarah masing-masing pihak harus siap untuk saling memaafkan. Ketiga, yang perlu diperhatikan dari ayat di atas adalah hubungan vertikal dengan Allah. Musyawarah harus diiringi dengan permohonan ampunan kepada-Nya, supaya hasil yang dicapai betul-betul yang terbaik untuk semua. Barulah setelah dicapai kepakatan, semua hasil tersebut diserahkan kepada Allah (tawakkal). Manusia telah merencanakan, sesuai dengan kemampuan dan keputusan mereka. Karena itu, dalam pelaksanaannya, Allah memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya.[4]
Sedangkan bagaimana cara melakukan musyawarah, Allah tidak menentukan secara rinci. Ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Dalam satu pemerintahan atau negara,  boleh saja musyawarah ini dilakukan dengan membentuk suatu lembaga tersendiri, seperti parlemen atau apa pun namanya. Dalam lembaga ini boleh jadi para anggotanya melakukan musyawarah secara berkala pada periode tertentu atau sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Keanggotaan lembaga ini juga bisa dibatasi jangka waktu tertentu yang disepakati bersama.
Dalam pengambilan keputusan, tidak berarti suara terbanyak mutlak harus diikuti. Ada kalanya keputusan diambil berdasarkan suara minoritas. Sebagai contoh, Khalifah Abu Bakr pernah mengabaikan suara mayoritas dalam masalah sikap terhadap para pembangkang zakat. Sebagian besar sahabat senior yang dimotori ‘Umar berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat kepada Abu Bakr tetap muslim dan tidak usah diperangi. Sementara sebagian kecil sahabat berpendapat supaya mereka diperangi. Abu Bakr mengambil pendapat yang kedua. Pendapat ini akhirnya disetujui oleh “forum” dan Abu Bakr pun memerangi mereka. Pada pemerintahan ‘Umar, beliau pernah menolak pendapat mayoritas tentang pembagian rampasan perang berupa tanah Sawad (Irak). Sebagian besar sahabat yang diwakili oleh Bilal Ibn Rabah dan ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Awf berpendapat supaya tanah tersebut dibagi-bagi. Sedangkan sebagian kecil sahabat berpendapat supaya tanah tersebut dibiarkan tetap pada pemiliknya dan umat Islam hanya memungut pajaknya saja. Akhirnya, melalui adu argumentasi yang cukup menegangkan, ‘Umar memenangkan pendapat kedua.


D.      Manfaat Syura
Syura timbul dari akidah tauhid ketuhanan yang mengkhususkan Allah Swt, berikut syariat langit-Nya dengan kekuasaan yang bersih dari ciri-ciri khas manusia seluruhnya. Dalam hal ini akidah tauhid melarang manusia menjadikan dirinya berkuasa dan memiliki kekuasaan mutlak terhadap manusia seluruhnya dan terhadap penguasa seluruhnya, baik mereka itu sebagai individu atau jamaah, mewakili mayoritas atau minoritas, karena mereka sebenarnya pada syariat ketuhanan dan pengawasannya. Maka penganalogian syura atas demokrasi tidak boleh lantas menimbulkan sikap pura-pura tidak mengetahui hubungannya dengan tauhid atau menghilangkan ketundukannya kepada syariat dan apa saja yang timbul dari kedua sifat ini. Dan yang perlu diingat adalah relativitas ketetapan-ketetapan manusia termasuk wewenang manusia seluruhnya.[5]
Menurut Syekh Syaltut, syura merupakan salah satu cabang dari kerja kerjasama dalam tanggungjawab sosial, yang menurutnya cabang inilah yang asli (pokok). Dari cabang ini dipecah lagi menjadi dua bagian- yaitu; takaaful-maali wal-iqtishadi (jaminan harta dan ekonomi) dengan cara memberi andil dalam mendirikan lembaga-lembaga kehartaan umum jamaah dan untuk menutup kebutuhan orang-orang yang memerlukannya; inilah dasar diwajibkannya zakat. Adapun bagian yang kedua untuk takaful ialah apa yang dinamakan takaaful-adabi, yang artinya, menurut pendapat Syekh Syaltut, ialah kerja sama individu masyarakat dalam nasihat, bimbingan, pengarahan, pengajaran, dan dalam menetapi prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar. Bagian yang kedua inilah, menurut Syekh Muhammad Abduh, sebagai fondasi syura. Oleh karena itu, Rasulullah Saw, mewajibkan tukar-menukar pendapat, nasihat, dan memberi nasihat kepada semua orang melalui sabdanya, “Agama adalah nasihat. “Kami bertanya, “Untuk siapa Rasulullah? Beliau menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitabnya, imam kaum muslim dan umumnya orang dari mereka.[6]
          Bahkan al-Qur’an menyatakan bahwa saling memberi nasihat, bertukar pendapat, dan syura adalah saling memberi wilayah (perlindungan). Hal ini tercantum dalam firman-Nya;
 
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 71
             
Jadi takaaful-ijtima’i (jaminan sosial) yang mencakup syura dalam berpendapat- di samping adanya takafulul-mali (jaminan harta) dalam infak atas urusan masyarakat dan menutup kebutuhan orang-orang yang memerlukannya, sebagaimana pendapat Syekh Syaltut- adalah yang asli (pokok), dan inilah dahulu yang menjadi dasar untuk mempersaudarakan sesama muslim. Praktik ini telah dimulai oleh Nabi Saw, ketika mempersaudarakan antara sahabat Muhajirin dan Anshar pada waktu beliau sampai di Madinah. Maka tidak diragukan bahwa menentukan mabda syura sebagai salah satu cabang dari kerja sama sosial- yang sampai ke derajat persaudaraan yang dihasilkan oleh akidah Islam dan diwajibkan- bertujuan agar kerja sama merupakan buah dari akidah dan berkaitan dengannya.[1]


[1] Ibid., hal. 121.
[2]Badan Litbang dan Diklat Depag, Tafsir al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, Seri. III, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Cet. I, 2009), hal. 226-227.


[1] Dewan, Editor, Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 19
[2] Muhammad Iqbal, op. cit., h. 185
[3] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 480
[4] Lihat M. Quraish Shihab, op. cit., hal. 474-475.
[5] Taufik Muhammad Asy-Syawi, op. cit., hal. 115.
[6] Ibid., hal. 120.

Post a Comment

 
Top