B.  Corak Ayat-ayat Jihad yang Turun pada Periode Makkah dan Madinah.
Kata jihad, dalam bentuk fi’il maupun isim, tersebut 35 kali dalam al-Qur’an, tersebar dalam al-Qur’an, tersebar dalam 15 surat. Ayat-ayat jihad yang mengandung maksud perjuangan sebanyak 28 ayat, terletak dalam surat-surat sebagai berikut; al-Baqarah [2]: 218, ali-Imran [3]: 142, an-Nisa’ [4]: 95, al-Maidah [5]: 35, 54, al-Anfal [8]: 72, 74, 75, at-Taubah [9]: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88, an-Nahl [16]: 110, al-Hajj [22]: 78, al-Furqan [25]: 52, al-Ankabut [29]: 6, 69, Muhammad [47]: 31, al-Hujurat [49]: 15, al-Mumtahanah [60]: 1, Ash-Shaff [61]: 11, at-Tahrim [66]: 9.[1]

Ayat jihad periode Makkah di antaranya adalah (QS. al-Furqaan [25]: 52).
sebagai berikut;
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan Jihad yang besar.” (QS. al-Furqaan [25]: 52).

Menurut Quraish Shihab, ayat diatas menjelaskan bahwa berjihad dengan al-Qur’an jauh lebih penting untuk dipersiapkan dan dilaksanakan daripada berjihad dengan senjata. Karena setiap saat kita menghadapi informasi, dan tidak setiap saat kita menghadapi musuh dengan senjata. Banyak yang dapat ikut membela dengan senjata- bahkan boleh jadi- ada non muslim yang bersedia ikut, jika kebetulan lawan yang menyerang itu adalah lawan politiknya pula. Tetapi berjihad dengan al-Qur’an hanya dapat dilakukan oleh orang yang percaya kepada al-Qur’an sekaligus memahaminya dengan baik. Sungguh menghadapi lawan-lawan yang bermaksud memutar balikkan fakta, atau bahkan yang tidak memiliki pengetahuan atau menyalahpahami ajaran jauh lebih berat daripada pertempuran dengan senjata. Sungguh tepat ayat di atas menamai jihad dengan al-Qur’an dengan jihad yang besar.[1]
Ayat ini juga menjadi bukti bahwa jihad tidak selalu berkaitan dengan mengangkat senjata. Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad Saw, masih berada di Makkah, dalam situasi umat Islam masih sangat lemah, belum memiliki kekuatan fisik, namun demikian beliau diperintahkan untuk berjihad, dalam arti mencurahkan semuam kemampuan menghadapi kaum musyrikin dengan kalimat-kalimat yang menyentuh nalar dan kalbu, bukan dengan senjata yang melukai fisik atau mencabut nyawa.[2]

Sedangkan ayat jihad yang diturunkan pada periode Madinah (QS. al-Baqarah [2]: 218) di antaranya;
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah [2]: 218).

Dalam pandangan M. Quraish Shihab, makna orang-orang yang berhijrah pada ayat diatas adalah orang yang meninggalkan satu tempat atau keadaan didorong oleh karena ketidaksenangan terhadap tempat atau keadaan itu menuju ke tempat atau keadaan lain guna meraih yang baik atau lebih baik. Sedangkan makna berjihad adalah berjuang tiada henti dengan mencurahkan segala yang dimilikinya hingga tercapai apa yang diperjuangkan, perjuangan dengan nyawa, harta, atau apapun yang dimiliki, dengan niat melakukannya di jalan Allah, yang mengantar kepada ridha-Nya, mereka itu yang senantiasa mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[1]
Mahmud Tsabit al-Faudi dalam Dairatul Ma’arif al-Islamiyah menulis, bahwa terdapat perbedaan antara ayat-ayat jihad periode Makkah dan ayat-ayat jihad periode Madinah. Ayat-ayat jihad periode Makkah pada umumnya menyeru untuk bersabar terhadap tindakan-tindakan musuh dan memang tidak ada pilihan lain bagi mereka selain itu, di samping terus berdakwah secara lisan di tengah-tengah umat manusia. Sedangkan ayat-ayat jihad periode Madinah, sesuai dengan kondisi umat Islam pada waktu itu, menyeru kaum Mukminin untuk menghadapi musuh secara konfrontatif dan mewajibkan mereka untuk memerangi penduduk Makkah.[2]
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa ayat-ayat Makkiyah memuat seruan kepada kaum Muslimin untuk waspada terhadap musuh tanpa mengambil tindakan aktif berupa perang secara terbuka, sedangkan ayat-ayat jihad Madaniyyah mengizinkan kaum Muslimin, bahkan menyeru mereka untuk memerangi kaum kafir.


[1] Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keseharian al-Qur’an, Vol. I, (Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2002), hal. 435.
[2] Mahmud Tsabit al-Faudi, Dairatul Ma’arif al-Islamiyyah,  (t.t: t.pt. Juz VII t. th), hal. 188-189.

Post a Comment

 
Top