BAB III
Urgensi Tasawuf Bagi Para Da’i

A.   Menjadikan Ajaran Tasawuf Relevan Sebagai Tema Dakwah
Tidak sedikit psikolog dan sosiolog yang mengemukakan bahwa, poblem mendasar masyarakat modern adalah frustasi, krisis eksistensi, alienasi, nihilisme, depresi dan hampa makna. Hampa makna- ditandai ketika seseorang merasa terasing dengan diri sendiri, lingkungan sosial, dan dunia kerja. Sementara itu, di sisi lain mereka telah kehilangan visi dan misi hidupnya. Mereka menjalani hidup yang membosankan, tanpa gairah, kesepian dan persoalan kecemasan yang hampir melanda mereka setiap saat.
 
Dalam pandangan Abraham Maslow, modernisasi hanya mengisi ruang kebutuhan-kebutuhan lahiriah masyarakat modern saja. Padahal masyarakat modern akan tetap dilanda kegelisahan, kecemasan, kebosanan dan kesepian selama kebutuhan dasarnya yang berkaitan dengan kejiwaan dan ketuhanan tidak terpenuhi.
Masyarakat modern tidak memiliki makna hidup, karena mereka tidak memiliki prinsip hidup. Apa yang dilakukan adalah mengikuti trend, mengikuti tuntutan sosial, sedangkan tuntutan sosial belum tentu berdiri pada satu prinsip yang mulia. Ketidakseimbangan itu, dan terutama karena merasa hidupnya tidak bermakna, tidak ada dedikasi dalam perbuatannya, maka ia dilanda kegelisahan, kesepian, kebosanan dan kecemasan yang berkepanjangan. Hal itu menyebabkan seseorang tidak tahu persis apa yang harus dilakukan. Ia tidak bisa memutuskan sesuatu, dan ia tidak tahu jalan mana yang harus ditempuh.
Kegelisahan, kesepian, kebosanan dan kecemasan terjadi karena masyarakat modern telah kehilangan ruang meditasi (perenungan); sementara setiap kali mengalami peristiwa yang mampu memunculkan pertanyaan kritis seperti “bagaimana mengatasi problem eksistensial”, “bagaimana mendapatkan makna hidup.” Mereka seringkali melakukannya dengan cara yang kurang tepat, yang justru mengembalikan mereka pada hingar-bingar kehidupan yang glamor, maka tidak aneh kalau mereka merasa kesepian ditengah kembang api yang menggairahkan.
Berangkat dari berbagai problem kejiwaan itulah- spiritualitas semakin digandrungi masyarakat kontemporer dewasa ini. Sebagai penawar krisis spiritual yang mereka alami- sehingga tercapai suatu kehidupan yang seimbang antara dua aspek pentingnya: material dan spiritual, dunia dan akhirat.
Kecendrungan serupa juga dikemukakan Haidar Bagir, “sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat, Times, beberapa tahun lalu melaporkan adanya kecendrungan pada masyarakat Amerika Serikat untuk kembali kepada Tuhan. Majalah itu, berdasarkan hasil polling yang mereka buat, mengatakan bahwa saat ini lebih banyak orang (AS)  yang berdo’a ketimbang “berolah-raga, pergi ke bioskop, atau pun berhubungan seks.” Kecendrungan akan spiritualisme itu pun makin lama makin meningkat.[1]
Lebih lanjut ia menambahkan; memang di samping ditandai oleh derasnya arus informasi dan dahsyatnya perkembangan teknologi informasi, zaman ini ternyata juga diwarnai arus baru di tengah masyarakat dunia, yaitu kerinduan pada kesejukan bathin dan kedamaian jiwa. Mencari kebijakan dan inspirasi tentang inner-self menjadi trendy belakangan ini.[2] Pada prakteknya, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi problem kejiwaan itu dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis pendekatan. Diantaranya; pendekatan psikologi, dalam hal ini kesehatan mental (mental health). Sedangkan pada masyarakat tertentu, solusi yang ditawarkan lebih bersifat religius spiritual.
Fenomena di dalam negeri pun mengindikasikan hal serupa, terlihat dengan maraknya kegiatan ritual-ritual keagamaan bermunculan bak jamur di musim hujan yang diminati oleh banyak masyarakat perkotaan. Sebut saja- Aa Gym dengan manajemen Qalbu-nya, Ari Ginanjar Agustian dengan ESQ-nya, Arifin Ilham dengan Majelis Dzikir-nya dan lain-lain. Orang rela datang jauh-jauh, meluangkan waktunya bahkan tidak sedikit membayar mahal- untuk dapat menangis bersama, merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap tarikan nafas, menemukan kembali makna hidup dan jati diri.
Sesungguhnya, masyarakat modern membutuhkan sesuatu yang melewati rasionalitas. Haidar Bagir, dalam pengantar buku ‘manusia modern mendamba Allah’ memaparkan, Kiranya ini semua adalah realisasi dari nubuat William James seorang psikolog terkemuka abad-20. Dalam sebuah bukunya yang terkenal, Varieties of Religious Experience yang terbit di tahun-tahun pertama abad 20. Dia menyatakan bahwa, sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan menemukan kepuasan kecuali jika ia bersahabat dengan “Kawan Yang Agung” (The Great Socius).  Tentu Kawan Agung yang dimaksud adalah Tuhan. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa, selama manusia itu belum berkawan dengan “Kawan Yang Agung” itu, maka selama itu pula ia akan merasakan kegelisahan, kekosongan, kecemasan, dan kesepian dalam hidupnya. Dia akan merasakan kesendirian ditengah-tengah hingar-bingar pesta yang menggoda. Dengan kata lain boleh jadi koleganya banyak dan pergaulannya menggurita, tetapi sebenarnya ia merasa sepi, sunyi sendiri- tiada seorang pun yang menemani.
Bila kita tarik ke dalam tradisi Islam sebenarnya sudah sejak lama umat muslim berusaha mendekatkan diri dengan “Kawan Yang Agung” tersebut, melalui perjuangan yang tidak ringan, dikenal dengan istilah salik. Salik adalah orang yang selalu mengembara berjuang menuju “Kawan Yang Agung”. Untuk mencari “Kawan Yang Agung” itu tidak perlu jauh-jauh, karena dimanapun kita menghadap disitulah Tuhan berada. Sebagaimana yang diungkap al-Qur’an Surah, al-Baqarah [2]: 115;
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Baqarah [2]: 115).
Sebagaimana yang dikemukakan ayat diatas, kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.  Meminjam ilustrasi Komaruddin Hidayat, “begitu bangun tidur, itu merupakan sapaan Tuhan. Bahkan angin, pohon dan sebagainya merupakan jejak-jejak Tuhan untuk menyapa diri manusia”. Fenomena masyarakat kontemporer yang tenggelam dalam kekhusyu’an dzikir, wirid, sayr, istighostsah dan suluk dalam kehidupan spiritualitas adalah pertanda bahwa betapa mereka rindu mengenal lebih dekat “Kawan Yang Agung”.
Sayyed Hossein Nasr, menegaskan bahwa manusia diciptakan dengan susunan terbaik, tetapi kemudian manusia jatuh pada kondisi terburuk setelah manusia berpisah dan jauh dari asal-usulnya.[1] Jalaluddin Rumi, menyitir dalam gaya bahasanya yang cukup indah, “Kita adalah seruling bambu yang terserabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar adalah jeritan pilu dari pecahan bambu yang ingin kembali ke rumpunnya semula.” Kita akan hidup sebagai bambu sejati bila kita kembali ke tempat awal kita, yakni jalan fitrah.[2] Nah, disinilah urgensinya ajaran tasawuf bagi para da’i yakni-  mengembalikan manusia (mad’u) ke jalan fitrah tersebut. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang tasawuf. Karena tasawuf adalah dimensi batiniah dalam ajarah Islam.
            Relevansi tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Dia bisa dipahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasawuf suluky. Dan bisa memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan tasawuf falsafi. Dia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yaitu Ka’bah dan secara ruhaniah mereka berlomba-lomba menempuh jalan tarekat melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang satu, Allah Swt.[3]

A.      Pelajaran yang dapat Diambil dari Kisah para Sufi
Kisah-kisah para Sufi tidak pernah dianggap sekedar sama dengan fabel, legenda, atau folklore. Kisah-kisah itu memiliki wit (ketangkasan pikiran), susunan, dan daya pikat yang sebanding dengan cerita terbaik dalam kebudayaan manapun. Telah berabad-abad lamanya para guru sufi mengajar murid-muridnya dengan mempergunakan kisah-kisah para sufi, yang dianggap memiliki kekuatan untuk meningkatkan persepsi yang tidak diketahui oleh manusia biasa.
Kisah-kisah yang terdapat dalam dunia sufi- akan berlaku seperti guru bijak. Dia tidak pernah menggurui- apalagi menghakimi, tetapi ia mampu menggelitik dan menyentuh ego terdalam seseorang yang menyimak kisah-kisah bijak para sufi. Disamping itu, kisah para sufi tidak menjemukan, tak menegangkan, sesekali menghibur, ada tawa, canda- tetapi mengandung gagasan yang amat inspiratif dan praktis bagi kehidupan seseorang.
Berdasarkan hal itulah, kiranya perlu menjadi pertimbangan khusus- bagi para da’i dalam menyampaikan dakwahnya kepada khalayak- untuk menggunakan cerita-cerita inspiratif dari dunia sufi- guna menopang keberhasilannya dalam berdakwah.
Sebenarnya, hal itu sudah dilakukan oleh para penulis Islam- khsusunya mereka-mereka yang berkecimpung dengan tulisan yang bertema motivasi. Sebut saja, nama seperti Azim Jamal, Ibrahim al-Fikri, Aidh al-Qarni- dalam buku-buku yang mereka tulis- sering kali diselengi dengan cerita-cerita sufi yang mengandung makna. Dan hal itu terbukti berhasil- karena buku-buku mereka mendapat respon yang baik dari pembaca.

B.       Analisa Kritis: Sisi Positif dan Sisi Negatif Gagasan dan Praktek Tasawuf yang Berkembang dalam Masyarakat
Kalau kita membaca berbagai literatur tasawuf, maka akan kita dapati kelompok yang pro dan kontra. Bagi yang pro, kita biarkan karena ia menerima tasawuf sebagai bagian dari ajaran Islam. Umpamanya kita ambil saja dua prominent scholar Islam dari Amerika, Seyyed Hossein Nasr yang sekarang masih ada dan Fazlur Rahman yang baru meninggal. Hossein Nasr beranggapan bahwa tasawuf ini adalah spirit of Islamic religion (jiwa dan semangat agama Islam). Body tanpa jiwa itu tidak ada artinya. Jadi, Islam kalau tidak ada tasawuf, ia akan gersang, tidak subur, bahkan tidak hidup. Sementara Fazlur Rahman beranggapan bahwa tasawuf merupakan infiltrasi budaya luar yang menggerogoti Islam. Bagi orang yang tidak mengerti atau orang awam, lalu membaca Hossein Nasr, ia serta-merta akan mengatakan tasawuf harus dipelajari. Sedangkan bagi orang yang membaca Fazlur Rahman, maka tasawuf ini harus dijauhi, karena ia menggerogoti Islam. Kita hendak mengklarifikasi apa yang dimaksud oleh Hossein Nasr dan Fazlur Rahman.[4]
            Dalam perkembangannya, kita akan melihat bahwa tasawuf pada dasarnya adalah etika. Tetapi lebih dari itu ada tujuan lain yang sudah masuk di dalamnya, seperti aliran-aliran filsafat Yunani, isyraqi, dan sebagainya yang mengandung banyak hal yang dianggap sudah menyimpang dari doktrin Islam oleh ahli-ahli syariat. Ibnu Sabiin, Suhrawardi dan al-Hallaj misalnya, adalah orang-orang yang bukan saja menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk mencapai akhlak yang mulia, tetapi lebih dari itu untuk pengenalan kepada Allah Swt. (ma’rifat). Bahkan untuk persatuan atau menyatu dengan-Nya, sehingga ada istilah wihdat al-wujud (panteisme), wihdat al-syuhud, dan sebagainya. Tasawuf yang semacam ini bagi orang seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan sebagainya sampai Fazlur Rahman, adalah arien, sesuatu hal yang berada di luar garis-garis yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan Sunnah.[5]
            Masalahnya, sampai di mana hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Ini menjadi kontroversi yang berakhir tanpa keputusan. Ada yang bersikeras bahwa tasawuf yang diwarnai oleh filsafat atau oriental wisdom (kearifan yang datangnya dari Timur, Persia), bahkan terkadang ada pengaruh agama Budha dan Hindu, itu semua harus dibersihkan. Dan seperti Fazlur Rahman, dia mengidentifikasikan tasawuf pada hal-hal semacam itu, sehingga ada yang memang diakui dalam literatur tasawuf sebagai hal yang menyimpang dari Islam. Misalnya dengan menciptakan tarekat-tarekat yang sudah tidak mengindahkan syariat; seperti tidak perlu sembahyang, yang penting kita eling (yang penting ingat). Karena tujuan Tuhan menciptakan kita untuk mengingat dan mengenal-Nya. Sementara syariat itu hanya diperlukan orang awam untuk mendidik dirinya dengan sembahyang dan puasa. Tetapi bagi orang yang sudah sampai ke tingkat tertentu, dia sudah tidak perlu shalat lagi. Ini bertentangan dengan al-Qur’an, sehingga kita harus mengatakan bahwa ia sebenarnya bukan bagian dari Islam. Orang yang mengatakan bahwa sembahyang, puasa atau rukun Islam yang lain itu bukan bagian dari usaha kita dalam mengenal Tuhan, hal itu bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Hal itulah yang dimaksud olah Fazlur Rahman dan orang-orang yang tidak menerima tasawuf sebagai bagian dari Islam.[6]
            Banyak ungkapan para sufi yang menjadi kontroversi. Umpamanya dari Abu Yazid al-Busthami, “Ana al-Haq”, Saya ini adalah yang Haq (Tuhan); pernyataan al-Hallaj, “Saya dan Tuhan menyatu”; dan Ibnu Sabiin yang menyatakan bahwa wujud ini hanya satu saja, yakni wujud Tuhan, sementara kita semua ini hanya bayang-bayang. Ungkapan-ungkapan ini membuat dualisme antara hamba dan Tuhan menjadi kabur. Pandangan-pandangan semacam ini kita dapati dari budaya luar: Peradaban Yunani, Hindu, Persia, dan sebagainya. Sehingga Fazlur Rahman, Ibnu Taymiyah, dan Ibnu Qayyim, mengatakan bahwa dasar tasawuf tidak pernah dikenal pada zaman Nabi. Kata-kata tasawuf memang tidak ada waktu Nabi. Istilah tasawuf baru diperkenalkan oleh Abu Hasyim al-Khufi, kira-kira abad ke-2 H. Sebelumnya tidak ada istilah tasawuf, dan memang kata tasawuf tidak terdapat baik dalam Sunnah maupun al-Qur’an. Tetapi esensi tasawuf itu ada, apabila kita sepakati sebagai akhlak atau etika. Maka bagi orang yang tidak mau menerima tasawuf sebagai bagian dari Islam, kata tasawuf itu tidak perlu. Cukup menyebutnya sebagai akhlak atau etika Islam yang disepakati semuanya.[7]
            Untuk bisa menjawab problema antara Fazlur Rahman dan Hossein Nashr diatas, Para peneliti tasawuf mengklasifikasikan tasawuf menjadi dua: Ada tasawuf agama dan tasawuf filosofis (philoshopical sufism) yang sering kita terjemahkan sebagai theosophy. Teo tapi sophia, yakni ada filsafatnya tapi juga ada ketuhannya. Sementara tasawuf agama itu melulu bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Bagi orang yang menyatakan bahwa tasawuf itu bagian dari Islam, ia menunjuk pada tasawuf agama. Tokoh-tokoh tasawuf (sunni) ini dimulai dengan Hasan Bashri (w.110 H), kemudian Haris al-Muhasibi, Junaid al-Baghdadi, dan al-Ghazali, dari abad ke-2 sampai 6 H. Sedangkan tasawuf filosofis puncaknya pada abad ke-6 H: Ibn Arabi, sebelumnya Suhrawardi al-Maqtul (dibunuh pada umur 39 tahun, karena dianggap memperkenalkan banyak doktrin-doktrin di luar agama).[8]
            Tanpa menutup mata- bahkan justru waspada- dari kenyataan adanya praktek-praktek yang eksesif dalam tasawuf, sesungguhnya tak terlalu sulit untuk melihat bahwa tasawuf yang sejati merupakan buah dari ajaran Islam. Praktek-praktek tasawuf pun, seperti diungkapkan oleh para peneliti mengenai disiplin ini, di mulai dari jantung kelahiran dan penyiaran agama Islam, yakni kota Makkah dan Madinah. Hal ini tampak jelas jika kita lihat domisili tokoh-tokoh perintis kehidupan tasawuf yang namanya kita sebutkan diatas. Juga, selain jumlahnya yang sedikit, dikalangan para penganut tasawuf-awal, para sufi asal Persia baru dikenal belakangan.[9]


[1] Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988), hal. 142.
[2] Nasichah, “Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem Kehampaan Spiritual”, Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. X, No. II, (Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2003), hal. 103.
[3] Achmad Mubarak, “Relevansi Tasawuf dengan Problem Kejiwaan Manusia Modern,” Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, Cet. I, 2002), hal. 180.

[4] Alwi Shihab, “Akhlak sebagai Sasaran Tasawuf,” Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, Cet. I, 2002), hal. 180.

[5] Ibid., hal. 287.
[6] Ibid., hal. 288.
[7] Ibid., hal. 288.
[8] Ibid., hal. 288-289.
[9] Haidar Baqir, “Antara Tasawuf Eksesif dan Tasawuf Positif”, Sufisme Kota, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. I, 2001), hal. Vii.

Post a Comment

 
Top