Paradigma Ilmu-ilmu Sosial dalam Antropologi-Kebudayaan
Pada umumnya teori-teori dalam ilmu
sosial, khususnya antropologi, dapat digolongkan ke dalam tiga paradigma,
yaitu positivisme, interpretivisme,
dan kritisisme. Pendekatan yang
digolongkan ke dalam positivisme secara garis besar adalah: evolusionisme dan neo-evolusionisme, fungsionalisme dan fungsionalisme struktural, strukturalisme, materialisme budaya, dan antropologi
psikologi. Aliran-aliran yang dapat digolongkan ke dalam interpretivisme
adalah antropologi semiotik dan simbolik (keduanya sering disebut sebagai symbolic anthropology). Selanjutnya
aliran yang digolongkan ke dalam paradigma
kritisisme adalah teori-teori konflik (terdiri atas critical theories dan analytical
theories), dan teori-teori feminisme (radikal, liberal, dan sosialis).
Dalam perkembangan terakhir ada yang mengajukan paradigma keempat yaitu aliran
post-modernisme, namun pendirian ini belum sepenuhnya dapat diterima dalam
bidang ilmu-ilmu sosial.[1]
- Positivisme
Filsafat positif dalam ilmu
pengetahuan berkembang di dunia Barat pada abad ke-18 lewat karya-karya
filosofis dari Hume dan Berkeley. Pada abad-abad berikutnya, pemikiran
filosofis ini berkembang lebih jauh lagi dan berhasil menjadi filsafat ilmu
pengetahuan yang sangat terkenal hingga dewasa ini. Pada awalnya, aliran
filsafat ini tampak sebagai pandangan yang tunggal, tetapi dalam perkembangan
selanjutnya mempunyai wajah yang berlain-lainan di negara-negara yang berbeda.
Kini, paling tidak terdapat empat variasi wujud positivisme dalam ilmu sosial,
yaitu positivisme dengan wajah Inggris, Perancis, Jerman, dan Amerika Serikat.
Tentu saja hal ini membuat setiap upaya untuk mencirikan sesuatu sebagai
positivistis menjadi agak sulit. Walaupun begitu, Kolakowski, seorang ahli
filsafat, berpendapat bahwa positivisme sebagai suatu aliran pemikiran
filosofis masih memiliki ciri-ciri umum tertentu yang sama. Dalam hal ini, ia
memandang positivisme sebagai sekumpulan aturan-aturan dan kriteria penilaian
berkenaan dengan pengetahuan manusia, “a
collection of rules and evaluative criteria for referring to human
knowledge" serta "a normative attidute regulating how we use such
terms as 'knowledge', 'science', 'cognition', and `information.” [2]
Menurut Kolakowski, ada empat aturan
dalam positivisme yang menentukan apa yang dimaksud
dengan “pengetahuan.” Pertama, adalah rules
of phenomenalism. Aturan ini menyatakan bahwa kita hanya berhak merekam apa
yang sebenarnya ada dalam pengalaman kita atau apa yang sebenarnya kita alami.
Hal ini berarti bahwa positivisme mengakui eksistensi, tetapi menolak esensi,
sehingga positivisme menolak setiap penjelasan yang mengacu pada hal-hal yang
menurut definisinya tidak dapat digapai oleh pengetahuan manusia. Dengan kata
lain, aturan ini menandaskan bahwa bagi positivisme pengalaman adalah dasar
terpenting (ultimate foundation) dari
pengetahuan manusia. Jadi positivisme tidak memberikan tempat pada metafisik. Aturan
kedua, rule of nominalism, merupakan
implikasi dari aturan yang pertama. Aturan ini menyebutkan bahwa kita tidak
boleh beranggapan bahwa setiap pemahaman (insight)
yang dirumuskan dalam istilah-istilah yang umum dapat mengacu selain kepada
fakta-fakta individual. Jadi, bagaimanapun umumnya istilah-istilah yang
digunakan untuk merumuskan atau memaparkan suatu pemahaman, acuan rumusan
tersebut tetaplah fakta-fakta individual. Menurut aturan nominalisme, setiap
ilmu pengetahuan yang abstrak tidak lain adalah sebuah metode untuk meringkas (abridging) perekam pengalaman, ilmu
tersebut tidaklah memberi pengetahuan baru yang bebas, dalam arti bahwa ilmu
pengetahun tersebut dapat membuka jalan menuju sebuah kawasan realitas lain
yang secara empiris sebenarnya tidak dapat kita gapai.
Aturan ketiga adalah rule that refuses to call value judgments
and normative statements knowledge. Aturan ini menyatakan bahwa kita wajib
menolak pandangan yang mengemukakan bahwa nilai-nilai (values) merupakan ciri-ciri dari dunia yang ada di sekitar kita.
Mengapa? Karena nilai-nilai ini tidak dapat diperoleh dengan cara yang sama
sebagaimana halnya "pengetahuan" yang kita miliki. Nilai ini kita
peroleh melalui proses sosialisasi, jadi bersifat relatif, karena setiap
kebudayaan dan masyarakat di mana proses tersebut berlangsung memiliki sistem
nilainya sendiri-sendiri. Tanpa proses sosialisasi ini kita tidak akan memiliki
nilai-nilai tersebut. Lain halnya dengan pengetahuan mengenai dunia empiris di
sekitar kita. Walaupun tanpa sosialisasi, kita tetap dapat memperoleh
pengetahuan tentang dunia di sekitar kita, asalkan panca indra kita normal,
atau tidak rusak.
Aturan keempat adalah belief in essential unity of science method!
Aturan ini menyatakan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara metode ilmu
pengetahuan alam (natural sciences)
dengan metode ilmu sosial-budaya. Meskipun obyek penelitian kedua ilmu
pengetahuan ini berbeda, namun hal itu tidak berarti bahwa prosedur penalaran
dan penelitian di antara keduanya juga harus berbeda. Implikasi dari pandangan
semacam ini adalah bahwa berbagai prosedur dan metode penalaran serta
penelitian yang telah berkembang terlebih dahulu dalam ilmu-ilmu alam dianggap
dapat digunakan juga untuk memahami berbagai macam gejala atau peristiwa
sosial-budaya.Serangkaian aturan yang dikemukakan Kolakowski di atas masih
berada pada tataran pemikiran filsafat. Untuk memperjelas pemikirannya, perlu
dikemukakan pemikiran Anthony Giddens mengenai positivisme dalam sosiologi. Ia
mengemukakan bahwa positivistic attidute
dalam sosiologi mencakup paling tidak tiga hal yang saling berkaitan, yaitu
pandangan bahwa (i) the procedures of
natural science may be directly adapted to sociology. (2) the end results of
sociological investigations can be formulated as "law" or
"law-like" generalizations of the same hind as those established by
natural scientist, dan (3) sociology has technical character. Ciri-ciri positivistic attidute dari Giddens ini
tampak lebih kongkret dari pada apa yang dikemukakan oleh Kolakowski, dan kata
sociology atau sociological dalam
rumusan Giddens tersebut dapat kita ganti dengan anthropology atau anthropological,
jika ingin diterapkan dalam disiplin ilmu antropologi.[3]
Kaum positivis memandang bahwa ilmu
pengetahuan merupakan suatu upaya untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang predictive dan explanatory mengenai dunia di luar sana. Untuk itu, orang harus
membangun teori-teori yang isinya tidak lain adalah pernyataan-pernyataan yang
sangat umum atau hukum-hukum ini juga memungkinkan kita menebak, memperkirakan
ataupun menjelaskan gejala-gejala yang kita jumpai dalam aktivitas percobaan
dan pengamatan yang sistematis. Selanjutnya, percobaan dan pengamatan ini
sekaligus juga dapat dimanfaatkan untuk menilai kebenaran teori-teori yang
dirumuskan. Kaum positivis memandang manusia sebagai individu rasional yang
diatur oleh hukum-hukum sosial, perilakunya dapat dipelajari melalui pengamatan
dan diatur oleh sebab-sebab eksternal yang menghasilkan hasil yang sama
(penyebab dan perilaku yang sama menghasilkan konsekuensi atau hasil yang
sama). Bagi kaum positivis, realitas adalah segala sesuatu yang dapat diterima
melalui akal, kenyataan adalah out there,
berada di luar manusia, terlepas dari kesadaran manusia, dan bersifat obyektif,
bersandar pada aturan, dan dibatasi oleh hukum yang ketat, alamiah dan tidak
berubah, dan didapatkan melalui
pengalaman. Setiap orang dalam masyarakat mendefinisikan realitas dengan cara
yang sama, sebab mereka menganut cara yang sama. Tujuannya adalah mencari
kebenaran. Kebenaran tersebut dirumuskan dalam generalisasi-generalisasi dan
hukum-hukum. Kemudian secara deduktif nomologis, prinsip-prinsip tersebut
digunakan untuk menjelaskan data empirik. hal ini didasarkan pada pandangan
bahwa ilmu pengetahuan adalah unified
science (ilmu alam), setiap ilmu harus bekerja seperti ilmu alam. Cara
menempuh kebenaran adalah dengan verifikasi dan klasifikasi. Penjelasan teori
dilakukan dengan cara membangun model-model, menghubung-hubungkan variabel,
dan atau membuat causal explanation.[4]
Kaum positivis memahami penelitian
sosial sebagai cara yang instrumental. Penelitian ini adalah suatu alat untuk
mempelajari peristiwa-peristiwa sosial dan hubungan-hubungannya, sehingga dapat
dibuat hukum-hukum kausal yang umum, menjelaskannya, dan membakukannya.
Pengetahuan tersebut dan hukum-hukum sosial memedomani masyarakat untuk
mengendalikan peristiwa-peristiwa dan meramalkan keberlangsungannya. Ilmu
pengetahuan menurut kaum positivis (I) didasarkan pada aturan-aturan dan
prosedur-prosedur yang ketat, berbeda dari spekulasi dan akal sehat; (2)
bersifat deduktif, berasal dari yang abstrak dan umum menuju yang spesifik dan
kongkret; (3) bersifat nomotetis, bersandar pada hukum-hukum kausal yang
digunakan untuk menerangkan kejadian-kejadian sosial yang kongkret dan
hubungan-hubungan; (4) berdasarkan pada pengetahuan yang didapatkan dari akal;
(5) terpisah dari fakta yang berasal dari nilai-nilai, harus bebas nilai.[5]
Meskipun sama-sama berada dalam satu
paradigma, namun definisi dari aliran-aliran yang dapat digolongkan ke dalam
positivisme sangat beragam, sehingga tidak mudah untuk dapat mensintesiskannya
ke dalam suatu pengertian yang dapat mencakup seluruhnya. Keragaman definisi
kebudayaan itu dapat dimengerti, karena setiap aliran pemikiran dalam
positivisme memiliki definisi kebudayaannya masing-masing, mulai dari
evolusionisme dan neo-evolusionisme, fungsionalisme, dan neo-fungsionalisme,
fungsionalisme struktural,strukturalisme, sampai materialisme budaya.
Kaum positivis memandang kebudayaan
sebagai fenomena universal yang tunduk pada hukum-hukum yang berlaku di mana-mana
di dunia. Pandangan ini analog dengan anggapan tentang fenomena geo-fisika
yang tunduk pada hukum-hukum alam. Seorang penganut aliran evolusionis, Sir
Edward Bernett Tylor (1832-1917) dari Inggris adalah tokoh yang pertama memberi
definisi kebudayaan. Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, dan kebiasaan
lainnya yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat.[6]
Implikasi metodologis dari definisi
yang diberikan oleh Tylor bagi peneliti kebudayaan adalah dengan menggunakan
taksonomi kebudayaan. Ketika fakta-fakta kebudayaan dan masyarakat telah
terkumpul, maka pada tahap berikutnya si ahli antropologi kemudian harus
menentukan "sifat-sifat umum dan sistem" dalam fakta. Proses ini juga
disebut sebagai generalisasi. Dua metode yang penting yang dipergunakan dalam
proses generalisasi ini adalah metode perbandingan dan metode klasifikasi atau
tipologi. Menurut Koentjaraningrat, seorang ahli antropologi bertujuan
mempelajari sebanyak mungkin kebudayaan yang beraneka ragam di dunia, mencari
unsur-unsur persamaan dalam kebudayaan-kebudayaan itu, kemudian
mengklasifikasi berdasarkan unsur-unsur persamaan itu sedemikian rupa, sehingga
tampak sejarah evolusi kebudayaan manusia itu dari satu tingkat ke tingkat
yang lain. Unsur-unsur kebudayaan yang diteliti, dipilah-pilah sedemikian
rupa, seperti sistem religi dan kepercayaan, kesusasteraan, adat-istiadat,
upacara, kesenian, dan seterusnya. Singkatnya ada tiga tahap cara pengumpulan
fakta, yaitu (1) pengumpulan fakta; (2) penentuan sifat-sifat umum atau
generalisasi dan sistem; serta (3) verifikasi.[7]
Tokoh positivis lain, Kroeber dan
Kluckhohn, memberi definisi kebudayaan sebagai pola, eksplisit dan implisit,
tentang dan untuk perilaku yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol-simbol
yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda
budaya." Selanjutnya, C. Cluckhohn menyebut 7 unsur kebudayaan, guna
kepentingan ilmiah dan analisa. Ketujuh unsur tersebut disebut cultur universals, suatu istilah yang menunjukkan
bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap
kebudayaan. Tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah: (1) Peralatan dan
perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga,
senjata-senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya); (2) Mata
pencarian hidup dan sistem-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi, dan sebagainya); (3) Bahasa (lisan dan tulisan);
(4.) Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya); (5) Sistem
kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem
perkawinan); (6) Sistem pengetahuan; (7) Sistem religi atau kepercayaan.[8]
Cultural-universals tersebut di atas,
dapat dijabarkan lagi ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil yang oleh Linton
disebut sebagai cultural activity
(kegiatan-kegiatan kebudayaan). Sebagai contoh, cultural universals mata pencaharian hidup dan ekonomi, antara
lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian, peternakan, sistem produksi,
sistem distribusi dan seterusnya. Kesenian umpamanya, meliputi seni tari, seni
rupa, seni suara dan lain-lain. Selanjutnya Linton merinci kegiatan-kegiatan
kebudayaan tersebut menjadi unsur-unsur yang lebih kecil atau traits-complex, umpamanya kegiatan pertanian
menetap meliputi unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak
milik atas tanah dan sebagainya. Selanjutnya, traits-complex mengolah tanah dengan bajak dapat dipecah-pecah
terdiri atas unsur-unsur yang lebih kecil lagi, umpamanya hewan-hewan yang
menarik bajak, teknik mengendalikan bajak, dan seterusnya. Akhirnya sebagai
unsur-unsur yang terkecil dalam kebudayaan yang membentuk trait adalah items.
Jika diambil contoh alat bajak tersebut di atas, maka bajak tadi terdiri atas
gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dapat
dilepaskan, tetapi pada hakekatnya merupakan suatu kesatuan. Apabila salah satu
bagian dari bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tersebut tidak akan dapat
menjalankan fungsinya sebagai alat bajak. Menurut Bronislaw Malinowski, yang
merupakan salah satu tokoh teori fungsional yang selalu mencoba untuk mencari
fungsi atau kegunaan dari setiap unsur dalam kebudayaan, maka tak ada suatu
unsur kebudayaan yang tidak mempunyai fungsi yang cocok dalam rangka kebudayaan
tersebut sebagai keseluruhan. Apabila ada unsur-unsur kebudayaan yang kehilangan
fungsi, maka unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya. Dalam bukunya yang
berjudul A Scientific Theory of Culture
and Other Essays, Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur
kebudayaan yang sangat kompleks. Menurutnya, segala aktivitas kebudayan
sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Ia memberi tiga tingkat
fundamental, yang katanya harus dipecahkan oleh setiap kebudayaan: (1) kebudayaan
harus memenuhi kebutuhan biologis, seperti kebutuhan akan pangan; (2) kebudayan
harus memenuhi kebutuhan instrumental, seperti kebutuhan akan hukum dan
pendidikan; (3) kebudayaan harus memenuhi kebutuhan integratif seperti agama
dan kesenian.[9]
- Interpretivisme
Inti dari interpretivisme adalah bahwa
anggota-anggota masyarakat saling membagikan (mutually shared) suatu sistem simbol dan makna (yang disebut
kebudayaan). Untuk bisa berinteraksi orang harus memiliki beberapa gagasan yang
dipercayai orang lain dalam komunitas yang sama, beberapa harapan dan respons
yang sama dengan orang lain. Manusia menduduki posisi yang sentral, kenyataan
dan dunia sosial diciptakan oleh aktor-aktor melalui pemberian sistem makna
kepada peristiwa-peristiwa. Tidak ada hukum-hukum yang umum yang mengatur
manusia (seperti dalam positivisme). Makna subyektif, pola-pola, dan
keteraturan perilaku muncul sebagai akibat dari konvensi sosial yang ditetapkan
melalui interaksi. Manusia adalah penyebar dan penghasil sistem tanda dan
simbol untuk menanamkan pengetahuan dan pesan-pesan melalui interaksi.
Realitas tidaklah out there, tetapi
ada di kepala orang, kenyataan dialami secara internal, dan secara sosial
dikonstruksikan melalui interaksi dan interpretasi oleh para aktor, dan
didasarkan pada definisi orang mengenai sesuatu. Kenyataan tidaklah obyektif,
tetapi subyektif. Kenyataan adalah apa yang orang lihat sebagaimana adanya.[10]
Tujuan kaum interpretivis adalah
mempelajari dan meneliti proses di mana orang memberi makna kepada dunia dan
perilaku di dalamnya. Artinya, tujuannya adalah mengungkapkan sistem makna yang
digunakan para aktor untuk memahami dunianya. Penelitian membantu untuk
menginterpretasi dan memahami para aktor yang mendasari perilaku sosial, cara
mereka merekonstruksi hidup dan makna-makna yang dipakai untuk mencakup konteks
sosial dari perilaku sosial. Tujuan berikutnya dalam penelitian adalah menarik
fakta-fakta yang kecil untuk mendukung pernyataan yang luas mengenai peranan
kebudayaan dalam kehidupan kolektif.[11]
Pandangan interpretivisme mengenai
ilmu pengetahuan adalah: (I) bahwa dasar untuk menerangkan kehidupan sosial dan
untuk memahami manusia bukanlah ilmu pengetahuan dalam arti positivistis,
tetapi akal sehat yang di dalamnya mengandung makna-makna yang digunakan orang
untuk membuat hidupnya berarti; (2) bahwa pendekatannya adalah induktif,
bermula dari yang khusus ke yang umum, dari kongkret ke abstrak; (3) bahwa
sifatnya idiografis, bukan nomotetis, mengungkapkan kenyataan secara simbolis
dalam bentuk deskriptif; (4) bahwa pengetahuan tidaklah berasal dari akal saja,
tetapi merupakan pemahaman makna, dan interpretasi adalah lebih penting; dan
(5) bahwa ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai.[12]
Dengan pendekatan-pendekatan yang
bersifat historis dan idiografis diharapkan dapat menangkap totalitas
kehidupan. Inti pengetahuan bukanlah teori-teori dan temuan, tetapi apa yang
dilakukan peneliti, yaitu membuat etnografi; menangkap bentuk pengetahuan, yang disebut oleh Geertz sebagai thick description. Membangun teori bukanlah
mengkodifikasi aturan-aturan abstrak, tetapi membuat thick description dimungkinkan, tidak menggeneralisasi kasus-kasus
secara silang tetapi menggeneralisasi di antara kasus-kasus itu sendiri. Atas
dasar pemikiran tersebut, kebudayaan menurut kaum interpretivisme dapat
disintesiskan sebagai sistem simbol dan makna, sistem pengetahuan, pedoman
hidup atau blue print kehidupan. Dalam
mencari kebudayaan kaum interpretivis menolak penjelasan kausal dan menggantikannya dengan pendekatan
hermeneutik, dengan mencari makna melalui interpretasi kelakuan atau
naskah-naskah. Bagi kaum interpretivis,
manusia dipandang sebagai a symbolizing
species. Tingkah laku atau kelakuan tidak berisi makna, tetapi di dalamnya
dapat ditemukan makna melalui interpretasi suatu tindakan. Makna diciptakan
dari apa yang diamati. Makna itu adalah milik kita, dan barangkali tidak sama
dengan tujuan orang yang bertingkah laku tersebut. Orang-orang yang berbeda
yang berorientasi kepada fenomena yang sama bisa berbeda satu sama lain dalam
hal-hal tertentu bergantung pada interpretasi mereka tentang fenomena tersebut.
Interpretasi tersebut bukanlah bersifat acak, melainkan cenderung dibuat dalam
istilah-istilah yang khas yang mencirikan masyarakat tertentu, dan dipengaruhi
oleh bahasa, ekologi, tradisi kepercayaan, ideologi, dan sebagainya.
Interpretasi tersebut tidaklah abadi, melainkan merupakan tanggapan terhadap
lingkungan interaksi, baik di antara individu maupun masyarakat secara
keseluruhan atau masyarakat yang lebih luas lagi. Roda dari interpretasi
semacam itu adalah simbol-simbol. Anggota-anggota masyarakat saling membagikan
sistem simbol dan makna (kebudayaan). Sistem ini mewakili realitas di mana
orang-orang hidup. Antropologi simbolik menekankan sistem, tidak peduli apakah
terintegrasi secara longgar atau ketat, karena anggota-anggota masyarakat harus
mengucapkan kata-kata setiap saat dan membagikannya pada tingkat-tingkat
tertentu. Orang harus memiliki beberapa gagasan yang dipercayai oleh orang lain
dalam komunitas yang sama, memiliki beberapa harapan dan respons yang sama
dengan orang lain, sehingga dapat berinteraksi dan berkomunikasi satu sama
lain. Jika komunikasi merupakan sine qua
non dalam masyarakat manusia, makna penyimbolan, penandaan, dan penyampaian
makna dari pikiran dan tingkah laku adalah apa yang didefinisikan sebagai
kebudayaan. Hasil akhir yang dicari oleh kaum interpretivisme adalah (model for) pola-pola makna, sedangkan
kaum positivisme adalah (model of)
pola-pola tingkah laku. Perdebatan antara kaum positivis dan interpretivis
mengenai kebudayaan terletak pada persoalan apakah kebudayaan itu terletak
dalam cultural system atau social system, dengan konsekuensi
metodologisnya masing-masing.
Marvin Harris, seorang tokoh
materialisme budaya, memandang konsep kebudayaan yang ditawarkan kaum
interpretivis bersifat bias, karena mengisolasi kajian mengenai manusia masa
kini dengan manusia yang hidup masa lampau yang tidak mempunyai catatan
tertulis. Oleh karena itu, konsep kebudayaan yang cocok bagi antropologi,
arkeologi, antropologi biologi adalah suatu konsep yang mencakup tidak hanya
komponen mental dan emik dari komponen kehidupan sosial manusia, tetapi
seharusnya juga komponen etik dan tingkah laku. Dalam hal ini kebudayaan dalam
materialisme budaya refers to the
socially conditioned repertoires of activities and thoughts that are associated
with particular social groups or populations. Kaum materialisme budaya
mengkonstruksikan unsur-unsur kebudayaan dari satuan dasar variable pemikiran
yang luas sekali, dan tingkah laku khusus dari para individu. Kebudayaan
terletak di dasar suatu proses material yang terbentang luas, bukanlah hasil
dari suatu pola dasar yang platonis, menurut Harris lagi.[13]
- Kritisisme
Kaum kritikal berkeyakinan bahwa
manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dan menciptakan. Namun, mereka
dibatasi oleh faktor-faktor sosial, dan dieksploitasi oleh penguasa, yang
meyakinkan mereka bahwa nasib mereka sudah betul dan dapat diterima.
Kepercayaan semacam ini membangun kesadaran yang salah dan menghambat orang
untuk menyadari potensinya secara penuh. Manusialah yang mempunyai potensi
secara penuh. Manusialah yang mempunyai potensi untuk menciptakan realitas, dan
kondisi, berkuasa memanipulasi dan mencuci otak orang lain agar menerima segala
sesuatu dan menginterpretasikannya seperti yang mereka inginkan. Kenyataan dan
realitas tidak berada dalam keteraturan, tetapi berada dalam konflik, ketegangan,
dan kontradiksi, sehingga dunia selalu berada dalam perubahan. Mereka juga
membedakan antara kenyataan (realitas) dan apa yang tampak yang tidak
mencerminkan konflik, tetapi sesungguhnya didasarkan pada ilusi dan distorsi.[14]
Jika kaum positivis percaya bahwa
realitas adalah struktur obyektif dan kaum interpretivis percaya bahwa realitas
adalah struktur subyektif, maka kaum kritikal berada diantaranya, dan percaya
bahwa meskipun makna subyektif itu relevan dan penting, tetapi hubungan obyek
tidak dapat diabaikan. Keinginan kaum kritikal adalah mengungkapkan mitos-mitos
dan ilusi yang menunjukkan struktur nyata sebagaimana adanya. Sebagai ilmu,
paham kritikal berpijak di antara positivisme dan interpretivisme, di antara determinisme dan humanisme. Gagasannya berasal dari pandangan bahwa pelaku (orang)
dihadapkan pada kondisi sosio-ekonomi yang membentuk kehidupannya, namun mampu
memberi makna kepada dunia dan bertindak untuk mengubah hidupnya.
Tujaun penelitiannya adalah agar
peneliti sosial mampu memahami dan mengungkapkan hubungan-hubungan yang nyata,
menghilangkan mitos dan ilusi, dan menunjukkan kepada orang bagaimana dunia
yang seharusnya dan bagaimana untuk mencapai tujuan itu, serta bagaimana
mengubah dunia. Menurut Fay, ilmu sosial harus menjelaskan keteriban sosial,
atau menerangkan fakta sosial sehingga menjadi catalyst bagi transformasi ketertiban sosial, atau menerangkan
fakta sehingga menjadi catalyst bagi
transformasi ketertiban sosial, atau menerangkan fakta sosial, mengkritiknya,
dan memberdayakan manusia supaya dapat mengerti dan mengubah keadaan sosial.
Singkatnya, perspektif kritikal menggunakan penelitian sosial untuk mencapai
tujuan mengubah kepercayaan dan ide-ide palsu tentang masyarakat dan kenyataan
sosial, serta mempercayai bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif dan dapat
mengubah sistem kekuasaan dan struktur yang tidak tidak seimbang yang
menguasai dan menekan orang dalam masyarakat. Dengan kata lain penelitian
sosial tidak bebas nilai.[15]
4.Teori Praktis Bourdieu
Dalam teori antropologi masa kini, kesadaran
subyektif mendapat posisi yang sangat penting dalam `teori praksis' (theory of practice) yang dikembangkan
oleh Pierre Bourdieu. Pokok pikirannya yang paling penting adalah bahwa konsep
`praksis' (practice) berbeda dengan
konsep tindakan' (action) yang
merupakan salah satu konstruk teoritis utama sosiologi Weber, yang diwariskan
dalam berbagai pendekatan antropologis, antara lain pendekatan interpretative
Geertz. Konsep tindakan dalam sosiologi Weber cenderung dilihat sebagai
pencerminan ide-ide yang terkandung dalam kebudayaan si pelaku, sedangkan
konsep praksis menekankan adanya hubungan timbal-balik antara si pelaku dan
struktur obyektif atau kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan6 yang
diwariskan dari generasi kegenerasi dalam bentuk simbolik.[16]
Implikasi utama dari konsep praksis
bagi konsep kebudayaan adalah bahwa simbol-simbol yang terkandung dalam suatu
kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis, dan sementara, karena keberadaannya
tergantung pada praksis para pelakunya yang berada pada konteks sosial
tertentu, yang mempunyai `kepentingan' tertentu. Kebudayaan dalam arti ini
bukan semata-mata merupakan sekumpulan pengetahuan yang diwariskan atau
dilestarikan, melainkan merupakan sesuatu yang `dibentuk', suatu konstruksi
sosial yang berkaitan erat dengan kepentingan maupun kekuasaan si pelaku.[17]
Konsep praksis ini sangat relevan jika
dipakai sebagai acuan dalam menganilisis masalah civil society. Civil society
pada dasarnya adalah wilayah kehidupan sosial yang terletak di antara negara
dan komunitas lokal tempat terhimpunnya kekuatan masyarakat untuk mempertahankan
kebebasan, keanekaragaman, serta kemandirian masyarakat terhadap kekuasaan
negara dan pemerintah. Dilihat dari teori praksis, hubungan saling membentuk
dan mempengaruhi antara civil society
dan negara merupakan hubungan dialektis antara subyek dan struktur obyektif
(negara). Praksis para pelaku tidak sepenuhnya bebas dari struktur obyektif,
tetapi praksis juga dapat mengubah struktur obyektif. Demikian juga, seperti
dikemukakan Gramsci, Kiane, dan Hikam, civil
society yang terdiri atas subyek-subyek dengan kesadaran serta kepentingan
yang berbeda-beda di satu pihak dibentuk oleh negara, namun sebaliknya negara
juga dipertahankan atau diubah oleh civil
society.[18]
[1] Sotirios
Sarantakos, Social Research,
(Melbourne: Macmillan Education Australisa, 1993), hal. 31. Lihat juga, Imam
Subchi, op. cit., hal. 392.
[8] RalpLinton, The Study of Man: An Introduction, (New
York: D. Appleton-Century Comp, 1936), hal. 397. Imam Subchi, op. cit., hal. 402
[16] Pierre
Bourdieu, Outline of a Theory of Practice,
(England: Cambridge University Press, 1977), hal. 83
Post a Comment