Terorisme berkembang seiring dengan massifnya perkembangan faham radikalisme agama. Maraknya gerakan radikalisme agama menjadi ladang subur bagi terorisme.
KH Hasyim Muzadi

Radikalisme agama  menjadi pembicaraan yang tidak pernah berhenti selama beberapa tahun belakangan ini. Bentuk-bentuk radikalisme yang berujung pada anarkisme, kekerasan, dan bahkan terorisme memberi stigma kepada agama-agama yang dipeluk oleh terorisme. Seperti yang dikemukakan Frans Magnis Suseno,  “Siapa pun perlu menyadari bahwa sebutan teroris memang tidak terkait dengan ajaran suatu agama, tetapi menyangkut prilaku keras oleh person atau kelompok. Karena itu, cap teroris hanya bisa terhapus dengan prilaku nyata yang penuh toleran”.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, radikalisme agama pada umumnya berujung pada atau dengan kegagalan. Apalagi jika filosofi yang digunakan adalah kebencian dan fanatisme. Pendukung radikalisme agama tampaknya tidak mempunyai modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan.
Sedangkan sebab-sebab munculnya radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.
Salah satu karakter radikalisme agama, di antarannya adalah penekanan pada sikap skriptual -disebut juga tekstual atau literal- terhadap doktrin agama. Agar pemahaman skriptual memiliki otoritas yang kuat, radikalisme agama melembagakan kepemimpinan agama yang tunggal, monolotik yang cenderung otoriter. Dengan karakter semacam ini, tidak heran bila kalangan luar memahami radikalisme dalam konotasi yang pejoratif. Misalnya, radikalisme disamakan dengan sikap antirasional, anti-modern, anti-ilmu pengetahuan, eksklusif, tidak toleran, dan lain sebagainya.
Misalnya, penafsiran terhadap ayat-ayat tentang jihad. Jihad atau holly war merupakan tema sentral berkaitan dengan sudut pandang kaum Muslim terhadap agama dan komunitas di luar agama Islam. Pada umumnya kalangan radikalis memaknai jihad sebagai perang terhadap umat agama lain. Bagi mereka yang bertekad melakukan "perang suci", kemenangan telah menanti. Jika tidak menang di dunia ini, maka pasti memperoleh kemenangan di akherat. Oleh karena itu, tidak ada perang yang lebih mulia kecuali perang membela iman. Fenomena ini semakin menarik manakala kepentingan politik yang bersifat ideologis terlibat di dalamnya.
Menurut Harun Yahya, dalam Islam, Jihad sesungguhnya adalah sesuatu yang positif. Jihad mengandung dua dimensi, jihad dalam diri yaitu mengendalikan nafsu negatif dan merusak yang ada dalam jiwa dan yang kedua adalah keluar yaitu perjuangan melawan tirani dan kekerasan dengan kata-kata dan tindakan. Pengamalan jihad yang kedua ini diatur dengan ketat diantaranya dilarang menghancurkan kehidupan sipil, melukai binatang bahkan dilarang menebang pohon. Jihad lebih utama adalah jihadun nafsi (jihad terhadap diri sendiri).
Jihad  dengan cara melakukan bom diri, dengan maksud melukai umat beragama lain, terlebih lagi di tempat ibadah tentu tidak bisa dibenarkan- karena kasih sayang umat Islam tidak hanya ditujukan kepada kaum Muslimin saja, namun juga harus sensitif terhadap penderitaan umat lain. Sebagaimana yang dikemukakan Rasulullah Saw, “Tidaklah beriman seseorang hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri” (HR. Muslim). Seorang muslim tidak dapat dikatakan mempunyai kasih sayang jika masih ada penderitaan dan ketidakadilan disekitarnya. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa Islam mewajibkan masyarakat kaum beriman bersatu untuk memperhatikan tetangga adalah bagian dari iman. Perhatian terhadap tetangga muslim maupun non muslim adalah yang sangat penting, sehingga pada suatu ketika Nabi Muhammad saw pernah berkata, “Jika ada seseorang yang kelaparan di suatu wilayah, maka malaikat tidak akan turun di wilayah tersebut sampai orang yang lapar tersebut diberi makan.”
Oleh karenanya, kita tidak bisa menyalahkan agama atas kesalahan yang dilakukan pemeluknya yang menggunakan nama atau simbol agama untuk melakukan tindakan yang merusak, menakutkan, dan mengerikan. Sebab pada dasarnya- semua tradisi agama sebenarnya mengutuk semua bentuk tindakan agresi dan semua bentuk teror.
Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan orang lain,
agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu
malapetaka bahwa saat ini agama telah sedemikian
terdistorsi sehingga menjadi penyebab
perselisihan dan pembantaian
Mahatma Gandhi

Post a Comment

 
Top