Untuk Versi PDF bisa Download Disini Download

A.  Pendekatan Antropologis
Kata Antropologi berasal dari bahasa Yunani, anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan logos berarti pikiran atau ilmu. Secara sederhana, Antropologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari manusia. Tentunya kita akan semakin bertanya-tanya, begitu banyak ilmu yang mempelajari manusia. 
Lalu, apa sebenarnya yang dipelajari Antropologi? Menurut William A. Haviland, seorang antropolog Amerika, Antropologi adalah ilmu yang pengetahuan yang mempelajari keanekaragaman manusia dan kebudayaannya.[1] Dengan mempelajari kedua hal tersebut, Antropologi adalah studi yang berusaha menjelaskan tentang berbagai macam bentuk perbedaan dan persamaan dalam aneka ragam kebudayaan manusia.  
Koentjaraningrat, bapak Antropologi Indonesia, mendukung definisi Antropologi yang diberikan oleh Haviland. la menyatakan bahwa Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat, serta kebudayaan yang dihasilkannya.[2] Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, antropologi memiliki makna;
“Antropology is the scientific study of humanity and of human culture. Antropologist investigate the strategies for living that are learned and shared by people as members of social groups. These scientists examine the characteristics that human beings share as members of one species and the diverse ways that people live in different environment. They also analyse the products of social groups- material objects and less material creations, such as beliefs and values.”[3]

Berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik, kepada gerakan-gerakan keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial kemasyarakatan. Sedangkan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya. Karl Marx (1818-1883), sebagai contoh, melihat agama sebagai opium atau candu masyarakat tertentu sehingga mendorongnya untuk memperkenalkan teori konflik atau yang biasa disebut dengan teori pertentangan kelas. Menurutnya, agama bisa disalah fungsikan oleh kalangan tertentu untuk melestarikan satus quo peran tokoh-tokoh agama yang mendukung sistem kapitalisme di Eropa yang beragama kristen. Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920). Dia melihat adanya korelasi positif antara ajaran Protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern. Etika protestan dilihatnya sebagai cikal bakal etos kerja masyarakat industri modern yang kapitalistik. Cara pandang Weber ini kemudian diteruskan oleh Robert N. Bellah dalam karyanya The Religion of Tokugawam, yakni semacam percampuran antara ajaran agama Budha dan Sinto pada era pemerintahan Meiji dengan semangat etos kerja orang Jepang modern. Tidak ketinggalan, seorang Yahudi kelahiran Paris, Maxime Rodinson, dalam bukunya Islam and Capitalism menganggap bahwa ekonomi Islam itu lebih dekat kepada sistem kapitalisme, atau sekurang-kurangnya tidak mengharamkan prinsip-prinsip dasar kapitalisme.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan keagamaannya. 
Selanjutnya, melalui pendekatan antropologis ini, kita dapat melihat agama dalam hubungannya dengan mekanisme social organization juga tidak kalah menarik untuk diketahui oleh para peneliti sosial keagamaan. Kasus di Indonesia, peneliti Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java, dapat dijadikan contoh yang baik dalam bidang ini. Geertz melihat adanya klasifikasi sosial dalam masyarakat Muslim di Jawa, antara santri, priyayi dan abangan. Sungguhpun hasil penelitian antropologis di Jawa Timur ini mendapat sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial yang lain, namun konstruksi stratifikasi sosial yang dikemukakannya cukup membuat orang berpikir ulang untuk mengecek keabsahannya.

Kritik Terhadap Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif[4] yang mengimbangi pendekatan deduktif.
            Ajaran Islam dalam melihat manusia berbeda dengan pendekatan antropologi. Ajaran Islam dalam menjelaskan kedudukan manusia di muka bumi ini, bahwa eksistensi manusia tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Pencipta. Selain itu, agama Islam juga memposisikan manusia sebagai pengatur (khalifah) di muka bumi. Sedangkan antropologi dalam melihat manusia dan agama hanya sebatas sebagai bagian dari fenomena kebudayaan yang tidak terkait dengan kekuatan di luar dirinya.
            Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya yang berkelanjutan bagi sarjana-sarjana muslim untuk memperkaya pendekatan antropologi ini dengan memasukkan ajaran-ajaran islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, guna meluruskan temuan-temuan pendekatan antropologi dengan ilmu keislaman.

B.  Pendekatan Sosiologis
Definisi sosiologi secara luas ialah ilmu tentang masyarakat dan gejala-gejala mengenai masyarakat. Sosiologi seperti itu disebut macro-sociology, yaitu ilmu tentang gejala-gejala sosial, institusi-institusi sosial dan pengaruhnya terhadap masyarakat. Secara sempit sosiologi didefinisikan sebagai ilmu tentang perilaku sosial ditinjau dari kecendrungan individu dengan individu lain dengan memperhatikan simbol-simbol interaksi.[5] Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, sosiologi memiliki makna;
“Sociology is the study of the individuals, groups, and institutions that make up human society. The field of sociology covers an extremely broad range that includes every aspect for human social conditions. Sociologists observe and record how people relate to one another and to their environments. They also study the formation of groups; the causes of various forms of social behaviour; dan the role of churches, schools, and other institutions within a society. Sociology is a social science and is closely related to anthropolgy, psychology, and other social sciences.”[6]

Pada dasarnya sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan sosial manusia dalam tata kehidupan bersama. Ilmu ini memusatkan telaahnya pada kehidupan kelompok dan tingkah laku sosial lengkap dengan produk kehidupannya. Sosiologi tidak tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya kecil, pribadi, dan unik. Sebaliknya, ia tertarik pada masalah-masalah yang sifatnya besar dan substansial serta dalam konteks budaya yang lebih luas. [7]
Penerapan pendekatan sosiologis Islami di antaranya misalnya bagaimana implementasi syariah dalam masyarakat Islam. Dengan catatan bahwa peneliti harur menjauhi sikap purbasangka negatif. Cukup banyak negara muslim yang bisa dijadikan sample dalam penelitian ini, antara lain Malaysia, Indonesia, Pakistan, Saudi Arabia, dan Mesir. Yang dimunculkan dalam penelitian ini bukan segi-segi yang bersifat konflik antara hukum Islam dan masyarakat, melainkan justru segi-segi positifnya.[8]

Kritik Terhadap Pendekatan Sosiologis
Hasil penelitian bidang sosiologi agama bisa saja berbeda dengan agama yang terdapat dalam doktrin kitab suci. Sosiologi agama bukan  mengkaji benar atau salahnya suatu ajaran agama, tetapi yang dikaji adalah bagaimana agama tersebut dihayati dan diamalkan oleh pemeluknya. Dalam kaitan ini, dapat terjadi apa yang ada dalam doktrin kitab suci berbeda dengan apa yang ada dalam kenyataan empirik. Para sosiolog membuat kesimpulan tentang agama dari apa yang terdapat dalam masyarakat.
Jika suatu pemeluk agama terbelakang dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi, kesehatan, kebersihan, dan lain sebagainya. Kaum sosiolog terkadang menyimpulkan bahwa agama dimaksud merupakan agama untuk orang-orang yang terbelakang. Kesimpulan ini mungkin akan mengagetkan kaum tekstual yang melihat agama sebagaimana yang terdapat dalam kitab suci yang memang diakui ideal.





[1]Menurut Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
[2]Lihat, Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996), h. 4.
[3]The Wold Book Encyclopedia International, (Chicago, Illinois: World Book Inc,  1994), h. 476.
[4]Induktif adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan cara berpikir atau mengambil kesimpulan yang bertolak dari mengumpulkan data-data dan contoh-contoh yang bersifat detail untuk menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum dan menyeluruh.
[5]Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 13
[6]The World Book Encyclopedia International, (Chicago, Illinois: World Book Inc,  1994), h. 11.
[7]Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjaun Disiplin Sosiologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 107.
[8]Tahir Azhari, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin Ilmu Hukum,”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, (Bandung: Nuansa, 2001), h. 139.

Post a Comment

 
Top