Untuk Versi PDF nya Bisa Anda download disni Download

Sejak lama para sarjana tertarik akan adanya bentuk-bentuk yang sama dari unsur-unsur kebudayaan di berbagai tempat yang seringkali jauh letaknya satu sama lain. Dari banyaknya temuan tentang hal ini, lahirlah satu doktrin tentang difusi[1] (penyebaran) kebudayaan dan hubungan sejarah masa lampau yang dikemukakan oleh F. Ratzel (1844-1904). Aliran ini menganggap difusi sebagai pemindahan unsur suatu budaya kepada budaya lain. Unsur dan sifat budaya ini digunakan untuk menyelesaikan masalah atau dicampurkan untuk menjadi kompleks, di mana unsur-unsur budaya tersebut tidak ada kaitannya antara yang satu dengan yang lain.[2]

Difusi terjadi apabila ada dua masyarakat atau kebudayaan saling bertemu. Makin banyak dan makin tepat pengetahuan kita tentang dinamika proses difusi, makin besarlah kemungkinannya untuk membuat rekonstruksi historis yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan penyebaran unsur-unsur kebudayaan.
Penyebaran unsur-unsur kebudayaan. Bersama dengan penyebaran dan migrasi kelompok-kelompok manusia, turut tersebar pula berbagai unsur kebudayaan. Sejarah dari proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan yang disebut proses difusi itu merupakan salah satu obyek penelitian ilmu antropologi, terutama sub-ilmu antropologi diakronik. Proses difusi dari unsur-unsur kebudayaan antara lain diakibatkan oleh migrasi bangsa-bangsa yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi. Terutama dalam zaman prasejarah, ketika kelompok-kelompok manusia yang hidup sebagai pemburu bermigrasi menempuh jarak yang sangat besar, unsur-unsur kebudayaan yang mereka bawa juga turut tersebar luas.[3]
Suatu difusi yang meliputi suatu wilayah yang luas biasanya terjadi melalui serangkaian pertemuan antara sejumlah suku bangsa. Suku bangsa A, misalnya bertemu dengan suku bangsa B dengan suatu cara tertentu; suku bangsa B bertemu dengan suku bangsa C dengan cara yang sama pula, tetapi mungkin juga dengan cara yang lain; dan suku bangsa C mungkin bertemu dengan suku bangsa D dengan cara lain lagi. Cara-cara yang berbeda yang juga membawa unsur-unsur kebudayaan yang berbeda-beda itu kemudian didifusikan dari A ke B, ke C, ke D, dan seterusnya. Proses difusi semacam ini dalam antropologi disebut stimulus diffusion.[4]
            Teori difusi merupakan suatu transmisi nilai budaya tertentu, sehingga melintasi ruang, daerah, dari budaya setempat, difusi ini bisa melalui migran, para pengusung agama tertentu, transfer nilai, dan kontak sosial.[5] Salah satu bentuk bentuk difusi adalah penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain dimuka bumi, yang dibawa kelompok-kelompok manusia yang bermigrasi.[6]
            Cara lain adalah bentuk hubungan yang disebabkan oleh perdagangan, tetapi dengan akibat yang lebih jauh daripada yang terjadi pada hubungan simbiotis. Unsur-unsur kebudayaan asing di bawa oleh para pedagang masuk kedalam kebudayaan penerima dalam hubungan ini, tidak sengaja dan tanpa paksaan, dengan mengambil istilah dari ilmu antropologi, sering disebut pacitifique penetration; artinya adalah pemasukan secara damai. Pemasukan secara damai tentu juga ada pada bentuk hubungan yang disebabkan oleh usaha dari penyiar agama. Jadi, datanglah para penyiar agama dan mulailah proses akulturasi yang merupakan akibat dari aktivitas tersebut.[7]
Akhirnya kalau suatu proses difusi tidak hanya dilihat dari bergeraknya unsur-unsur kebudayaan dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi, tetapi terutama sebagai proses dibawanya unsur-unsur kebudayaan oleh individu-individu suatu kebudayaan kepada individu-individu kebudayaan lain, maka tampak bahwa bukan hanya satu unsur kebudayaan saja yang didifusikan. Unsur-unsur kebudayaan yang didifusikan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan senantiasa merupakan suatu kompleks unsur-unsur yang tidak mudah dipisahkan.




                [1]Sumbangan difusi kepada kemajuan umat manusia ada dua macam. Pertama, mendorong kebudayaan sebagai keseluruhan. Kedua, memperkaya isi masing-masing kebudayaan sehingga dapat mendorong maju dengan pesat masyarakat-masyarakat yang mendukungnya. Kebudayaan sebagai keseluruhan dapat dipercepat perkembangannya karena masing-masing masyarakat tidak perlu setidak kali mewujudkan penemuan sendiri. Lihat, Linton, Ralph, The Studi of Man; Antropologi Suatu Penyelidikan Tentang Manusia, (Bandung: Jemmars, 1984), hal. 255.
[2]Malinowski, Dinamik Bagi Perubahan Budaya, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka), hal. 27.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet. I, 1996), hal. 152.
[4] Konsep ini kadang-kadang digunakan dalam arti lain, yakni bahwa unsur kebudayaan yang dibawa ke dalam suatu kebudayaan mendorong munculnya unsur-unsur kebudayaan baru ciptaan kebudayaan penerima, walaupun gagasan asli berasal dari luar. Lihat A. L. Kroeber, Anthropology Today, (New York: Harcourt, Brace and Company, 1948), hal. 368-370.
[5]Gustave E. Von Grunebaum (editor), Unity and Variety in Muslim Civilization, (Chicago: The University of Chicago Press, 1955), hal. 29
[6] Ali An Sun Geun, Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), hal. 125.
[7] Ibid.,

Post a Comment

 
Top