Sumber Gambar: azharmind.blogspot.com

Untuk versi PDF atau word bisa download disini 
Transformasi Kebudayaan
Pada hakikatnya tidak ada kebudayaan di dunia ini yang statis dan tiada mengalami perubahan, baik disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Kebudayaan yang berfungsi bagi manusia sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan, baik karena perubahan dalam bidang pemikiran, ekologi, politik, ekonomi, dan sebagainya. Kebutuhan untuk melakukan perubahan atau pembaharuan nilai inilah yang prosesnya disebut transformasi.[1]
            Kuntowijoyo mengartikan transformasi sosio-kultural sebagai arah dari sebuah perubahan (sosial) yang bersifat profetik (normatif). Pengertian sosio-kultural dibatasi pada nilai-nilai normatif (agama, etika sosial, ekonomi Islam) yang dapat dijadikan acuan dalam mendorong peningkatan dan hubungan-hubungan pertukaran di dalam suatu sistem sosial.[2]

Asimilasi Kebudayaan
Asimilasi adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara intensif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran. Biasanya suatu proses asimilasi terjadi antara suatu golongan mayoritas dan golongan minoritas, sehingga sifat-sifat khas dari kebudayaannya lambat-laun berubah dan menyatu dengan kebudayaan golongan mayoritas.[3]
Di Amerika, proses sosial seperti itu banyak diteliti para ahli sosiologi, dengan munculnya masalah-masalah yang diakibatkan oleh kedatangan para imigran dari Eropa. Bagi Indonesia, pengetahuan mengenai kebinekaan suku bangsa, lapisan sosial, dan agama serta proses asimilasi yang terjadi di tempat-tempat lain di dunia, sangat penting sebagai bahan perbandingan.[4] 
Dari berbagai proses asimilasi yang pernah diteliti, diketahui bahwa pergaulan intensif saja belum tentu mengakibatkan terjadinya proses asimilasi, tanpa adanya toleransi dan simpati antara kedua golongan. Contohnya adalah orang Cina di Indonesia, yang walaupun telah bergaul secara intensif dengan penduduk pribumi bangsa Indonesia sejak beberapa abad, belum seluruhnya terintegrasi ke dalam masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Sebaliknya, kurangnya toleransi dan simpati terhadap suatu kebudayaan lain umumnya disebabkan karena berbagai kendala, yaitu kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan pihak yang dihadapi, kekhawatiran akan kekuatan yang dimiliki kebudayaan tersebut, dan perasaan bahwa kebudayaan sendiri lebih unggul dari kebudayaan pihak yang dihadapi.[5]


[1] Alfian, Tranformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Nasional, (Jakarta: UI. Press, 1986), hal. x
[2] Hasbullah,  op. cit., hal. 19.
[3] Koentjaraningrat, op. cit., hal. 160.
[4] Ibid., hal. 160
[5] Ibid., hal. 160.

Post a Comment

 
Top