BAB I
PENDAHULUN

Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam (650-1250 M) sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M).[1] 
Pertemuan Islam dan peradaban Yunani melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam zaman klasik. Tapi,  perlu ditegaskan di sini bahwa ada perbedaan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran Islam klasik. Di Yunani tidak dikenal agama samawi, maka pemikiran bebas, tanpa terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh dan berkembang. Sementara pada Islam zaman klasik pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.[2]
Sedangkan Ilmu kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi Islam yang amat dikenal baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain terlihat dari keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai masalah yang muncul di masyarakat. Keberuntungan atau kegagalan seseorang dalam kehidupannya sering dilihat dari sisi teologi. Dengan kata lain, berbagai masalah yang terjadi di masyarakat seringkali dilihat dari sudut teologi.
Fiqih atau Hukum Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu berhubungan dengan fiqih. Dengan fungsinya yang demikian itu, tidak mengherankan jika fiqih termasuk ilmu yang pertama kali diajarkan kepada anak-anak dari sejak di bangku Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.
            Sedangkan tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada permbersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih, khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada permbersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik.

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Munculnya Aliran Pemikiran Islam
Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang bagi ummat Islam. Di abad inilah daerah-daerah Islam meluas di Barat melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol, di Timur melalui Persia sampai ke India.
Daerah-daerah ini tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Di abad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti: Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hambali serta lainnya di kalangan ahli hukum, Imam al-Asy’ari, al-Maturidi, Wasil bin Atha, al-Jubbai, Abu Huzail, al-Nazzam, dalam bidang teologi Zunnun al-Misri, Abu Yazid al-Busthami dal al-Hallaj dalam bidang tasawuf, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi dalam bidang ilmu pengetahuan dan lain sebagainya.[3]
Dengan lahirnya pemikir dan para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, non agama maupun dalam bidang kebudayaan lainnya.
Para pemikir dan ulama Islam pada saat itu bukan hanya dapat mengislamisasikan pengetahuan-pengetahuan Persia Kuno dan warisan-warisan Yunani, akan tetapi kedua kebudayaan itu disesuaikan pula dengan kebutuhan dan perkembangan pemikiran pada masa itu. Ilmu pengetahuan yang telah ditampung dan diolah oleh para pemikir Islam.[4]
Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yang menguasai alam pikiran orang Barat (Eropa) pada abad selanjutnya.
Dipandang dari segi sejarah kebudayaan, maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan menciptakan ilmu pengetahuan. Jika tugas penelitian yang diadakan oleh Aristoteles, Galinus, dan lainnya dalam lapangan ilmu pengetahuan tidak ditampung dan dipelihara, maka dunia akan miskin dalam ilmu pengetahuan.
Puncak kemegahan dunia Islam itu akhirnya menurun, dunia Islam mulai mengalami kemunduran pada abad kesepuluh, kemudian tenggelam beradab-abad lamanya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran ummat Islam masa itu, antara lain:
Pertama, isu pintu ijtihad tertutup telah meluas di kalangan ummat Islam, berpalingnya pikiran untuk menggali secara langsung pada sumber pertama dan utama (al-Qur’an dan Hadits) apabila menemukan persoalan baru, pikiran hanya dipusatkan untuk kepentingan Mazhab, praktek bermazhab dan taassub terhadap mazhab tertentu demikian suburnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan mulai berkurang.[5]
Kedua, keutuhan ummat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah menurun, pemikiran akan adanya masyarakat Islam yang berbentuk persatuan dan kesatuan dalam seiman telah pindah, tidak ada satu ikatan di dalamnya kecuali nama dan tatanan, ummat Islam terpecah belah dan saling bermusuhan. Masyarakat Islam berubah, kerajaan Islam telah mewariskan kota-kota dan kerajaan yang telah bertikai selama berabad-abad dan dalam sekejab mata sejarah kemanusiaan telah dirobek-robek oleh kelemahan strategi politik, beginilah akibat kelemahan.[6]
Ketiga, adanya perang salib di bawah arahan Gereja Katolik Roma, dan serbuan tentara Barbara di bawah kepemimpinan Hulaqho Khan dari Tartar. Kota Baghdad di rampas dan dihancurkan pada tahun 1258 M. Sehingga Khalifah sebagai lambang kesatuan politik ummat Islam, hilang. Tentara salib ingin menguasai Baitul Maqdis, untuk menyebarkan pengaruhnya dan mengajak bersatu dalam keyakinan. Tentara salib dibantu oleh tentara Tartar, yang membalas kebodohan-kebodohan manusia dengan harga pengetahuan dan penyerbuan serta perluasan reruntuhan peradaban dan kebudayaan.[7]
Dari ketiga faktor di atas, faktor yang menjadi penyebab utama adalah kemunduran spirit yang menimpa kaum muslimin, yang ditampilkan dalam bentuk khurafat, ummat Islam tidak lagi menggunakan pikirannya sebagaimana para pemikir-pemikir sebelumnya melakukan ijtihad, untuk menggali sumber yang asli kepada la-Qur’an dan Hadits Nabi, praktek bermazhab dan bid’ah telah subur.
Masa kemunduran ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga muncul gerakan pemikiran yang dikumandangkan oleh pelopor-pelopor pembaharuan, seperti Ibnu Taimiyah dengan muridnya Ibnul Qayim, Muhammad Ibn Abdul Wahab, Muhammad Ibn Ali Sanusi al-Kabir dan lain-lainnya.
Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah: 
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat ummat Islam berhenti berpikir dan berusaha, ummat Islam maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama ummat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
Ketiga, ummat Islam selalu terpecah belah, maka ummat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Ummat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaraan yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali ummat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaharuan.
Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini ummat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelediki rahasia kekuatan militer Eropa yang baru muncul. Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer, namun pembaharuan di bidang lain disertakan pula.
Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan ummatnya. Oleh karena itu, pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak maju ke depan untuk melawan segala kebodohan dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri. 
Dalam fase kemunduran umat itu muncul pula perintis usaha pembaharuan yaitu Ibnu Taymiyah, yang menentang segala kemunkaran dan kemunduran. Usaha yang dilakukan Ibnu Taymiyah dalam pembaharuan hampir semua bidang sosial, politik, dan kenegaraan. Segala yang memecah persatuan Islam selalu diberantas.
Di Turki pembaharuan ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat untuk kepentingan militer. Dalam lapangan non-militer, pemikiran dan usaha pembaharuan dirintis antara lain oleh Ibrahim Mutafarrika (1670-1754 M), seorang Hongaria yang ketika masih muda tertangkap dalam perang Usmani-Hongaria, kemudian masuk Islam. Usaha-usaha yang pertama menghasilkan pembukaan suatu usaha percetakan di Istambul, untuk mencetak buku-buku, al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Ilmu Kalam, Tafsir dan juga mencetak buku-uku tentang kedokteran, Astronomi, Ilmu Pasti, Sejarah, dan sebagainya.[8]
Kebangkitan di Mesir dikobarkan oleh Sayid Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh. Dari segi politik gerakan yang berusaha untuk menyatukan ummat Islam, para pemukanya Jamaluddin al-Afghani dengan pergerakannya Pan Islamisme yang berusaha menyatukan dunia Islam, meskipun ide-idenya ini mengalami kegagalan, namun pengaruhnya tetap berkembang. Di antara muridnya yang setia adalah Syekh Muhammad Abduh yang berusaha memperkenalkan pendidikan agama yang lebih luas, dan mempermodern sistem pendidikan ummat Islam, yaitu adanya keseimbangan antara kurikulum agama dengan pengetahuan umum. Dalam gerakan salafiah, murid Muhammad Abduh yang setia adalah Rasyid Ridha dengan menyebarkan ide-ide pembaharuan melalui majalah al-Manar yang lebih cenderung untuk mengembangkan Pan Islamisme.
Dalam perkembangan permbaharuan Salafiah, paham Wahabi berkembang pula di India, antara lain oleh Sayid Ahmad Khan (1817-1898 M) pembangun perguruan Alighar. Sebelumnya Syah Waliullah (1703-1762 M) yang berusaha mengkompromikan antara syariat dengan ajaran yang bersifat mistik.
Menurutnya sistem pemerintahan dengan kekuasaan Absolut oleh raja-raja Islam perlu diganti dengan sistem pemerintahan khalifah empat, yaitu sistem pemerintahan demokrasi, juga berjuang untuk memurnikan ajaran Islam dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya. Usaha pembaharuan Syah Waliullah ini dilanjutkan oleh puteranya Syah Abdul Azis dan muridnya Syah Muhammad Syahid.
Pengaruh gerakan pembaharuan seperti gerakan Wahabi, Muhammad Abduh dan lainnya sampai pula ke Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Majalah al-Urwatul Wusqa melalui pelabuhan Tuban masuk ke Indonesia dan majalah-majalah ini berpengaruh di kalangan ulama-ulama dan pemikir di pulau Jawa. Disamping itu banyak pula kaum muslimin yang menuntut ilmu pengetahuan di kota suci Mekkah yang secara langsung menyaksikan dan melihat pembaharuan-pembaharuan di Mekkah (Arabia) yang dilaksanakan gerakan Wahabi.
Di Sumatera dengan gerakan Paderi yang dipimpin oleh H. Miskin, H. Piabang dan H. Sumantik berusaha memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, yang kemudian berkelanjutan oleh generasi penerusnya seperti Syekh Muhammad Abdullah Muhammad (1878-1945 M). Sebagai realita gerakan pembaharuan ini antara lain, berdirinya Jami’atul Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan lain-lainnya. Untuk di kepulauan lain tumbuh pula organisasi keagamaan yang serupa yang bertujuan memurnikan ajaran Islam, meningkatkan cara berpikir, menangngulangi keterbelakangan dan menyatukan ummat Islam.

B.  Aliran Teologi (Kalam)
  1. Definisi Teologi
Menurut Ibn Khaldun, sebagaimana dikutip A. Hanafi, Ilmu Kalam ialah ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran golongan salaf dan Ahli Sunnah.[9]
Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa Ilmu Kalam ialah ilmu yang  membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan dengan bukti-bukti yang meyakinkan. Di dalam ilmu ini dibahas tentang cara ma’rifat (mengetahui secara mendalam) tentang sifat-sifat Allah dan para Rasul-Nya dengan menggunakan dalil-dalil yang pasti guna mencapai kebahagiaan hidup abadi. Ilmu ini termasuk induk ilmu agama dan paling utama bahkan paling mulia, karena berkaitan dengan Allah, dan para rasul-Nya.[10]
Dalam pada itu Muhammad ‘Abduh berpendapat bahwa Ilmu Kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan (Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang mesti tidak ada pada-Nya serta sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, dan membicarakan pula tentang rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya.[11]
Berdasarkan batasan tersebut tampak terlihat bahwa teologi adalah ilmu yang pada intinya berhubungan dengan masalah ketuhanan. Hal ini tidaklah salah, karena secara harfiah teologi berasal dari kata teo yang berarti Tuhan dan logi yang berarti ilmu.[12]
Namun dalam perkembangan selanjutnya Ilmu Teologi juga berbicara tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan keimanan serta akibat-akibatnya, seperti masalah iman, kufr, musyrik, murtad, masalah kehidupan akhirat dengan berbagai kenikmatan atau penderitaannya; hal-hal yang membawa pada semakin tebal dan tipisnya iman; hal-hal yang berkaitan dengan kalamullah yakni al-Qur’an; status orang-orang yang tidak beriman dan sebagainya. Sejalan dengan perkembangan ruang lingkup pembahasan ilmu ini, maka Teologi terkadang dinamai pula Ilmu Tauhid, karena ilmu ini mengajak orang agar meyakini dan mempercayai hanya pada satu Tuhan, yaitu Allah Swt. selanjutnya dinamai Ilmu Ushuluddin, karena ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan yaitu keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan, dinamai pula Ilmu ‘Aqaid, karena dengan ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengikatkan dirinya hanya pada Allah sebagai Tuhan.[13]
Dilihat dari segi ruang lingkup pembahasannya yang demikian itu, Theologi, tidak bisa tidak, pasti mengacu kepada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat mengemukakan teologi Islam Islam, teologi Kristen Katolik, teologi Kristen Protestan, dan begitu seterusnya.[14]
  1. Model Penelitian Ilmu Kalam
Secara garis besar, penelitian Ilmu Kalam dapat dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, penelitian yang bersifat dasar dan pemula; kedua, penelitian yang bersifat lanjutan atau pengembangan dari penelitian model pertama. Penelitian model pertama ini sifatnya baru pada tahap membangun ilmu kalam menjadi suatu disiplin ilmu dengan merujuk pada al-Qur’an dan hadits serta berbagai pendapat tentang kalam yang dikemukakan oleh berbagai aliran teologi. Sedangkan penelitian model kedua sifatnya hanya mendeskripsikan tentang adanya kajian ilmu kalam dengan menggunakan bahan-bahan rujukan yang dihasilkan oleh penelitian model pertama.
  1. Model Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Maturidy Samarqandy  
Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud Maturidy Samarqandy telah menulis buku teologi berjudul Kitab al-Tauhid. Buku ini dikemukakan berbagai masalah yang detail dan rumit di bidang ilmu kalam. Di antaranya dibahas tentang cacatnya taklid dalam hal beriman, serta kewajiban mengetahui agama dengan dalil al-sama (dalil naqli) dan dalil akli; pembahasan tentang alam, antrophormisme atau paha jisim pada Tuhan, sifat-sifat Allah, perbedaan paham di antara manusia tentang cara Allah menciptakan makhluk, perbuatan, makhluk, paham qadariyah, qada dan qadar, masalah keimanan, serta tidak adanya dispensasi dalam hal Islam dan iman.[15]
  1. Model al-Ghazali
Imam Ghazali yang pernah belajar pada Imam Haramain dikenal sebagai Hujjatul Islam telah pula menulis buku berjudul al-Iqtishad fi al-I’tiqad, dan telah diterbitkan pada tahun 1962 di Mesir. Dalam buku ini dibahas tentang pembahasan bahwa ilmu sangat diperlukan dalam memahami agama, tentang perlunya ilmu sebagai fardlu kifayah, permbahasan tentang zat Allah, tentang qadimnya alam, tentang bahwa Pencipta alam tidak memiliki jisim, karena jisim memerlukan pada materi dan bentuk, dan penetapan tentang kenabian Muhammad Saw.[16]
  1. Model Syahrastani
Syekh Imam Alim Abd Karim Syahrastani menulis buku berjudul Kitab Nihayah al-Iqdam fi Ilmi al-Kalam sebanyak dua jilid. Jilid pertama 511 halaman, sedangkan jilid kedua berjumlah 237 halaman. Dalam buku ini dibahas dua puluh masalah yang berkaitan dengan teologi. Di antaranya tentang baharunya alam, tauhid, tentang sifat-sifat azali, hakikat ucapan manusia, tentang Allah sebagai yang Maha Mendengar dan perbuatan yang dilakukan seorang hamba sebelum datangnya syariat. Selanjutnya, dalam karyanya berjudul al-Milal wa al-Nihal, yang tebalnya 520 halaman, Syahrastani selain berbicara tentang Islam, Iman, dan Ihsan, juga membahas berbagai aliran dalam teologi Islam seperti Mu’tazilah lengkap dengan tokoh-tokohnya, dan lain-lain.[17]

Kritik Terhadap Pendekatan Teologi  
Ilmu teologi ialah ilmu berisi alasan-alasan yang mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil Agama. Pada prakteknya pendekatan teologi ini mengesankan seolah-olah lahirnya banyak aliran dalam teologi Islam, mengindikasikan bahwa umat Islam sulit bersatu. Sebagaimana yang terdapat dalam sejarah umat Islam. Kita mengenal aliran khawarij, jabariyah, mu’tazilah, dan lain-lain. Diperparah adanya kesan sebagian kelompok umat menganggap dirinya lebih baik dari kelompok lainnya.
a.       Khawarij.
Di tinjau dari segi bahasa kata khawarij berasal dari suku kata Arab kharaja yang artinya keluar atau hengkang dan yang dimaksud adalah suatu aliran atau golongan atau kelompok yang pada mulanya setia dan mendukung kepada khalifah Ali Ibn Abu Thalib kemudian keluar dan tidak mendukung Ali Ibn Abu Thalib kemudian bergabung dengan kelompok lain karena tidak setuju dengan kebijakan pemerintahan Khalifah Ali Ibn Abu Thalib. Definisi inilah yang paling rajin dibanding dengan lainnya.[18]
b.      Jabariyah
Dalam segi bahasa kata jabariyah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya memaksa atau terpaksa atau dipaksa. Dan yang dimaksud adalah suatu golongan atau aliran atau kelompok yang berfaham bahwa semua perbuatan manusia bukan atas kehendak sendiri, namun ditentukan oleh Allah. Dalam arti bahwa setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia baik perbuatan buruk, jahat, dan baik semuanya telah ditentukan Allah bukan atas kehendak atau adanya campur tangan manusia.[19]
c.       Mu’tazilah
Kata mu’tazilah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya hengkang atau pisah. Dan yang dimaksud adalah suatu aliran atau golongan yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Washil Ibn Atho’ memisahkan diri dari gurunya Hasan Basri karena terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, yang akhirnya Washil membuat aliran sendiri yang dikenal dengan sebutan golongan mu’tazilah.
d.      Ah-lu sunnah wal jama’ah
Ahlu sunnah wal jama’ah terbentuk akibat dari adanya penentangan terhadap aliran Muktazilah oleh orang Muktazilah itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin Isma’il bin Abi basyar ishak bin Salim bin isma’il bin abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah amr bin Abi musa al-asy’ari. Imam al-asy’ari (260-324 H), menurut Abubakar isma’il al-Qairawani adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun kemudian ia menyatakan keluar dari Muktazilah. setelah itu ia mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan –gagasan Muktazilah.
Ajaran pokok Ahlu sunnah wal jama’ah tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam al-asy’ari. Para pelanjutnya antara lain Imam abu manshur al-maturidi yang kemudian mendirikan aliran Maturidiyyah yang ajarannya lebih dekat dengan muktazilah. Imam al- maturidi pun memiliki pengikut yaitu al-bazdawi yang pemikirannya tidak selamanya sejalan dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu para ahli menjelaskan bahwa maturidiah terbagi menjadi dua golongan: 1. golongan Maturidiah Samarkand, yaitu para pengikut Imam al-maturidi dan 2. golongan Maturidiah Bukhara,yaitu para pengikut Imam al-bazdawi yang tampaknya lebih dekat dengan ajaran al-asy’ari.
Sejatinya, adanya berbagai perbedaan yang terdapat dalam tubuh umat Islam. Tidak menjadikan umat Islam menjadi umat yang terpecah-belah. Justru adanya perbedaan tersebut umat Islam dapat saling berbagi dan bertukar wawasan antara satu paham dengan faham yang lainnya. Selama masih dalam bingkai al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

C.  Aliran Fiqh
1.      Definisi Ilmu Fiqih
Pengertian Fiqih (hukum) Islam hingga saat ini masih rancu dengan pengertian syariah. Untuk itu dalam pengertian hukum Islam di sini dimaksudkan di dalamnya pengertian syariat. Dalam kaitan ini dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa hukum Islam atau fiqih adalah sekelompok dengan syariat- yaitu ilmu yang berkaitan dengn amal perbuatan manusia yang diambil dari nash al-Qur’an atau al-Sunnah yang berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila tidak ada nash dari al-Qur’an atau al-Sunnah, dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu fiqih. Dengan demikian yang disebut Ilmu Fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[20]
Yang dimaksud dengan amal perbuatan manusia ialah segala amal perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan bidang ibadat, muamalat, kepidanaan dan sebagainya; bukan yang berhubungan dengan dengan akidah (kepercayaan). Sebab yang terakhir ini termasuk dalam pembahasan Ilmu Kalam. Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil yang terperinci ialah satuan-satuan dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.
            Berdasarkan batasan tersebut di atas sebenarnya dapat dibedakan antara syariah dan Hukum Islam atau Fiqih. Perbedaan tersebut terlihat pada dasar atau dalil yang digunakannya. Jika syariat didasarkan pada nash al-Qur’an atau al-Sunnah secara langsung, tanpa memerlukan penalaran; sedangkan hukum Islam didasarkan pada dalil-dalil yang dibangun oleh para ulama melalui penalaran atau ijtihad dengan tetap berpegang pada semangat yang terdapat dalam syariat. Dengan demikian, jika syariat permanen, kekal dan abadi, fiqih atau hukum Islam bersifat temporer, dan dapat berubah. Namun, dalam praktiknya antara syariat dan fiqih sulit dibedakan. Ketika kita mengkaji suatu masalah misalnya kita pergunakan nash al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi bersamaan dengan itu kita juga menggunakan penalaran. Hal ini amat dimungkinkan karena nash-nash al-Qur’an maupun al-Sunnah tersebut sungguhpun secara tektstual tidak dapat diubah, namun interpretasi pilihan yang menggunakan akal.
Dalam kaitan ini tidak mengherankan jika Ahmad Zaki Yamani memberikan ciri syariat Islam identik dengan ciri hukum Islam. Ciri tersebut menurut Zaki Yamani ada dua. Pertama, bahwa syariat Islam itu luwes, dapat berkembang untuk menanggulangi semua persoalan yang berkembang dan berubah terus, ia sama sekali berbeda dengan apa yang telah digambarkan baik oleh musuh-musuh Islam, maupun oleh sementara penganutnya yang menyeleweng atau yang kolot dan sempit, yakni bahwa syariat Islam itu suatu sistem, agama yang sudah lapuk dan nanar oleh sebab kelanjutan usianya. Kedua, bahwa dalam pusaka perbendaharaan hukum Islam terdapat dasar-dasar yang mantap untuk pemecahan-pemecahan yang dapat dilaksanakan secara tepat, dan cermat bagi persoalan-persoalan yang paling pelik di masa kini, yang tidak mampu dipecahkan oleh sistem Barat maupun oleh prinsip-prinisp Timur,  meskipun sekedar untuk melunakkannya saja.[21]
Sejalan dengan uraian tersebut, Zaki Yamani membagi syariat Islam adalam dua pengertian. Pertama, pengertian dalam bidang yang luas dan kedua, pengertian dalam bidang yang sempit. Pengertian syariat Islam dalam bidang yang luas meliputi semua hukum yang telah disusun dengan teratur oleh para ahli fiqih dalam pendapat-pendapat fiqihnya mengenai persoalan di masa mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian, dengan mengambil dalil-dalil yang langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, atau sumber pengambilan hukum seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, dan masalih al-mursalah. Syariat dalam pengertian yang luas ini memberikan peluang untuk berbeda pendapat, untuk mengikutinya atau tidak mengikutinya. Adapun dalam pengertian yang sempit, syariat Islam itu terbatas pada hukum-hukum yang berdalil pasti dan tegas, yang tertera dalam al-Qur’an, hadis yang sahih, atau yang ditetapkan dengan ijma. Dalam pengertian yang sempit ini, syariat dengan dalil-dalilnya yang tegas dan pasti mewajibkan setiap Muslim untuk mengikutinya dan menjadikannya sebagai sumber untuk memecahkan kesulitan masalah yang dihadapi.
Perbedaan antara dua pengertian yang luas dan sempit tentang syariat tadi akan terasa pentingnya dalam negara-negara yang melaksanakan syariat Islam seutuhnya seperti Saudi Arabia yang akan membuktikan secara mudah dan jelas perlu tidaknya pelaksanaan semua hukum syariat Islam dalam pengertian yang luas itu.
Kini syariat Islam telah berusia cukup tua, yaitu dari sejak kelahiran agama Islam itu sendiri pada lima belas abad yang lalu sampai sekarang. Sejauh manakah syariat Islam itu tetap aktual dan mampu meresponi perkembangan zaman, telah dijawab lewat berbagai penelitian yang dilakukan para ahli yang contoh-contohnya dapat dilihat dalam uraian di bawah ini.

2.      Mazhab Fiqih
Dalam perkembangan fiqih dikenal beberapa mazhab fiqih. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fikih ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqih dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu mazhab ahlusunnah dan mazhab syiah.
Mazhab Ahlusunnah terdiri atas empat mazhab yang populer yang masih utuh sampai sekarang. Pertama, Mazhab Hanafi. Pemikiran fiqih dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah. Dia dikenal sebagai imam ahlurra’yu serta fakih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama di zamannya. Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan rakyu, kias, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nas, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan kaidah kias dan menggunakan kaidah ihtihsan. Alasannya, kaidah umum (kias) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu.[22]
Kedua, Mazhab Maliki. Pemikiran fiqih mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadits dan fiqih terkemuka serta ahlulhadits. Pemikiran fiqih dan usul fiqih Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwathttha, yang disusunnya atas permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid dan baru selesai di zaman Khalifah al-Ma’mun. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadis, tetapi karena di susun dengan sistematika fiqih dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fikih Imam Malik dan metode istinbat-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadis dan fiqih belakangan sebagai kitab fiqih.[23]
Ketiga, Mazhab Syafi’i. pemikiran fikih mazhab ini diawali oleh Imam asy-Syafi’i. Keunggulan Imam asy-Syafi’i sebagai ulama fiqih, usul fiqih, dan hadits di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya. Sebagai orang yang hidup di zaman meruncing pertentangan antara aliran ahlulhadits dan ahlurra’yi, Imam Syafi’i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahlulhadits dan Imam Muhammad Ibn Hasan asy-Syaibani sebagai ahlulrra’yi.
Keempat, Mazhab Hanbali. Pemikiran Mazhab ini diawali oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal. Ia dikenal sebagai ulama fiqih dan hadis terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqih ahlulrra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam asy-Syafi’i. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, prinsip dasar Mazhab Hanbali adalah sebagai berikut: (1) an-nusus (jamak dari nas), yaitu al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw, dan ijmak. (2) fatwa sahabat, (3) jika terdapat perbedaan pendapat para sahabat dalam menentukan hukum yang dibahas, maka akan dipilih pendapat yang lebih dekat dengan al-Qur’an dan Sunnah. (4). Hadis mursal atau hadis daif yang didukung oleh kias dan tidak bertentangan dengan ijmak; dan (5) apabila dalam keempat dalil di atas tidak dijumpai, akan digunakan kias. Penggunaan kias bagi Imam Ahmad Ibn Hanbal hanya dalam keadaan yang amat terpaksa.[24]
3.      Model-Model Penelitian Hukum Islam (Fiqih)
  1. Model Harun Nasution
Sebagai guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam, Harun Nasution juga mempunyai perhatian terhadap hukum Islam. Penelitiannya dalam bidang hukum Islam ini ia tuangkan secara ringkas dalam bukuny Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Melalui penelitiannya secara ringkas namun mendalam terhadap berbagai literatur tentang hukum Islam dengan menggunakan pendekatan sejarah, Harun Nasution telah berhasil mendeskripsikan struktur hukum Islam secara komprehensif, yaitu mulai dari kajian terhadap ayat-ayat hukum yang ada dalam al-Qur’an, latar belakang dan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam dari sejak zaman nabi sampai dengan sekarang, lengkap dengan beberapa mazhab yang ada di dalamnya berikut sumber hukum yang digunakannya serta latar belakang timbulnya perbedaan pendapat.[25]

  1. Model Noel J. Coulson
Noel J. Coulson menyajikan hasi penelitian di bidang hukum Islam dalam karyanya berjudul Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Hasil penelitiannya itu dituangkan dalam tiga bagian. Pertama, menjelaskan tentang terbentuknya hukum syariat, yang di dalamnya dibahas tentang legalisasi al-Qur’an, praktek hukum di abad pertama Islam, akar yurisprudensi sebagai mazhab pertama. Bagian kedua, berbicara tentang pemikiran dan praktek hukum Islam di abad pertengahan. Di dalamnya dibahas tentang teori hukum klasik, antara kesatuan dan keragaman, dampak aliran dalam sistem hukum, pemerintahan Islam dan hukum syariat, masyarakat Islam dan hukum syariat. Bagian ketiga, berbicara tentang hukum Islam di masa modern yang di dalamnya dibahas tentang penyerapan huku Eropa, hukum syariat kontemporer, taklid, dan pembaharuan hukum serta neo-ijtihad.[26]

Kritik Terhadap Fanatisme Madzhab
Seseorang dapat berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat orang, madzhab dan golongan.
Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil. Jika dilihatnya adanya dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya, sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk diikuti daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita beribadah mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya.
Di antara fanatik yang tercela ialah fanatik terhadap madzhab. Seperti para muqallid yang hampir memaksumkan madzhab dan para Imam mereka. Fanatik madzhab ini mereka berdasarkan kepada beberapa landasan yang tidak benar.
Tidak diwajibkan taqlid atas semua orang, termasuk orang-orang yang tergolong ahli ilmu, sebagaimana dikemukakan oleh orang-orang yang ekstrim dalam bermadzhab. Dan, tidak mengharamkan taqlid atas semua orang sebagaimana dikatakan oleh orang-orang yang ekstrim dalam menolak madzhab. Tetapi meletakkan persoalan secara proporsional, dengan membedakan antara ahli ilmu dan orang-orang awam. Kepada orang-orang yang belum mencapai tingkatan ijtihad dan tarjih, diperbolehkan untuk mengikuti salah seorang Imam. Istilah yang dipergunakan oleh Imam al-Banna dalam masalah ini, yaitu ittiba’, lebih daripada taqlid. Selain itu, beliau tidak membatasi hanya imam yang empat, sehingga seorang muslim dapat mengikuti madzhab shahabi atau tabi’in atau imam-imam yang lainnya.

Kritik Terhadap Fanatik dengan Pendapat Pribadi
Seseorang harus melepaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapatnya sendiri. Sebab, orang yang tidak dapat melepaskan dirinya dari fanatisme ini akan senantiasa mempertahankan pendapatnya sendiri sekalipun tahu pendapatnya salah dan lemah argumentasinya. Ia hanya memenangkan kehendak hawa nafsu, melecehkan orang lain dan takut dituduh kurang luas wawasan.
            Perlu dijelaskan di sini tentang beberapa akhlaq (tata cara) yang harus diperhatikan dalam rangka membebaskan diri dari fanatisme. Di antara akhlaq ini ialah sikap melihat kepada perkataan bukan kepada orang yang mengatakannya. Hendaknya ia punya keberanian untuk mengkritik diri sendiri, mengakui kesalahan, menerima nasihat dan evaluasi dari orang lain, memuji orang yang tidak sependapat jika dimiliki orang lain, memuji orang yang tidak sependapat jika memang pendapatnya baik, dan membelanya apabila dia dituduh dengan tuduhan yang batil atau dilecehkan dengan tidak benar.

E.Aliran Tasawuf
1. Pengertian Tasawuf
Dari segi kebahasaan (linguistik) terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari Makkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah), dan suf (kain wol kasar).[27]
Jika diperhatikan secara seksama, tampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan, dan kedekatan dengan Tuhan. Kata ahl al-suffah misalnya menggambarkan keadaan yang mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lainnya sebagai hanya untuk Allah. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan, harta benda dan sebagainya yang ada di Makkah untuk ditinggalkan karena ikut hijrah bersama nabi ke Madinah. Tanpa ada unsur iman dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah, tidaklah mungkin hal demikian mereka lakukan.[28]
Selanjutnya kata saf juga menggambarkan keadaan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan lainnya. Demikian pula kata sufi yang berarti bersih, suci, dan murni menggambarkan orang yang selalu  memelihara dirinya dari perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, selanjutnya kata suf yang berarti kain wol yang kasar yang menggambarkan orang yang hidupnya serba sederhana, tidak mengutamakan kepentingan dunia, tidak mau diperbudak oleh harta yang dapat menjerumuskan dirinya dan membawa ia lupa akan tujuan hidupnya, yakni beribadah kepada Allah. Demikian pula kata sophos yang berarti hikmah juga menggambarkan keadaan orang yang jiwanya senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dengan demikian dari segi kebahasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran, dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia di sisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Selain pengertian tasawuf dapat dilihat dari segi kebahagiaan sebagaimana tersebut di atas, juga dapat dilihat dari segi istilah. Dalam kaitan ini terdapat tiga sudut pandang yang digunakan pada ahli untuk mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Kedua sudut pandang manusia sebagai makluk yang harus berjuang, dan ketiga sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan lainnya dihubungkan, segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia. Tasawuf secara hakiki memasuki fungsinya dalam mengingatkan kembali manusia siapa ia sebenarnya, yang berarti manusia dibangunkan dari mimpinya yang ia sebut kehidupannya sehari-hari dan bahwa jiwanya bebas dari pembatasan-pembatasan penjara khayali egonya itu yang memiliki timbangan objektif di dalam apa yang disebut kehidupan dunia menurut bahasa keagamaan.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya pelaksanaan kehidupan ruhani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkannya.
Dengan menempatkan pengertian yang proporsional sebagaimana telah disebutkan di atas, tampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan, kemunduran, atau semacamnya, melainkan justeru memperlihatkan ketangguhan jiwa dalam menghadapi berbagai problema hidup yang senantiasa datang silih berganti.
Benih-benih tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Saw. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi Saw. Sebelum diangkat menjadi rasul, berhari-hari ia berkhalwat di Gua Hira, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi Saw, banyak berzikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi Saw di Gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.[29]
Nabi Muhammad Saw, banyak memberikan gambaran tentang kehidupan dunia. Kehidupan dunia digambarkan bagai penjara bagi orang mu’min dan surga bagi orang kafir (Imam Muslim, tt), karena kehidupan mereka selalu dibatasi dan tidak boleh hidup semena-mena, bagaikan orang yang hidup dalam sebuah penjara, dan sebaliknya bagaikan surga bagi orang kafir, sebagai tempat yang menyenangkan, bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan yang mengikatnya. Kesederhanaan Nabi Saw, menampilkan diri sebagai seorang yang sangat terbatas kehidupannya, sering menderita lapar. Dan jika mempunyai harta selalu diinfakkan ke jalan Allah Swt, dan disedekahkan kepada tamunya dan ahlus-Suffah (orang yang hidup di emperan masjid Nabawi).[30]
Faktor internal lainnya adalah reaksi rohaniah kaum muslim terhadap sistem sosial, politik, budaya, dan ekonomi dikalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam tersebar ke berbagai negara, yang sudah barang tentu membawa konsekuensi tertentu. Seperti terbuka kemungkinan diperolehnya kemakmuran di satu pihak, dan terjadinya pertikaian politik sahabat Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah. Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu ada sebagian masyarakat atau ulama yang tidak ingin terlibat dalam kemewahan dunia dan mempunyai sikap tidak mau terlibat terhadap pergolakan yang ada. Mereka mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.[31]
Seperti telah diketahui, dalam sejarah Islam terdapat peristiwa tragis, yakni upaya pembunuhan terhadap diri khalifah ketiga, Utsman ibn Affan, dari peristiwa itu secara berantai terjadi kekacauan dan kemerosotan akhlak. Hal ini menyebabkan sahabat-sahabat yang masih ada, dan pemuka-pemuka Islam yang mau berpikir, berikhtiar membangkitkan kembali ajaran Islam, pulang masuk masjid, kembali mendengarkan kisah-kisah perjuangan Rasulullah dan besera para sahabat terdahulu, mengenai keindahan zuhud dan lain sebagainya. Inilah benih tasawuf yang paling awal.
  1. Masa Pembentukan
Kalau kita kembali kepada awal sejarah Islam, khususnya pada masa Nabi, telah ada sahabat-sahabat yang menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, banyak berpuasa di siang hari, shalat, dan membaca al-Qur’an di malam hari. Seperti Abdullah Ibn Umar, sehingga Nabi berkata kepadanya, “Tubuhmu juga mempunyai hak-hak yang harus kau penuhi.”
Pada abad ke- 1 Hijriyah, lahirlah Hasan Basri, seorang “zahid” pertama dan termasyur dalam sejarah tasawuf. Dia lahir di Madinah pada tahun 642 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 728 M. Hasan Basri tampil pertama dengan membawa ajaran khauf dan raja’, mempertebal takut dan harap kepada Tuhan.
Kemudian pada akhir abad ke- 2 Hijriyah, muncul Rabi’ah al-‘Adawiyah (95 H/713 M - 185 H/801 M), seorang sufi wanita yang terkenal dengan ajaran cintanya (hubb al-ilallah). Selanjutnya pada abad ke- 2 Hijriyah ini, tasawuf tidak banyak berbeda dengan abad sebelumnya, yakni sama dalam corak kezuhudan. Saat itu mulai ada sebagian orang yang menampilkan istilah-istilah yang pelik seperti mengenai kebersihan jiwa (thaharah al-nafs), kemurnian hati (naqy al-qalb), hidup ikhlas, menolak pemberian orang, dan bekerja mencari makan dengan usaha sendiri.
d.   Masa Pengembangan
Tasawuf pada abad ke- 3 dan ke- 4 Hijriyah sudah mempunyai corak yang berbeda sama sekali dengan tasawuf abad sebelumnya. Pada abad ini tasawuf sudah bercorak kefana’an (ektase) yang menjurus ke persatuan hamba dengan khalik. Orang-orang sudah ramai membahas tentang lenyap dalam kecintaan (fana’fi al mahbub), bersatu dengan kecintaan (ittihad bi al-mahbub), kekal dengan Tuhan (baqa’ bi al-Mahbub), menyaksikan Tuhan (musyahadah), bertemu dengan-Nya (liqa’) dan menjadi satu dengan-Nya (‘ain al-jama’) seperti yang diungkapkan oleh Abu Yazid al-Bustham (261 H), seorang sufi dari Persia yang pertama kali mempergunakan istilah fana’ (lebur atau hancurnya perasaan).
Sesudah Abu Yazid al-Busthami, lahirlah seorang sufi kenamaan, yakni al-Hallaj. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat, yakni sifat kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut). Landasan pemikirannya didasarkan kepada surat Shad ayat 72, bahwa Adam mempunyai dua unsur, yakni jasmani dan ruhani. Unsur jasmani dari materi, sedang unsur ruhaninya berasal dari roh Tuhan.
e.    Masa Konsolidasi
Tasawuf pada abad ke- 5 Hijriyah mengadakan konsolidasi. Pada masa ini ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf semi falsafi dengan tasawuf sunni. Tasawuf sunni memenangkan pertarungan, dan berkembang sedemikian rupa, sedangkan tasawuf semi falsafi tenggelam dan akan muncul kembali pada abad ke- 6 Hijriyah dalam bentuknya yang lain. Kemenangan tasawuf sunni ini dikarenakan menangnya aliran theologi ahl-Sunnah wa-al-Jama’ah yang dipelopori oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary, yang melontarkan kritik pedas terhadap teori Abu Yazid al-Bushthami dan al-Hallaj. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini cenderung mengadakan pembaharuan atau menurut istilah Annemarie Schimmael merupakan periode konsolidasi, yakni periode yang ditandai pemantapan dan pengembalian tasawuf ke landasannya, al-Qur’an dan al-Hadits. Tokoh-tokohnya di antaranya al-Qusyairi, al-Harawi, dan al-Ghazali.
Imam al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang tidak sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah dalam sebuah upaya mengembalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa, dan pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian rupa mendalam dan belum dikenal sebelumnya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap pelbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran mu’tazilah dan kepercayaan kebatinan untuk kemudian menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih “moderat” dan sesuai dengan theologis ahl-Sunnah wa Al-Jama’ah.  Tasawuf semacam ini disebut tasawuf Sunni.[32]
f.     Masa Falsafi
Setelah tasawuf semi falsafi mendapat hambatan dari tasawuf Sunni tersebut, maka pada abad ke- 6 Hijriyah, tampillah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat, kompromi dalam pemakaian term-term filsafat yang maknanya disesuaikan dengan tasawuf. Oleh karena itu, tasawuf yang berbau filsafat ini tidak sepenuhnya bisa dikatakan tasawuf, dan juga tidak bisa dikatakan sebagai filsafat. Karena itu disebut tasawuf falsafi, karena di satu pihak memakai term-term filsafat, namun secara epistemologis menggunakan intuisi (dzauq).[33]
Sejumlah sufi abad ke- 6 Hijriyah yang berorientasi filsafat, yang memperkenalkan pemikiran-pemikiran, antara lain, al-Suhrawardi al-Maqtul, tokoh ilmu huduri (w. 587 H), al-Syaikh al Akbar, Ibn ‘Arabi (w. 638 H), dan ‘Abd al-Haqq Ibn Sab’in (w. 699 H). Dalam aliran mereka berkembang panteisme yang mengarahkan tasawuf pada “kebersatuan” dengan Allah Swt. Perhatian mereka tidak tertuju kepada selain taraf transendensi ini, sedangkan aspek praktik nyaris terabaikan. Perkembangan tasawuf akhirnya di bawah pengaruh mereka terlibat kasus-kasus filsafat, terutama aspek-aspek ontologi dan epistemologi, yang mencapai puncaknya pada pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi yang berhasil membangun pilar tasawuf di atas prinsip-prinsip filsafat yang kukuh dalam sebuah visi kesatuan yang paripurna.[34]
Sepeninggal Ibn ‘Arabi, tasawuf mengarah pada hal yang lebih praktis  dalam bentuk persaudaraan kolektif yang di dalamnya para pelajar (murid) berkumpul di sekeliling seorang guru (syaikh). Bersama-sama mereka terlibat dalam ibadah, tafakur, dan dzikir. Tarekat sufi paling pertama didirikan oleh ‘Abd al-Qadir al-Jilani atau Jailani (w. 1166), diikuti kemudian oleh tarekat Rifa’i yang didirikan oleh Ahmad al-Rifa’i (w. 1175) dan Maulawi, yaitu Para tarekat yang disebut terakhir ini adalah seorang sastrawan Persia terkemuka, yang dikenal juga dengan nama Maulana Jalal al-Din al-Rumi (w. 1273). Rumi meninggal dunia di Konya, Turki, tempat tarekatnya terus berkembang hingga saat ini. Tarekat yang terkenal lainnya ialah al-Syadzili yang didirikan oleh ‘Ali al-Syadzili (1258) dan Badawi yang didirikan oleh Ahmad al-Badawi (w. 1276). Kedua tarekat ini berkembang luas di wilayah Mesir dan Afrika Utara. Dan hingga kini, keduanya masih menyimpan pengaruh keagamaan yang kuat di kawasan tersebut.[35]
g.    Model-Model Penelitian Tasawuf
Sejalan dengan fungsi dan peran tasawuf yang demikian itu, di kalangan para ahli telah timbul upaya untuk melakukan penelitian tasawuf. Berbagai bentuk dan model penelitian tasawuf secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.     Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr selama ini dikenal sebagai ilmuwan Muslim kenamaan di abad modern yang amat produktif dalam melahirkan berbagai karya ilmiah. Perhatiannya terhadap pengembangan studi Islam demikian besar, termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia sajikan dalam bukunya Tasawuf Dulu dan Sekarang yang diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M. dan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus, Jakarta tahun 1985. Di dalam buku tersebut disajikan hasil penelitiannya di bidang tasawuf dengan menggunakan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf, yaitu tasawuf dan pengutuhan manusia. Di dalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan saran untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Selanjutnya, dikemukakan pula tentang tingkatan-tingkatan keruhanian dalam tasawuf, manusia di alam kelanggengan di tengah perubahan yang tampak. Setelah itu dikemukakan pula perkembangan tasawuf yang terjadi pada abad ketujuh dan mazhab Ibn Arabi, serta Islam dan pertemuan agama-agama. selanjutnya, dikemukakan tentang problema lingkungan dalam cahaya tasawuf, penaklukan alam dan ajaran Islam tentang pengetahuan timur.[36]
Dari urain singkat di atas terlihat bahwa model penelitian tasawuf yang diajukan Husein Nasr adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik yang berdasarkan pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
b.    Model Harun Nasution
Harun Nasution, guru besar dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Hasil penelitiannya dalam bidang tasawuf ia tuangkan antara lain dalam bukunya berjudul Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, yang diterbitkan oleh Bulan Bintang, Jakarta, terbitan pertama tahun 1973. Penelitian yang dilakukan Harun Nasution pada bidang tasawuf ini mengambil pendekatan tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat pada Tuhan, zuhud, dan station-station lain, al-mahabbah, al-ma’rifah, al-fana’ dan al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pada setiap topik tersebut selain dijelaskan tentang isi ajaran dari tiap topik tersebut dengan data-data yang didasarkan pada literatur kepustakaan, juga dilengkapi dengan tokoh yang memperkenalkannya. Selain itu, Harun Nasution mencoba mengemukakan latar belakang sejarah timbulnya paham tasawuf dalam Islam.[37]
Penelitian yang menggunakan pendekatan tematik tersebut terasa lebih menarik karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian rupa, walaupun hanya dalam garis besarnya saja. Dengan penelitian seperti ini, peneliti mengemukakan ada adanya dengan sedikit melakukan perbandingan antara satu ajaran dengan ajaran tasawuf lainnya, namun hal ini pun bukan ditujukan untuk mencari kelebihan dan kekurangan dari ajaran-ajaran tersebut, tetapi sekadar untuk memperjelas ajaran tersebut. Hal ini biasanya dilakukan dalam suatu penelitian deskriptif, karena tidak ada problema atau teori tertentu yang akan diuji kebenarannya.
c.  Model A.J. Arberry
Arberry, salah seorang peneliti Barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman, termasuk penelitian dalam bidang tasawuf. Dalam bukuny berjudul Pasang Surut Aliran Tasawuf, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan demikian ia coba kemukakan tentang firman Tuhan, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, struktur teori tasawuf, struktur teori tasawuf, struktur teori dan amalan tasawuf, tarekat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf, struktur teori dan amalan tasawuf. Dari isi penelitian tersebut, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejarahnya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentransformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.[38]

Kritik Terhadap Aliran Pemikiran Tasawuf Falsafi
Jika istilah “sufi” ini diduga berasal dari kata shophia  (Yunani), maka hal ini lebih dapat diterima. Sebab, sumber pemikiran Islam yang kedua setelah al-Qur’an dan al-Hadits berasal dari negeri-negeri, seperti, Syria, Mesir, dan Persia, dengan pikiran-pikiran Yunani menjadi induk pemikiran di negeri-negeri tersebut. Pikiran Neoplatonisme, failasuf Kristen yang mengajarkan tentang emanasi dan panteisme- yang sangat berpengaruh di dunia Kristen- juga berasal dari pikiran Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry.
Sementara itu, dari data yang terungkap, orang pertama yang mendapat gelar “sufi” adalah Abu Hasyim al-Kufi (wafat 150/761 M) dari Kufah, bukan Makkah atau Madinah, dan ia dari generasi tabi’in, bukan dari generasi shahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu.
Jika istilah “sufi” itu juga dianggap berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata shophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi Muslim pada umumnya menggunakan kain shuf.
Selanjutnya definisi tasawuf dengan mengutip pendapat beberapa orang di antaranya, al-Junaid, berkata, “Bertasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk hidup kembali di dalam-Nya. Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata, “Jika aku terhapus, maka Tuhan adalah kaca-Nya sendiri dalam aku.”
Kemungkinan tasawuf falsafi itu berasal dari Hindu di antaranya dengan bukti, tujuan akhir dari peribadatan dalam agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau substansi) dengan Brahman (ruh alam semesta atau Tuhan). Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga kita ketahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reinkarnasi yang berasal dari ajaran hindu. 
Menurut M. Horten, tasawuf berasal dari alam pemikiran India. Dalam hal ini Horten telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan tetapi pendapat tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap tasawuf al-Hallaj, al-Busthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa tasawuf abad ketiga Hijriyahlah yang sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha keras mengokohkan teorinya ini dengan salah satu penelitiannya untuk menetapkan bahwa tasawuf berasal dari sumber India. Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai terminologi para sufi Persia akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari aliran Vedanta di India.
Sementara itu Hartman, yang berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau sumber tasawuf dari India. Ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
  1. Kebanyakan angkatan pertama sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim Ibn Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya Ibn Ma’az Ar-Razi.
  2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan (Parsi).
  3. Pada masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan timur dan barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama.
  4. Kaum Muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
  5. Asketisme Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam kecendrungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India.
Kemudian cukup banyak para orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari tradisi pemikiran Yunani. Para orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh perhatian terhadap tasawuf yang mulai muncul pada ketiga Hijriah, lewat Dzun Nun al-Mishri, wafat 245 H. 
Muhammad al-Bahiy (intelektual Islam Mesir) menyatakan tentang adanya intervensi alam pikiran asing, seperti paganism Mesir, Budha, Hindu, Zaratrusta, Manu, Kristen, Yahudi, dan Yunani.


BAB III
PENUTUP

Membahas Aliran–aliran dalam pemikiran islam dan sejarahnya, maka tidak lain membahas agama islam itu sendri. Dalam sebuah perguruan tinggi, aliran-aliran atau ajaran-ajaran itu biasa disebut dengan studi islam. Di kalangan para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan kedalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Namun sesuai dengan perkembangan zaman, perdebatan-perdebatan di kalangan para ahli tentang apakah sebenarnya studi islam menghasilkan titik temu. Nah, untuk itulah kiranya kita harus mengetahui aliran atau ajaran islam yang dalam masa ini lebih dikenal dengan studi islam. Studi-studi dalam islam memiliki banyak sekali aliran. Namun yang paling popular dalam perkembangannya ada empat buah ilmu pengetahuan, yaitu; ilmu kalam, ilmu fiqih (hukum), ilmu tasawuf, dan ilmu hadits.
Teologi adalah ilmu yang secara khusus membahas tentang masalah-masalah ketuhanan serta berbagai masalah yang berkaitan dengannya berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan. Dengan demikian, seseorang yang mempelajarinya dapat mengetahui bagaimana cara-cara untuk memiliki keimanan dan bagaimana pula cara menjaga keimanan tersebut agar tidak hilang atau rusak.
Fiqih secara lebih luas, yaitu tidak hanya yang menyangkut fiqih ibadah, tetapi juga fiqih muamalat seperti jual beli, perdagangan, sewa-menyewa, gadai menggadai, dan perseroan, dilanjutkan dengan fiqih jinayat yang berkaitan dengan peradilan tindak pidana, masalah rumah tangga, perceraian, sampai dengan masalah perjanjian, peperangan, pemerintah, dan sebagainya.
Keadaan Fiqih yang demikian itu nampak inheren atau menyatu dengan misi agama Islam yang kehadirannya untuk mengatur kehidupan manusia agar tercapai ketertiban dan keteraturan, dengan Rasulullah saw, sebagai aktor utamanya yang melaksanakan aturan-aturan hukum tersebut. Karena wahyu, yaitu cara memperoleh dan mengetahui kehendak Tuhan secara langsung, terhenti semenjak meninggalnya nabi Muhammad, syariah yang telah terungkap secara sempurna pada prinsipnya lantas menjadi statis dan bersifat kekal. Mengapung sebagai jiwa tanpa jasad di atas awang-awang masyarakat Muslim, serta terpisah dari arus dan pergantian wahyu, ia pun tampil sebagai cita-cita (idealisme) yang keabsahannya berlaku abadi, dan masyarakat harus mengejar cita-cita itu.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sufyan Raji, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta: Pustaka al-Riyadh, 2006.

Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo, 1995.

Bahy, Muhammad, al-Fikhu al Islam fi Tathawwurihi, Penerjemah. Bambang Saiful, Bandung: Mizan, 1985.

Baqir, Haidar, “Antara Tasawuf Eksesif dan Tasawuf Positif”, Sufisme Kota, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, Cet. I, 2001.

--------,Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, Cet. I, 2002), hal. xi.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Cet. Ke-3

Edward, Mortimer, Faith and Power the Politics of Islam, Penerjemah. Enna Hadi, Bandung: Mizan, 1984.
Fakhry, Majid, a Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, England: Onewolrd Publication, 1997.

Fathurrahman, Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1986.

Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Jassar, Husain Ibn Muhammad, al-Husbun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah ‘Ala al-‘Aqaid al-Islamiyah, Bandung: Syirkah al-Ma’arif.

Mu’ti, A. Wahib, Tasawuf dalam Islam, (Jakarta: UIA Asyafi’iyah, 2009.

Nata,  Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003.

Nasichah, “Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem Kehampaan Spiritual”, Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. X, No. II, (Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2003), hal. 103.

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995 Cet ke- 9
---------, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, Bandung: Mizan, 1995.

----------, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Sarraj, Abu Nashr, al-Luma’ ; Lajnah Nasyr at-Turats ash-Shufi, Edisi Terjemah, Surabaya: Risalah Gusti, 2002 Cet ke- I

Shihab, Alwi, “Akhlak sebagai Sasaran Tasawuf,” Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMaN dan Hikmah, Cet. I, 2002), hal. 180.

--------,“Islam Sufistik; “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, Bandung: Mizan, 2001, Cet. Ke- I  
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf; Sufimse dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. Ke- I
Yamani, Ahmad Zaki, Asy-Syariatul Khalidah wa Musykilatul ‘Asri, Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1978.




[1]Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, (Bandung: Mizan, 1995), h. 7.
[2]Ibid., h. 7.
[3]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
[4]Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1995), h. 4
[5]Edward Mortimer, Faith and Power the Politics of Islam, Penerjemah. Enna Hadi, (Bandung: Mizan, 1984), h. 51.
[6]Muhammad al-Bahy, al-Fikhu al Islam fi Tathawwurihi, Penerjemah. Bambang Saiful, (Bandung: Mizan, 1985), h. 51.
[7]Ibid., h. 53.
[8]Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam, h. 8-9.
[9]A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 10.
[10]Husain Ibn Muhammad al-Jassar, l-Husbun al-Hamidiyah li al-Muhafadzah ‘Ala al-‘Aqaid al-Islamiyah, (Bandung: Syirkah al-Ma’arif), h. 7.
[11]Ibid., h. 7.
[12]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2003), h. 269.
[13]A. Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam), h. 11-12.
[14] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 269-270.
[15] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 270-271.
[16]Ibid., h. 275.
[17]Ibid., h. 276.
[18]Sufyan Raji Abdullah, Mengenal Aliran-Aliran dalam Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, (Jakarta: Pustaka al-Riyadh, 2006), h. 39.
[19]Ibid., h. 55.
[20]Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: al-Ma’arif, 1986), h. 5.
[21]Ahmad Zaki Yamani, Asy-Syariatul Khalidah wa Musykilatul ‘Asri, (Jakarta: Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan Yayasan Bhineka Tunggal Ika, 1978), h. 13.
[22] Dewan Editor, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 340.
[23]Ibid., h. 341.
[24]Ibid., h. 342.
[25] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 300-301.

[26]Ibid., h. 305.
[27]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 56-57.
[28]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, h. 286-287.
[29]Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, op. cit., hal. 77.
[30]Amin, Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufism dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999), h. 26.  
[31] Ibid., hal. 27.
[32]Alwi, Shihab, Islam Sufistik; “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia, (Bandung: Mizan, Cet. I, 2001),  h.  31.  
[33] Amin, Syukur, op. cit., hal. 39.
[34] Alwi, Shihab, op. cit., hal. 32
[35] Majid, Fakhry, a Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism, (England: Onewolrd Publication, 1997), hal. 96
[36]Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 2-3.
[37]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 93.
[38]A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Penerjemah. Bambang Herawan, (Bandung: Mizan, 1985), h. 13. 

Post a Comment

 
Top