http://hidupmulia.net/bunga-terindah/
Definisi Propaganda
Meski praktik propaganda telah telah terjadi sejak pertama kali terbentuknya masyarakat sosial, kata propaganda baru muncul ketika Gereja Romawi mempergunakan propaganda sebagai sarana untuk menyebarkan agama katolik. Pada abad-abad selanjutnya, peran propaganda bergeser ke sisi penerapan di dunia politik serta hubungan masyarakat dan bahkan manipulasi pendapat publik. Itu sebabnya, dalam  setiap peristiwa penting seperti politik, pemilu, revolusi, atau perang, propaganda memberikan dorongan kuat bagi pengembangan dan implementasi praktis di medan komunikasi.
Secara etimologis, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, propaganda berarti penerangan, paham, sikap, atau arah tindakan tertentu, biasanya disertai dengan janji muluk-muluk. Dalam Encyclopaedia Britanica, 1997, dan The Oxford Companion to the English Language, Tom Mc Arthur (1992: 333-334) menguraikan kata propaganda berasal dari bahasa Neo Latin propagandus atau propagare yang berarti penyebaran. Kata ini pertama kali dipergunakan Paus Gregorius XV di Italia  pada tahun 1622 untuk menamai sebuah lembaga yang mengurusi kegiatan misionaris Gereja Katolik Roma, Congregatio de Propaganda Fide, komite tetap kardinal yang bertanggung jawab atas aktivitas misionaris Katolik. Sejak saat itu, kata propaganda mulai banyak digunakan untuk merujuk pada rencana sistematis dan gerakan terorganisasi untuk menyebarkan suatu keyakinan, dogma, doktrin atau sistem prinsip tertentu.

Teori-Teori Propaganda
Secara teoritis, pesan propaganda harus diulang-ulang. Teknik pengulangan sangat penting dan merupakan dasar dalam kegiatan propaganda. Ditilik dari sejarahnya, teori propaganda mengalami perubahan secara evolusioner selaras dinamika perkembangan masyarakat. Berikut ini teori-teori tersebut:

Early Propaganda Theory
Teori ini menganut asumsi bahwa setiap orang menyukai kesenangan. Di sini, propagandis menggunakan kata-kata yang menghibur, gambar-gambar yang memukau atau pertunjukan-pertunjukan atraktif di hadapan orang banyak sehingga mereka merasa senang dan selamanya menerima pesan-pesan propaganda yang ditawarkan atau memberikan sumbangan atau bantuan. Propaganda dilakukan secara satu arah (one way) dengan langsung dan segera pada target.

Reaction Againts Early Propaganda Theory
Sebagai reaksi terhadap ealrly propaganda theory, muncul sebuah pemikiran bahwa tidak selamanya propaganda hanya bersifat searah (one way). Ketika seorang propagandis sedang melancarkan propaganda balik, baik disadari maupun tanpa disadari. Di sini, propagandis memerhatikan reaksi-reaksi yang diberikan oleh targetnya dan berupaya mengefektifkan propaganda yang dilancarkannya.

Libertarianism Theory
Teori ini beranjak dari asumsi bahwa propaganda merupakan upaya untuk memperluas pengaruh atau memperoleh kekuasaan, bukan merupakan monopoli kaum borjuis seperti penguasa atau elite masyarakat. Siapa pun berhak dan tidak boleh dilarang untuk menyusun kekuasaan atau memiliki pengaruh melalui propaganda selama dapat dipertanggungjawabkan.

Libertarianism Reborn Theory
Teori mutakhir mengenai propaganda yang didasari oleh asumsi bahwa setiap manusia memiliki kebebasan berkehendak (free will) untuk melakukan apa saja, termasuk untuk memperoleh keuntungan ekonomi atau kekuasaan politik. Acuan teori ini adalah sejarah peradaban yang menginginkan kemajuan dan perkembangan tiada henti (endless development) dalam kehidupan masyarakat.

Freudianism Theori
Teori ini lahir dari konsep pembagian kepribadian manusia ke dalam tiga elemen yang dapat direkayasa melalui propaganda. Tiga elemen tersebut adalah ego (rasio), internal desire (ID, kesenangan pribadi), dan superego (perasaan terdalam- hati nurani). Mekanisme propaganda yang dilancarkan adalah meyakinkan ego, kemudia memersuasi ID, untuk melemahkan superego. Propaganda semacam ini banyak dipraktikkan di semua lokasi mulai dari tingkat lokal sampai internasional, misalnya dalam multilevel marketing atau arisan bergantian atau pembagian keuntungan.

Behaviorism Theory
Teori merupakan teori propaganda yang berasumsi bahwa masyarakat sosial memiliki respon terhadap stimulus tertentu sehingga propaganda dapat memengaruhi aspek kognitif dalam perilaku kehidupannya.

Propaganda Theori versi Harold D Lasswell
Teori ini mengadaptasi teori freudianisme dan teori behaviorisme, puncak implementasinya untuk mencapai efek dukungan massa. Teori ini tersublimasi dalam rumusan paradigma komunikasi yang terkenal (who says what to whom in which channel with what effect).

Public Opinion Theory
Teori ini menunjukkan proses rangkaian kegiatan propaganda dari bawah, yang berkembang mulai dari kaum proletar (buruh, petani, nelayan, dan mereka dari kelas kurang pendidikan) maupun pada golongan masyarakat paling bawah yang lain, hingga kemudian pengaruhnya merambat naik mencapai golongan tertinggi, seperti kaum berojuis atau kelompok elit maupun golongan masyarakat tertinggi lainnya.

IPA Theory (Institute for Propaganda Analysis)
Menurut teori IPA, propaganda adalah komunikasu yang dilancarkan secara halus atau kasar dengan landasan pemikiran berdasarkan fungsi propaganda yang seharusnya relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Modern Propaganda
Teori ini dipopulerkan oleh sebuah kalimat, ‘Dunia adalah panggung propaganda.’ Teori propaganda modern berasumsi bahwa propaganda harus dilakukan dengan teknik-teknik propaganda yang jitu tanpa diketahui oleh orang banyak atau kelompok tertentu yang dijadikan sasaran.

Karakteristik Propaganda
Propaganda sekurang-kurangnya memiliki  memiliki karakteristik sebagai berikut: Pertama propaganda harus populer, dikemas bukan untuk menyenangkan secara intelektual. Kedua, propaganda bertujuan mentransmisikan pengetahuan kepada khalayak. Ketiga, propaganda harus fleksibel, menyesuaikan diri dengan kondisi dan apa yang ingin dicapainya dengan pengetahuan. Keempat, propaganda menggunakan metode yang layak. Keempat, tercapainya tujuan propaganda tercermin dari perubahan sikap, pendapat, dan tindakan target propaganda sesuai yang dikehendaki propagandis.

Definisi Wacana
Menurut Douglas dalam Mulyana (2005: 3), istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vak, yang artinya berkata, berucap. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi wacana.
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam hirarki gramatikal tertinggi dan merupakan satuan gramatikal yang tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, seperti novel, cerpen, atau prosa dan puisi, seri ensiklopedi dan lain-lain serta paragraph, kalimat, frase, dan kata yang membawa amanat lengkap. Jadi, wacana adalah unit linguistik yang lebih besar dari kalimat atau klausa.[1]
Menurut Kamus Linguistik Dewan Bahasa dan Pustaka (1997) dalam Tengku Silvana Sinar (2008: 5), wacana diterjemahkan sebagai discourse yaitu unit bahasa yang lengkap dan tertinggi yang terdiri daripada deretan kata atau kalimat, sama ada dalam bentuk lisan atau tulisan, yang dijadikan bahan analisis linguistik.
Kata wacana berasal dari kata vacana ‘bacaan’ dalam bahasa Sansekerta. Kata vacana itu kemudian masuk ke dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Jawa Baru wacana atau vacana atau’ bicara, kata, ucapan’. Kata wacana dalam bahasa baru itu kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi wacana ‘ucapan, percakapan, kuliah’.[2]
Kata wacana dalam bahasa indonesia dipakai sebagai padanan (terjemahan) kata discourse dalam bahasa inggris. Secara etimologis kata discourse itu berasal dari bahasa latin discursus ‘lari kian kemari’. Kata discourse itu diturunkan dari kata discurrere. Bentuk discurrere itu merupakan gabungan dari dis dan currere ‘lari, berjalan kencang’ (Wabster dalam Baryadi 2002:1). Wacana atau discourse kemudian diangkat sebagai istilah linguistik. Dalam linguistik, wacana dimengerti sebagai satuan lingual (linguistic unit) yang berada di atas tataran kalimat (Baryadi 2002:2).
Wacana adalah 1. rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan preposisi yang satu dengan preposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; 2. kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis.[3]
Secara garis besar, dapat disimpulkan pengertian wacana adalah satuan bahasa terlengkap daripada fonem, morfem, kata, klausa, kalimat dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis ini dapat berupa ucapan lisan dan dapat juga berupa tulisan, tetapi persyaratanya harus dalam satu rangkaian dan dibentuk oleh lebih dari sebuah kalimat.
Dardjowidjojo dalam Mulyana (2005: 1) menerangkan bahwa kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan, bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum).
Sebagai objek kajian dan penelitian kebahasaan, wacana dapat diteliti dari berbagai segi. Analisis wacana mengkaji wacana baik dari segi internal maupun eksternalnya. Dari segi internal, wacana dikaji dari jenis, struktur, dan hubungan bagian-bagian wacana; sedangkan dari segi eksternal, wacana dikaji dari segi keterkaitan wacana itu dengan pembicara, hal yang dibicarakan dan mitra bicara.
Aspek-aspek yang terkandung didalam wacana menyuguhkan kajian yang sangat beragam. Penelitian tentang wacana masih banyak berkutat pada persoalan kebahasaannya secara internal. Belum banyak penelitian yang mengeksplorasi wacana dari segi eksternalnya, seperti sosial, sastra, budaya, ekonomi dan lain-lain.
Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai di dalam berbagai disiplin ilmu dengan berbagai pengertian. Titik singgung analisis wacana adalah studi yang berhubungan dengan pemakaian bahasa. Menurut A.S Hikam dalam Eriyanto (2001: 4) ada tiga paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa. Pertama, pandangan positivisme-empiris; kedua, pandangan konstruktivisme; dan ketiga pandangan kritis.
Lukmana, Aziz dan Kosasih (2006: 12) mengatakan bahwa analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) mempunyai ciri yang berbeda dari analisis wacana yang bersifat “non-kritis”, yang cenderung hanya mendeskripsikan struktur dari sebuah wacana. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) bertindak lebih jauh, di antaranya dengan menggali alasan mengapa sebuah wacana memiliki struktur tertentu, yang pada akhirnya akan berujung pada analisis hubungan sosial antara pihak-pihak yang tercakup dalam wacana tersebut. Analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis) juga merupakan kritik terhadap linguistik dan sosiologi. Tampak adanya kurang komunikasi diantara kedua disiplin ilmu tersebut. Pada satu sisi, sosiolog cenderung kurang memperhatikan isu-isu linguistik dalam melihat fenomena sosial meskipun banyak data sosiologis yang berbentuk bahasa.
Analisis wacana kritis menyediakan teori dan metode yang bisa digunakan untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial dan kultural dalam domain-domain sosial yang berbeda (Jorgensen dan Philips, 2007: 114). Tujuan analisis wacana kritis adalah menjelaskan dimensi linguistik kewacanaan fenomena sosial dan kultural dan proses perubahan dalam modernitas terkini.[4]
Fairlough dan Wodak dalam Eriyanto (2001: 7) berpendapat bahwa analisis wacana kritis melihat wacana pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan sebagai bentuk dari praktik sosial. Wacana sebagai praktik sosial menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya. Praktik wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi.
Dengan demikian, analisis wacana kritis merupakan teori untuk melakukan kajian empiris tentang hubungan-hubungan antara wacana dan perkembangan sosial budaya. Untuk menganalisis wacana, yang salah satunya bisa dilihat dalam area linguistik dengan memperhatikan kalimat-kalimat yang terdapat dalam teks (novel) bisa menggunakan teori analisis wacana kritis. Teori analisis wacana kritis memiliki beberapa karakteristik dan pendekatan.
Konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana untuk memperjelas suatu maksud. Sarana yang dimaksud ialah bagian ekspresi yang mendukung kejelasan maksud dan situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat memperjelas maksud disebut ko-teks (co-text). Konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan kejadian lazim disebut konteks (context) ( Hallyday,M.A.K & Hasan R, 1976 : 29; Rustono, 1999 : 20; Rani, dkk., 2006 : 16). Ko-teks dan konteks dalam analisis wacana merupakan dua hal yang saling melengkapi. Dengan demikian, mengkaji wacana sangat bermanfaat untuk memahami makna/maksud penggunaan bahasa yang sebenarnya.
Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, saluran (Alwi 1998:421). Konteks wacana meliputi:
a.   konteks fisis (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa pada suatu komunitas, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari pada peran dalam peristiwa komunikasi itu.
b.  konteks epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh para pembicara maupun pendengar.
c.    Konteks linguistik (linguistic context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi.
d.   Konteks sosial (social context) yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar
(mitra tutur).
Wacana memiliki dua unsur utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal wacana berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal wacana berkaitan dengan unsur luar bahasa, seperti latar belakang budaya pengguna bahasa tersebut. Kedua unsur itu membentuk suatu kepaduan dalam satu struktur yang utuh dan lengkap (Paina, 2010: 53).
Unsur internal wacana terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud satuan kata ialah tuturan yang berwujud satu kata. Untuk menjadi susunan wacana yang lebih besar, satuan kata atau kalimat tersebut akan bertalian dan bergabung (Mulyana, 2005 : 9).
Unsur eksternal wacana adalah sesuatu yang juga merupakan bagian wacana, tetapi tidak eksplisit, sesuatu yang berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal wacana itu terdiri atas implikatur, praanggapan, referensi, dan konteks (Paina, 2010: 54).
Pendekatan analisis wacana kritis menurut Eriyanto terdiri dari lima bagian yaitu analisis bahasa kritis, analisis wacana pendekatan Prancis, pendekatan kognisi sosial, pendekatan perubahan sosial, dan pendekatan wacana sejarah. Namun yang ingin dikaji oleh penulis disini hanya karakteristiknya saja yang terdiri dari lima bagian.

Tindakan
Wacana dipahami sebagai sebuah tindakan (action) yang diasosiakan sebagai bentuk interaksi. Wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan, apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, beraksi dan sebagainya, Seseorang berbicara atau menulis mempunyai maksud tertentu, baik besar maupun kecil. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana, seperti latar, situasi, peristiwa dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Mengikuti Guy Cook, analisis wacana juga memeriksa konteks dari komunikasi: siapa yang mengkomunkasikan dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan untuk setiap masing-masing pihak. Guy Cook menyebutkan ada tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana; teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks

Historis
Pemahaman mengenai wacana teks ini hanya akan diperoleh kalau kita bisa memberikan konteks historis di mana teks itu diciptakan. Bagaimana situasi sosial politik, suasana pada saat itu. Oleh karena itu, pada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa yang dipakai seperti itu, dan seterusnya.

Kekuasaan
Setiap wacana yang muncul, dalam bentuk teks, percakapan atau apa pun, tidak dipandang sebagai seusatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Analisis wacana kritis tidak membatasi dirinya pada detil teks atau struktur wacana saja tetapi juga menghubungkan dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu. Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Kontrol di sini tidaklah harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara mental atau psikis. Bentuk kontrol terhadap wacana tersebut dapat berupa kontrol atas konteks, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk mengontrol struktur wacana.

Ideologi
Wacana dipandang sebagai medium kelompok yang dominan mempersuasi dan mengkomunikasikan kepada khalayak produksi kekuasaan dan dominasi yang mereka miliki, sehingga tampak absah dan benar. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran.
Dalam kenyataannya, wujud dari wacana itu dapat dilihat dalam beragam hasil karya pembuat wacana, yaitu:
  1. Talk (wacana dalam wujud pembicaraan), antara lain dalam wujud rekaman wawancara, komunike, pidato, yel-yel, diskusi, lobi, dan berbagai bentuk media audio lainnya.
  2. Text (wacana dalam wujud tulisan/grafis) antara lain dalam wujdu berita, esai, feature, artikel, opini, cerpen, novel, buku, dan produk media cetak lainnya.
  3. Act (wacana dalam wujud tindakan) antara lain dalam wujud defile, parade, demonstrasi, lakon drama, tarian, film, video, vcd/dvd serta aneka wacana perilaku lainnya adan aneka bentuk produk audio-visual lainnya.
  4. Artifact (wacana dalam wujud jejak) antara lain dalam wujud puing, bangunan, lanskap, monumen, lukisan, busana, aksesoris, dan produk meida cisual lainnya.[1]
Sebagai contoh, sebelum melancarkan propaganda Perang Teluk II, tim propaganda di Gedung Putih telah mempersiapkan sejumlah agenda antara lain:
  1. Menyusun skenario rencana penyerbuan ke Irak.
  2. Menggalang dukungan internasional dengan memanfaatkan PBB.
  3. Memanfaatkan lembaga Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan tim penyelidik lainnya untuk menyelidiki kepemilikan senjata nuklir Irak.
  4. Melontarkan wacana-wacana perang melalui media internasional untuk mengetahui tanggapan internasional termasuk tanggapan dari pihak Irak.
Mempersiapkan dan mengerahkan angkatan perang dengan segala perangkat matra dan mesin massa internasional untuk meliput dan melaporkan jalannya peperangan.[2]




[1]Shoelhi, Mohammad, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012), h. 109.
[2] Ibid., h. 110.


DAFTAR PUSTAKA
A.BUKU

Abraham, Kathleen S. Communication Everyday Use. San Fransisco: Rinehart Press, 1977.
Agee, Warren K, Phillip H. Ault and Edwin Emery. Introduction to Mass Communication, New York: Harper and Row Publisher, 1977.
Berlo, David. K. The Process of Communication: An Introduction to Theory and Practice. New York: Holt, Rinehart and Winston, 1960.
Bonar, S. K. Hubungan Masyarakat Modern, Jakarta: PT Pembangunan, 1966.
Book, Cassandra L. Human Communication: Principles, Contexs and Skills. New York: St. Martin’s Press, 1980.
Byrnees, Francis. C. Communication (Reading Material). The International Rice Research Institute. Los Banos- Philippines, 1965.
Cangara, Hafied. Ilmu Komunikasi dalam Lintasan Sejarah dan Filsafat. Surabaya: Karya Anda, 1996.
-----------, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014.
Effendy, Onong Uchjana. Hubungan Masyarakat, Suatu Studi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1992.
Nurudin, Komunikasi Propaganda, Bandung: Rosdakarya, 2001
Ruslan, Rosady, Manajemen Public Relation dan Media Komunikasi Konsepsi dan Aplikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2014.
Shoelhi, Mohammad, Propaganda dalam Komunikasi Internasional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2012.
Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001
Baryadi Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondhosuli.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS
Hasan Alwi. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi 3. Jakarta: Balai Pustaka.
Jorgensen, Marianne W. dan Louise J. Philips. 2007. Analisis Wacana Teori dan Metode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lukmana dan E. Aminuddin Aziz dan Dede Kosasih. 2006. Linguistik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana : Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Paina. 2010. “Tindak Tutur Komisif Bahasa Jawa: Kajian Sosiopragmatik”. Disertasi.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Poerwadarminta, W. J. S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Silvana Sinar, Tengku. 2008. Teori dan Analisis Wacana : Pendekatan Sistematik Fungsional. Medan: Pustaka Bangsa Press.
Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama

B. Internet
http://www.tetaplahberbinar.com/2016/10/definisi-dan-teori-teori-propaganda.html





[1] Kridalaksana dalam Yoce (2009: 69)
[2] Poerwadarminta 1976: 1144
[3] (J.S Badudu dalam Eriyanto, 2001: 2)
[4] (Jorgensen dan Philips, 2007: 116)

Post a Comment

 
Top