Di saat Rasulullah SAW, sedang duduk bersama para sahabatnya, di beranda masjid Nabawi, tiba-tiba lewat seorang pemuda berbadan tegap yang tampaknya tengah mencari rezeki dengan menawarkan tenaga dan keahliannya. Kemudian berkatalah salah seorang sahabat Nabi, “Sungguh sangat disayangkan memiliki badan tegap tidak dimanfaatkan untuk berjuang fȋ sabȋlillâh. Coba kalau ia berangkat ke medan perang, alangkah mulia dirinya.”
Rasulullah langsung menegur, “Jangan kamu berkata begitu. Sebab, jika ia berusaha mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya yang masih kecil, niscaya kepergiannya dari rumah sama dengan fi sabilillah. Demikian pula kalau perjalanannya dilakukan untuk mencukupi kebutuhan pribadinya, itu juga fi sabilillah. Sebaliknya, meskipun ia berangkat ke medan perang tetapi tujuannya untuk kesombongan dan kemegahan diri, niscaya perjalanannya itu hanya mematuhi perintah setan.”
Kisah di atas mengisyaratkan bahwa kerja  merupakan sesuatu hal yang pokok dalam ajaran Islam. Bahkan kerja adalah suatu kewajiban yang diemban manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, untuk memakmurkan bumi dan mengelola sumber-sumber alam.
Manusia sebagai khalifah berkewajiban mengemban tugas suci itu. Sebab apabila manusia tidak berhasil mengemban amanah itu, akan menyebabkan ia terjerembab ke tempat yang paling rendah. Sebagaimana dalam al-Qur’an Allah SWT mengingatkan, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat kebesaran (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seumpama binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf, [7]: 179).
Dengan demikian, hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki manusia agar mau bekerja giat bersusah payah menunaikan tugas dan kewajiban dalam hidup ini. Di dalam al-Qur’an, banyak sekali terdapat ayat-ayat yang menunjukkan ke arah pemahaman bahwa manusia dituntut untuk bekerja di antaranya: “Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan balasan perbuatan mereka, dan mereka tidak dirugikan.” (QS. al-Ahqaf [46]: 19). Dalam ayat yang lain Allah SWT menegaskan, “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 105).
Ayat-ayat ini bertujuan mendorong manusia untuk lebih kreatif, inovatif, dan produktif dalam bekerja. Olah karenanya, Allah mengingatkan umat Islam bahwa Allah SWT, Rasulullah SAW, dan orang-orang mukmin menjadi saksi dari pekerjaan mereka.
 Al-Qur’an berulang-ulang menyebut kata kerja (al-‘amal), lebih dari 50 ayat, bersama dengan kata iman. Jalinan ketat antara iman dan amal itu, seperti dua sisi mata uang. Yang satu tidak bernilai tanpa ada yang lainnya. Oleh karenanya, al-Qur’an memerintahkan umat Islam supaya melanjutkan kembali pekerjaannya setelah menunaikan shalat berjamaah.

Tentu, konsep iman dan amal orang yang memiliki etos kerja islami harus disertai dengan niat keikhlasan, yang tidak semata-mata mengharapkan imbalan di dunia tetapi juga berorientasi kebaikan akhirat. Selain itu, orang yang memiliki etos kerja Islami juga memiliki kesadaran tentang nikmat yang telah Allah SWT anugerah kepadanya, yang menjadikannya mampu melaksanakan pekerjaan itu. 

Post a Comment

 
Top