Sebagaimana Ibnu Sina, al-Ghazali membagi jiwa menjadi tiga golongan, yaitu: Jiwa nabati, yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang. Jiwa hewani, yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan iradat (kehendak). Jiwa insani, yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidupdari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum. Jiwa insani inilah, menurut al-Ghazali di sebut sebagai ruh (sebagian lain menyebutnya jiwa manusia). Ia sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan setelah masuk ke dalam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-’aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui. Ruh menurut al-Ghazali terbagi menjadi dua, pertama yaitu di sebut ruh hewani, yakni jauhar yang halus yang terdapat pada rongga hati jasmani dan merupakan sumber kehidupan, perasaan, gerak, dan penglihatan yang dihubungkan dengan anggota tubuh seperti menghubungkan cahaya yang menerangi sebuah ruangan. Kedua, berarti nafs natiqah, yakni memungkinkan manusia mengetahui segala hakekat yang ada. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Di sini al-Ghazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal atau ruh, tetapi ia merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat; itulah yanmg dinamakan manusia. Menurut al-Ghazali Jiwa yang sakit jiwa bukan sekadar hilangnya akal (gila), tetapi ia juga hilangnya ketaatan pada Sang Khalik. Dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin, beliau menjelaskan bahwa mempelajari disiplin ilmu jiwa ini adalah wajib. Sebab dengan menguasai ilmu inilah tercapainya cara-cara pensucian jiwa. "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (QS. 91:9). Sedangkan mengabaikan ilmu ini akan berakhir pada kerugian. "Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori jiwanya" (QS. 91:10). Hal ini dikarenakan bahaya penyakit kalbu lebih parah daripada penyakit fisik. Sebab penyakit fisik hanya merenggut kehidupan yang fana, sementara penyakit hati menyebabkan kehancuran pada kehidupan yang abadi. Maka perhatian terhadap kecermatan tentang kaedah-kaedah penyembuhan penyakit kalbu harus lebih diutamakan. Di samping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu jiwa pada intinya difokuskan untuk mengarahkan tiga kekuatan dalam diri manusia, yakni kekuatan fikir, kekuatan syahwat dan kekuatan amarah. Maka jiwa yang sehat akan terwujud, jika ketiga kekuatan tersebut terarah dan terbina dengan baik. Fokus pertama adalah pembinaan kekuatan fikir. Dan terbinanya potensi fikir membuka manusia meraih hikmah. Dengan hikmah, manusia tidak lagi mencampuradukkan antara keimanan terhadap yang hak dan batil, antara perkataan yang benar dan dusta, antara perbuatan yang terpuji dan tercela. Hikmah juga menjaga akal manusia agar tidak terjerumus kedalam limbah relativisme dan belantara purba sangka dalam berislam. Bagi al-Ghazali kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya berbeda-beda. Imam al-Ghazali menjelaskan tiga tingkatan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya. Pertama, orang yang dikuasai oleh hawa nafsu dan bahkan menjadikannya Tuhan sesembahannya (lihat QS. 25:43 dan QS. 45:23). Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya ini akan cenderung pada kesesatan, karena pendengaran dan kalbunya sudah terkunci. Mereka diibaratkan seperti anjing (QS. 7:176), oleh karena itu tidak layak dijadikan pemimpin. Kedua, orang yang selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya. Maka terkadang ia mampu mengendalikannya dan terkadang tidak. Mereka ini tergolong mujahidin. Jika saat kematian datang menjemputnya, sedangkan ia dalam usaha mengendalikan hawa nafsunya, maka ia tergolong syuhada’. Sebab ia sedang menyibukkan dirinya menjalankan perintah Rasulullah SAW untuk memerangi hawa nafsu seperti memerangi musuhnya. Ketiga, golongan yang berhasil mengendalikan hawa nafsu dan mengalahkannya dalam kondisi apapun. Mereka inilah golongan penguasa sejati yang telah terbebas dari belenggu hawa nafsu. Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh orang yang menduduki peringkat ini, hingga Nabi pun bersabda bahwa setan akan mengambil jalan yang tidak dilalui Umar. Oleh sebab itu, dalam rangka melepaskan belenggu nafsu dan untuk meraih kebahagiaan hakiki, beliau menjelaskan empat kiat, yaitu mengenal diri, mengenal Pencipta, mengenal hakekat dunia dan mengenal hakekat akherat. Dalam proses mengenali diri, Imam al-Ghazali memberikan bahan introspeksi harian (muhasabah). Misalnya: Kita itu apa? Kita datang ke tempat ini dari mana? Untuk tujuan apa Kita diciptakan? Karena apa Kita berbahagia? Dan kenapa juga Kita harus merasa sengsara? Masih dalam rangka mengenali diri, Imam al-Ghazali menjelaskan adanya empat potensi dalam diri manusia, dimana masing-masing memiliki kebahagiannya sendiri. Keempat potensi tersebut adalah sifat binatang ternak, sifat binatang buas, sifat setan dan sifat malaikat. Beliau pun menguraikan sebagai berikut: “Sesungguhnya kebahagiaan binatang ternak itu di saat makan, minum, tidur dan melampiaskan hasrat seksnya. Jika Kita termasuk golongan mereka, maka bersungguh-sungguhlah dalam memenuhi kebutuhan perut dan kemaluan. Kebahagiaan binatang buas itu dikala ia berhasil memukul dan membunuh. Kebahagiaan setan itu ketika ia berhasil melakukan makar, kejahatan dan tipu muslihat. Jika kita berasal dari golongan mereka, maka sibukkanlah diri kita dengan kesibukan setan. Sedangkan kebahagiaan malaikat itu tatkala ia menyaksikan indahnya kehadiran Tuhan. Maka jika kita termasuk golongan malaikat, bersungguh-sungguhlah dalam mengenali asal-usul kita, hingga mengetahui jalan menuju kepada-Nya dan terbebas dari belenggu syahwat dan amarah”. Menurut Imam al-Ghazali, kebahagiaan dan jiwa yang sehat itu diawali dengan ilmu pengetahuan. Maka barang siapa yang sudah hilang kemauan untuk mencari Ilmu, maka orang itu ibarat orang yang habis seleranya untuk memakan makanan yang baik; atau seperti orang yg lebih suka makan tanah daripada makan roti. Sebab kebahagiaan hakiki adalah hakekat spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal mutlak tentang hakikat alam, identitas diri dan tujuan hidup. Kesemuanya itu berawal dari ilmu dan bermuara pada mahabbatullah (cinta kepada Allah).

Post a Comment

 
Top