Menurut Muhbib Abdul Wahab, kata jiwa di dalam al-Quran disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian (perubahan) katanya. Jika ditelusuri dalam kamus al-Qur’an, kata jiwa (al-nafs) setidaknya mempunyai sepuluh arti; Al-Qalb (Hati) seperti dalam (QS. Qaf : 16),  Minkum (dari kalian) seperti dalam (QS. Al-Taubah : 128), Al-insan (manusia), seperti dalam (QS. al-Maidah : 32), Ba’dukum (sebagian di antara kalian) seperti dalam (QS. al-Baqarah :54), Al-ruh (roh), seperti dalam (QS. al-Zumar : 42), Ahli al-din (ahli agama), seperti dalam (QS. Al-Nisa :29), Diri manusia, seperti dalam (QS. al-Nisa : 66), ‘uqubat (balasan/hukuman), seperti dalam (QS. Ali Imran/3 :28),  Al-umm (ibu), seperti dalam (QS. Al-Nur : 12) , Al-gaib (gaib), seperti dalam (QS. al-Maidah/4: 116).
Achmad Mubarok mengemukakan, bahwa kata Nafs disebut dalam Al-Qur'an dengan berbagai derivasinya sebanyak 303 kali. Akan tetapi, jiwa –dalam pengertian yang saling melengkapi dan membentuk satu sistem ruhaniah—disebut al-Qur'an dengan beberapa istilah, seperti: aql (meski yang digunakan dalam al-Qur'an hanya bentuk verbanya), qalb, ruh, dan bashirah. Al-Nafs digunakan al-Qur'an untuk menyebut totalitas manusia (QS. al-Maidah [5]: 32 dan Yasin [36]: 54), sisi dalam (jiwa) manusia dan sebagai penggerak tinggah laku (QS. al-Ra'd [13]: 11). Jika tubuh manusia mempunyai sistem, demikian pula dengan jiwa manusia. Sistem nafsani terdiri dari elemen-elemen: qalb, 'aql, ruh, bashirah dan fithrah dengan fungsi masing-masing sebagai subsistem (Mubarok, 2001: 6).
Selanjutnya, hubungan atau interaksi dari elemen-elemen itu diikat oleh perasaan dan pikiran sehingga nafs sebagai satu kesatuan dapat melahirkan tingkah laku sebagai hasil akhir dari sistem nafsani tersebut. Nafs juga dapat digambarkan sebagai ruang yang sangat luas dalam diri manusia di mana di dalamnya terdapat "kamar-kamar" yang didesain untuk dimungkinkannya kelangsungan berpikir dan merasa, tetapi nafs bukan alat. Dari dalam nafs itulah manusia digerakkan untuk menangkap fenomena yang dijumpai, menganalisisnya dan mengambil keputusan. Kerja nafs dilakukan melalui jaringan qalb, 'aql dan bashirah, tetapi kesemuanya itu baru berfungsi manakala ruh (nyawa) berada dalam jasad dan fungsi kejiwaan telah sempurna. (Mubarok, 2001: 6).
           Sedangkan Muhbib Abdul Wahab Nafs mengemukakan bahwa–bentuk jamaknya nufus dan anfus—memang mempunyai banyak arti, antara lain: jiwa (soul), pribadi (person), diri (self), hidup (life), hati (heart) dan pikiran (mind). Oleh para filosof, antara lain Ibn Sina dan Ibn Miskawaih, manusia disebut sebagai al-nafs al-nathiqah (jiwa atau pribadi yang berakal). Namun demikian, nafs dalam al-Qur'an juga digunakan dalam arti nafsu –sebagaimana yang kita pahami dalam bahasa Indonesia—yaitu dorongan-dorongan kepada keinginan rendah yang menjurus kepada hal-hal yang negatif, sebagaimana firman Allah, "Nafsu itu berkecendrungan untuk menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.." (QS. Yusuf [12]:53).
            Sebenarnya dalam al-Qur'an terdapat dua kata yang sama-sama diartikan "nafsu", yaitu al-nafs itu sendiri dan hawa' (jamaknya ahwa') yang memang mengan-dung arti: hasrat (desire), tingkah (caprice), hawa nafsu (Arab: hawa' al-nafs= keinginan/dorongan pribadi) atau kecenderungan pribadi untuk bersikap (inclination). Kata ini tercantum dalam al-Qur'an sebanyak 17 kali.
            Surat al-Syams [91]: 7-10 menyebutkan bahwa  nafs itu diciptakan oleh Allah secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga kesuciannya, sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan perbuatan maksiat (durhaka dan melanggar perintah Allah). Kualitas nafs tiap orang berbeda-beda sesuai dengan  bagaimana usaha  manjaganya dari hawa (QS. al-Nazi'at [79]: 40-41), yakni dari kecenderungannya untuk memenuhi syahwat, karena menuruti dorongan syahwat itu merupakan tingkah laku hewan yang dengan itu manusia telah menyia-nyiakan potensi akal yang menandai keistemewa-annya (al-Maraghi, vol. x, 1985: 168-69).
            Sementara itu, 'aql –yang arti dasarnya adalah mengikat, menahan, atau mengaitkan, lalu berkembang dalam arti memahami dan memaknai—tidak pernah disebut dalam al-Qur'an dalam bentuk kata benda ('aql), melainkan dalam bentuk verba (kata kerja), seperti: ya'qilu, ta'qilu, ta'qilun, dan sebagainya. Dari 49 ayat yang menyebut verba dari 'aql itu mengandung arti: mengerti, memahami dan berpikir. Akan tetapi, pengertian berpikir juga diungkap oleh al-Qur'an dengan menggunakan  kata seperti: nazhara atau melihat secara abstrak (QS. 50: 6-7; 86: 5-7; dan 88:17-20), tadabbara yang berarti merenungkan (QS. 38: 29 dan 47: 24), tafakkara yang berarti berpikir (QS. 16: 68-69 dan 45: 12-13), faqiha-yafqahu yang berarti mengerti (QS. 17: 44 dan 16: 97-98), tazdakkara yang berarti mengingat, memperoleh pengertian, mendapat pelajaran, memperhatikan dan mempelajari (QS. 16: 17; 39:9 dan 51: 47-49) dan fahima-yafhamu yang berarti memahami (QS. 21: 78-79). Hal ini menunjukkan bahwa dimensi berpikir menurut al-Qur'an sangat luas, tidak semata-mata menggunakan akal, tetapi juga menggunakan kedalaman ruhani.
            Al-Qur'an juga menerangkan  pertumbuhan akal (QS. al-Sajdah [32]: 7-9; al-Nahl [16]: 78; dan al-'Alaq [96]: 4-5), kemampuannya (QS. al-Furqan [25]: 44 dan al-Jatsiyah [45]: 5), dan kapasitasnya (QS. al-'Ankabut [29]: 63). Al-Qur'an juga menyebut ciri-ciri kederdasan akal, antara lain: mampu memahami hukum kausalitas (QS. al-Mu'minun [23]:  80), memahami sistem jagad raya (QS. al-Syu'ara' [26]: 18-28), mampu berpikir distintif (QS. al-Ra'd [13]: 4), menyusun argumen yang logis (QS. Ali Imran [3]: 65), berpikir kritis (QS. al-Maidah [5]: 103), mampu mengatur taktik strategi (QS. Ali Imran [3]: 118-120) dan mampu mengambil pelajaran dari pengalaman (QS. al-Maidah [5]: 164-169).
            Ruh dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut jiwa, nyawa, nafas, wahyu, malaikat, perintah dan rahmat. Jika kata ruhani dalam bahasa Indonesia digunakan untuk menyebut lawan dari dimensi jasmani, maka dalam bahasa Arab kata ruhaniyyun digunakan untuk menyebut semua jenis makhluk halus yang tidak berjasad, seperti: malaikat dan jin (Mubarok, 2001:10). 
Al-Qur'an, antara lain, menggunakan kata ruh untuk menunjukkan makna nyawa menyebabkan seseorang masih tetap hidup (QS. al-Isra' [17]: 85), malaikat (QS. al-Syu'ara' [26]: 193), rahmat Allah (QS. al-Mujadalah [58]: 22) dan al-Qur'an (QS. al-Syura [42]: 52). Mengenai ruh manusia, meski disebutkan  ada proses peniupan ruh ke dalam tubuh manusia (QS. al-Shaffat [37]: 7-9), tetapi dari ayat itu juga dapat dipahami bahwa ruh itu semacam sinergi dari elemen-elemen sistem organ tubuh. Artinya ketika organ-organ tubuh manusia semuanya berfungsi maka ruh hadir, dan ketika tidak berfungsi, ruh menghilang, sehingga kehadiran ruh dapat dipahami sebagai sunnatullah (hukum Allah) yang dapat dirumuskan dengan: jika x maka y.
Penggunaan kata “ruh”  di masa Jahiliah nyaris hanya terbatas pada arti etimologis, yaitu angin atau batu. Ruh saat itu belum berarti jiwa. Ruh diartikan jiwa, pertamakali, ditemukan dalam al-Qur’an dan Hadits. Dalam al-Qur’an dan Hadis ruh diartikan dengan jiwa atau sebaliknya, meskipun dalam al-Qur’an ruh juga diartikan dengan jin berdekatan atau berjauhan. Karena itulah terjadi perdebatan antara para pemikir Muslim tentang arti jiwa dan ruh, apakah ke duanya berbeda atau sama. Tetapi di sini secara umum kami menggunakannya dengan arti yang sama. Macdonald telah menjelaskan jiwa dan ruh yang berbeda-beda dalam penggunaannya dalam pembahasan yang melimpah bahkan ia meringkasnya secara memadai dalam uraiannya dengan judul “Al-Nafs” dalam Da’irah al-Ma’arif al-Islamiyyah.
Al-Qur’an misalnya, mengatakan bahwa ruh merupakan pembangkit hidup , bahkan itu dari Allah, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah’ maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan ruh (ciptaan)Ku maka hendaklah kamu tersungkur dan sujud kepadanya.” (QS Shad, 71:19).
Dan ruh merupakan rahasia Allah dalam ciptaan-Nya. Manusia yang memang terbatas ilmunya tidak perlu cemas dan bingung bila tidak mengetahui hakikat dan esensi jiwa. “Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, maka katakanlah bahwa ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi ilmu kecuali hanya sedikit saja. (al-Isra, 17-85).
Allah memperingatkan terhadap syahwat dan hawa nafsu dengan menandaskan pada nafsu lawwamah yang tidak mau dan emoh pada hal-hal yang hina. “Aku bersumpah kepada hari Qiyamah. Dan aku bersumpah kepada jiwa lawwamah. (al-Qiyamah, 75:2).
Allah juga memperingatkan bahwa jiwa itu bertingkat-tingkat yang paling tinggi adalah jiwa muthmainnah yang Allah berfirman kepadanya: “Hai jiwa yang tenang (muthmainnah). Kembalilah  kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi dirihai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamab-hamba-Ku dan masuklah ke Surga-Ku.
Al-Qur’an juga menerangkan bahwa semua jiwa itu akan kembali kepada Allah. “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan memegang jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya maka Dia tahanlah jiwa-jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan melepaskan jiwa yang lain sampai batas waktu yang telah ditentukan.”(az-zumar, 39:42).
Dalam as-Sunnah meskipun ia menahan diri dari menjelaskan hakikat ruh, tetapi ada juga Hadis yang menerangkan mengenai baik darimana asal munculnya ruh, maupun eksistensi ruh lebih dulu adanya daripada tubuh.
“Ruh-ruh itu merupakan bala tentara yang banyak sekali maka di antara mereka yang saling mengenali lalu bersatu dan berkumpul sedang di antara mereka yang tidak saling mengenali lalu berbeda dan berselisih. (Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah, Kitab al-Ruh, Haiderabad, halaman 9-62).
Ada hadis selain yang menjelaskan tentang (i) bagaimana keadaannya ketika menghadapi pertanyaan ke dua Malaikat, bahkan diterangkan (iii) bagaimana nikmat dan siksa yang dialami di dalam kubur. Ada juga hadis yang menerangkan bahwa (i) ruh orang mati itu saling mengunjungi antar sesama mereka dan (ii) ruh itu merasa senang bila diziarahi oleh yang masih hidup.
“Tak seorangpun yang menziarahi kubur saudaranya dan duduk si situ, kecuali yang diziarahi tadi merasa senang dan membalasnya hingga ia berdiri. (al-Bukhari, bab Ta’bir al-Ru’yat wa al-Ahlam.
“Rasulullah tidak pernah mimpi kecuali datang seperti cahaya subuh.”
“Mimpi yang baik dari orang yang saleh itu merupakan sebagian dari 46 bagian kenabian”
“Barang siapa melihatku dalam mimpi maka betul-betul melihatku.” (Buku Ibnu Qoyyim yang kami sebutkan di atas merupakan bentuk yang langka mengenai sam’iyat ini.)
Bila semua ayat dan hadis tadi diartikan secara lahiriah maka akan terjadi diskusi dan perdebatan yang berkepanjangan terutama setelah umat Islam berkenalan dengan ajaran-ajaran bangsa lain. Ayat-ayat dan hadis-hadis tersebut di atas merupakan dasar studi Islam mengenai: (i) mimpi dan ta’birnya (ii) masalah-masalah yang termasuk sam’iyat, (iii) penjelasan asal ruh dan penjelasan dan penjelasan bahwa ruh itu lebih dulu daripada tubuh (iv) ruh yang akan kembali kepada tubuh setelah mati (v) pertanyaan dua Malaikat dan siksa kubur. Masalah sam’iyat ini merupakan bidang ilmu kalam yang paling terpengaruh oleh berbagai pemikiran asing, terutama dari Yahudi dan Nasrani. Imajinasi dan kebohongan tentang sam’iyat ini mempunyai kesempatan luas baik untuk menyenangkan selera umum maupun untuk kepuasan dalam memberikan ancaman dan peringatan.
            Bashirah dapat diartikan sebagai mata hati atau jendela hati (hati nurani). Allah disebut Bashir karena Dia mampu melihat sesuatu secara total, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, tanpa memerlukan alat. Jika dihubungkan dengan manusia, bashirah mempunyai empat arti: (1) ketajaman hati, (2) kecerdasan, (3) kemantapan dalam beragama, dan (4) keyakinan hati dalam hal agama dan realita. Hati nurani dengan demikian dapat dipahami sebagai pandangan mata hati (suara hati kecil yang tidak pernah berdusta) sebagai lawan dari pandangan mata kepala. Al-Qur'an juga menggunakan kata fu'ad untuk menyebut hati manusia (QS. al-Isra' [17]: 36 dan al-Syu'ara' [26]: 89). Fu'ad terkadang juga dimaknai sebagai hati yang tidak berdusta, selalu menyuarakan kebenaran (QS. al-Najm [53]: 11).
Berdasarkan penjelasan Al-Qur’an, ternyata ruh dan jiwa itu mempunyai pengertian yang sama. Allah berfirman dalam Qur’an surat Az Zumar ayat 42 : "Allah yang mengambil jiwa (ruh) manusia ketika wafatnya dan ketika tidurnya sebelum wafat, lalu ditahannya jiwa (ruh) yang sudah wafat, serta dikembalikan jiwa (ruh) yang lain ( yang sedang tidur) sampai waktu yang ditentukan". Dan Al Qur’an surat Al-An’am ayat 93 : “Alangkah dasyatnya apabila engkau melihat orang-orang yang menganiaya itu sedang merasakan tekanan sakratul maut dan malaikat telah mengembangkan tangannya sambil berkata : Lepaskanlah jiwamu (ruhmu).”
Kata nafs yang bentuk jama’nya anfus menurut dua ayat diatas sama pengertiannya dengan ruh, jiwa, sukma atau nyawa. Al-Qur’an mengungkapkan lebih jauh lagi tentang sifat-sifat dari jiwa ini, ada yang disebut nafs amarah bissu’ ( jiwa yang selalu mengajak kepada keburuhkan), nafs lawwamah ( jiwa yang suka mencela dirinya sendiri) dan nafs muthmainnah ( Jiwa yang tenang). Nafs ini membentuk sifat dan tabiat manusia. Ada manusia yang tabiatnya buruk (berakhlak tercela, berbudi kasar dll sb), hal ini disebabkan oleh nafsu yang telah mengalahkan kesucian yang murni dan masih asli tetapi ada juga orang yang berbudi luhur ( berakhlak mulia, berbuat kebenaran, keadilan, keindahan dan kesempurnaan perilaku dlsb), hal ini karena ia telahmampu mengekang syahwatnya serta mengatasi segala macam kekurangan dankerendahan jiwanya dan iapun sudah sampai pada tingkat yang luhur dalam persoalan penjagaan jiwanya, ia dapat memerangi hawa nafsunya dan bersih dari pengaruh itu.
Nafsu pada tabiat taslinya selalu mengajak kepada keburukan, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'’n surat yusuf ayat 53 : "Sesungguhnya nafsu itu suka sekali menyuruh kepada keburukan".
Akan tetapi nafsu itupun dapat diarahkan untuk berbuat kebaikan dan mencegah keburukan apabila nafsu itu diberi pelajaran dan pengajaran yang baik serta dididik dengan keagamaan serta diajak untuk meneliti berbagai percontohan dan suri teladan yang baik yang ada di sekitarnya. Pantas saja kalau Allah SWT berfirman: " Dan jiwa dan apa yang oleh Allah dijadikan untuk menyempurnakannya. Maka Ia mengilhamkan kepadanya yang salah dan yang taqwa (benar), maka sungguh beruntunglah orang yang membersihkan jiwanya dan sungguh merugilah yang mengotori jiwanya". (QS.As-Syams : 7-10)
Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa dalam penciptaannya (jiwa) itu Allah telah mengilhamkan jalan kefasikan dan ketaqwaan kepadanya. Beruntunglah bagi orang yang mau menjaga dan membina untuk kesucian jiwanya dan rugilah orang yang tidak mau menjaga dan membina jiwanya, membiarkan dan mengotorinya. Jalan untuk menjaga dan membina jiwa banyak tantangan dan godaan, sedangkan jalan untuk mengotorinyaq mudah dan tanpa perjuangan.
Menjaga dan membina jiwa hanya dapat dengan tunduk kepada semua aturan Allah, beribadah kepada-Nya, selalu ingat dan bertaqarrub kepada-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan itulah jiwa terbina membentuk pribadi yang teguh memegang kebenaran dan keadilan untuk mencapai kesempurnaan hidup, kebahagiaan di dunia dan akhirat kelak, Insya Allah. Jiwa inilah yang akan mencapai ketenangan dan ketentraman dan jiwa inilah yang akan mendapatkan penghormatan yang tinggi dan agung mendapatkan panggilan yang penuh rindu dan kasih sayang-Nya :"Wahai jiwa yang penuh ketenangan, kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh kesenangan dankeridhlaan-Ku, masuklah menjadi hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku"
Para ulama menemukan tujuh tingkatan jiwa dari dalam al-Qur’an, Pertama, nafs al-ammarah bi al-su’, atau nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.
Kedua, nafs al-lawwamah. Ini adalah jiwa yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari hatinya, jiwa menyadari kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.
Tingkat ketiga adalah Nafs al-Mulhamah atau jiwa yang terilhami. Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika jiwa ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.
Keempat, Nafs al-mutma’innah atau jiwa yang tenang. Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi.
Kelima, Nafs al-Radhiyah atau jiwa yang ridha. Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).
Keenam, Nafs al-Mardhiyyah, adalah jiwa yang berbahagia. Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak dominan.
Ketujuh, Nafs al-Safiyah adalah jiwa yang tulus murni. Pada tingkat ini seseorang dapat disifati sebagai Insan Kamil atau manusia sempurna. Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.
Begitulah jiwa manusia. Ada pergulatan antara jiwa hewani yang jahat dengan jiwa yang tenang. Ada peningkatan pada jiwa-jiwanya yang tenang itu. Sahabat Rasulullah saw. Sufyan al-Thawri pernah mengatakan bahwa beliau tidak pernah menghadapi sesuatu yang lebih kuat dari nafsunya; terkadang nafsu itu memusuhinya dan terkadang membantunya. Ibn Taymiyyah menggambarkan pergulatan itu bersumber dari dua bisikan: bisikan syetan (lammat a-syaitan) dan bisikan malaikat (lammat al-malak)..

Post a Comment

 
Top