“Orang yang
cerdik adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya dan beramal untuk
kehidupan setelah mati. Dan orang yang bodoh adalah orang yang menuruti hawa
nafsunya dan mengharapkan lamunan-lamunan kepada Allah.”
(HR At-Turmudzi, Ahmad dan Ibnu Majah)
Hidup memang terasa bahagia
ketika kita memiliki rumah baru, kendaraan baru, perabotan rumah tangga baru,
pokoknya semuanya serba baru. Namun apalah artinya semua itu kalau dibangun
dengan cara berutang, karena hutang itu pada akhirnya akan menyisakan
kesusahan. Itulah mengapa Nabi Muhammad mengajarkan kepada umatnya sebuah doa
agar terhindar dari lilitan hutang. Sebagaimana yang terdapat dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan Abu Daud, “Pada suatu hari Rasulullah masuk masjid
ketika seseorang dari kaum Anshor yang biasa dipanggil Abu Umamah sedang duduk
termenung. Rasulullah pun berkata, ‘Wahai Abu Umamah, mengapa aku melihatmu
duduk bukan pada waktu shalat?
Umamah
menjawab, ‘Karena aku dirundung kesedihan dan hutang, wahai Rasulullah.’
Rasulullah
berkata, ‘Bukankah aku telah meng-ajarkan kepadamu sebuah ucapan yang bila kamu
mengucapkannya maka Allah akan menghilangkan kesedihan dan melunasi
hutangmu?’
‘Benar
wahai Rasulullah.' Jawab Abu Umamah
Rasulullah
berkata, ‘Katakan bila kamu masuk waktu pagi dan sore: Ya Allah, sesungguhnya
aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kesusahan, berlindung kepada-Mu
dari kelemahan dan kemalasan, berlindung kepada-Mu dari kebakhilan dan
ketakutan, serta berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan tekanan orang.’
Lalu
Umamah menceritakan pengalamannya mengamalkan perintah Rasulullah diatas, ‘Maka
aku pun mengucapkan amalan itu. Manfaat dari amalan itu, Allah menghilangkan
kesedihanku serta melunasi hutangku.”
Robert
T. Kiyosaki mengatakan, orang yang ter-perangkap dalam lilitan hutang
biasanya akan menderita bangkrut secara finansial. Ia juga mengemukakan, dari
orang-orang ini kita sering mendengar, “Aku tak bisa berhenti kerja, aku harus
membayar tagihan,” atau seperti modifikasi lirik lagu Putri Salju dan Ke
tujuh Kurcaci: “I owe, I owe, so it’s off to work I go.” (Aku berutang, aku
berutang, jadi aku harus pergi bekerja). Atau seperti lirik lagu Tennessee
Ernie Ford dari tahun ’50-an: “Kau memanggul beban 16 ton dan apa yang kau
dapat? Satu hari lebih tua dan lebih dalam tertimbun utang. Malaikat Izrail
jangan kau cabut nyawaku sebab aku tak bisa pergi. Aku menggadaikan jiwaku
kepada koperasi.”
Sebenarnya,
yang menyebabkan kehidupan seseorang sulit bukanlah penderitaan, takdir,
apalagi Tuhan. Dialah yang membuat hidupnya lebih rumit dan sulit. Apabila satu
keinginan terpenuhi, maka ia akan mempunyai keinginan yang lain. Jika
seseorang sudah memiliki banyak uang, ia akan mulai memikirkan untuk beli
rumah, kendaraan, tamasya bersama keluarga ke luar negeri. Jadi bukan hidup
yang merumitkan kita. Kitalah yang merumitkan hidup.
Bukankah
konsep hidup sederhana sudah dipertontonkan Nabi Muhammad 1400 tahun silam.
Jauh sebelum Robert T. Kiyosaki menganjurkan kita untuk mengurangi keinginan
yang tidak mendesak. Jauh sebelum penulis-penulis kesohor Barat menganjurkan
hidup sederhana, Nabi Muhammad sudah mempraktikannya terlebih dahulu.
Rasulullah ketika itu tengah sakit. Umar bin Khathab menjenguknya.
Tatkala masuk ke kamar Rasulullah, ia mendapati beliau tengah tertidur di atas
tikar kasar, sementara di bawah kepalanya terdapat bantal dari ijuk. Umar
melempar pandangannya ke sekeliling ruangan, tetapi ia tidak mendapati
selain wadah air dan cangkir untuk minum, segenggaman tangan gandum, dan rak untuk
baju-bajunya. Umar menangis dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya berdoa
kepada Allah agar Dia melapangkan rezeki kita sebagaimana telah melapangkan
Persia dan Romawi.”
Rasulullah
menjawab, “Wahai Umar, engkau menghendaki perhiasan dunia? Jika selainmu baru
pantas menyebutnya. Mereka adalah orang-orang yang didahulukan kenikmatan didunia.” Begitulah watak para nabi dalam kehidupan mereka. Mereka tidak
meninggalkan warisan untuk para putranya, karenanya Rasulullah berkata, “Kami
sekalian para nabi, tidak mewariskan, dan apa yang kami tinggalkan adalah
sedekah.”
Karen
Amstrong menjelaskan bahwa, Nabi
Muhammad menjalani kehidupannya sangat bersahaja dan sederhana. Meskipun dia
telah menjadi pemimpin yang paling berpengaruh di tanah Arab, dia tak pernah
memiliki lebih dari satu setel pakaian. Bahkan dia menjahit sendiri pakaian dan
sandalnya yang robek. Dia memilih pakaian dari bahan sederhana seperti dipakai
kebanyakan orang. Bila dia mendapat hadiah, dibagi-bagikan semuanya kepada kaum
fakir miskin dan anak yatim. Seperti Nabi Isa, dia sering mengatakan kepada umatnya
bahwa orang-orang miskin akan memasuki surga lebih dahulu daripada orang kaya.
Nabi
Muhammad mengajak umatnya mendekat-kan
diri kepada Allah, tetapi tidak boleh melupakan kebahagiaan mereka di dunia.
Mereka sangat dianjurkan berbisnis dan berpetualang, tetapi tidak boleh lupa
beribadah kepada Allah. Mereka boleh memiliki harta kekayaan yang melimpah,
tetapi wajib mengeluarkan zakat dan disunnahkan bersedekah. Mereka sangat
dianjurkan berumah tangga dan bersikap lemah-lembut terhadap anggota keluarga
mereka. Mereka hendaknya mengerjakan urusan dunia seolah-olah mereka akan hidup
selamanya, dan mengerjakan urusan akhirat seolah mereka akan mati esok hari.
Agar Derita Menuai Bahagia
• Sesuaikan
antara kebutuhan dan kemampuan kita. Jangan sampai terjadi besar pasak daripada
tiang (Keinginan segudang, tetapi pemasukan seuprit).
• Apabila
mempunyai suatu keinginan. Tanyailah dirimu, “Apa benar-benar membutuhkannya?”
Jangan-jangan hanya karena terbawa emosi melihat tetangga sebelah membeli
barang mewah kita ikut-ikutan kepingin beli barang tersebut.
• Dahulukan
kepentingan pokok daripada kebutuhan sekunder.
• Sepotong
roti, segelas air, dan selembar kain yang diperoleh dengan jalan halal, lebih
baik daripada hidup mewah yang kemudian jadi penyesalan. (Imam
Abu Hanifah)
• Bertanggungjawablah atas keuangan anda
atau hanya menerima nasib sepanjang hidup anda. Anda bisa menjadi tuan atas
uang atau budak terserah anda untuk memilihnya. (Robert
T. Kiyosaki)
Post a Comment