“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada diri kamu melainkan telah tercatat dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah sangat mudah. Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
(QS. al-Hadîd (besi) [57]:22-23)
Ketika kita terperosok ke dalam lubang kelam pen­de­ritaan, ke­­nes­tapaan, kepapaan, semua itu ada­lah bagian dari proses meta­morfosis per­tum­buhan menuju kesempurnaan (insan ka­mil). Hellen Keller mengatakan, “Penderitaan adalah sa­­tu karunia terbesar dalam kehidupan umat manusia. Ha­nya de­­ngan penderitaan kita dapat menjadi insan yang sa­­bar, pe­ka, dan tangguh. Allah telah menganugerahkan ki­ta du­nia yang pe­nuh de­ngan penderitaan, tapi Dia juga te­lah meng­anu­ge­rah­kan ba­nyak jalan untuk menghadapi penderitaan itu.”
Kita bukanlah hewan peliharaan seperti seekor burung yang di tempatkan dalam sangkar emas, selalu diberi makan, di­ra­wat dengan telaten serta di jaga sedemikian rupa. Sehingga ki­ta selalu berada dalam kenyamanan dan kenikmatan. Sebalik­nya, kita hidup di alam bebas, lepas serta luas. Di alam bebas kita mengalami berbagai gejolak psikologis; gembira, sedih, ba­ha­­gia, menderita, senang, merintih, tertawa, menangis, terse­nyum, marah, dan benci. Semua itu adalah bagian dari proses pe­matangan kepri­badian.
Di dunia ini tidak ada yang abadi. Kebahagian, kesedihan, ke­gem­biraan, tangisan akan selalu berganti dan semua itu pas­ti berlalu. Jadi, ketika kita berada dalam kebahagian. Ber­ba­ha­gialah yang sewajarnya tidak perlu berlebihan karena ia pasti berlalu dan ketika kita berada dalam kesedihan, ja­nganlah larut dalam emosi kenestapaan, karena ia pasti ber­lalu. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad sebaik-baik urus­an adalah pertengahan. Seandainya saat ini kita berada da­lam suasana bahagia, maka berbahagialah yang sewajarnya dan kalau kita berada dalam suasana duka, bersedihlah yang pro­por­sio­nal. Nabi Muhammad saja menitikkan air mata kesedihan ketika putranya Ibrahim menghembuskan nafas terakhir.
Ketika Allah yang Maha baik itu menurunkan penderitaan be­rupa kesulitan dan kesusahan hidup kepada kita, peristiwa itu adalah upaya Allah mendorong kita agar terus tumbuh dan berkembang menuju kematangan pikiran, jiwa, dan raga. Ke­ba­nyak­an kita tidak memperdulikan pelajaran itu, sehingga kita men­jadi orang yang gagal. Penderitaan sangat menyakitkan ka­­lau kita terus-menerus mengutuknya. Sebaliknya menjadi me­nyenangkan bila kita menerimanya dengan ikhlas, seraya men­cari solusi terbaik. Sebagaimana yang diungkapkan Hellen Keller, “Kebahagian tidak mungkin diperoleh dengan jalan mudah serta berpangku tangan. Hanya melalui proses pen­deritaan dan kesedihan,emosi akan dikuatkan, visi akan dijer­nihkan, dan Kebahagian akan direngkuh.”
Namun anehnya, walaupun kita berkali-kali terperosok ke da­lam lubang penderitaan yang sama, tetap saja kita kurang peka dan jeli dalam mengambil pelajaran dari kejadian itu. Ter­ka­dang kita lebih bodoh dari hewan, keledai saja tidak akan ter­pe­rosok kedua kali dalam lubang yang sama. Sebagaimana sab­da Rasulullah, “Orang yang beriman itu tidak akan ter­pe­ro­sok ke dalam satu lubang dua kali.” (HR. Ibnu Majah). Me­nyedihkan lagi, hanya karena masalah yang tidak prinsip se­perti: Si A ditinggal pacarnya, Si B tidak mampu bayar uang ujian, Si C tidak dibelikan motor oleh orang tuanya nekad meng­akhiri hidupnya. Ini merupakan contoh buruk dari orang-orang yang tidak sabar menjalani proses hidup.
Pada masa kanak-kanak saya mempunyai dua orang sahabat. Sa­lah seorang diantara keduanya sebut saja si A. Si A terlahir dalam keluarga miskin. Pada usia tujuh tahun kedua orang tua­nya meninggal dunia. Si A kecil terpaksa menghidupi diri­nya dengan bekerja apa saja. Intinya perjalanan hidupnya sulit dan menyakitkan. Sedangkan sahabat saya yang lain sebut saja Si B, ia terlahir dalam keluarga yang berkecukupan. Ia meng­habiskan masa kanak-kanaknya hampir tidak pernah meng­ala­mi kesulitan dengan keuangan.
Seiring perjalanan waktu rupanya ada benarnya ungkapan ke­hidupan di dunia ini laksana roda yang berputar. Sahabat saya Si A, yang selalu berlayar di air bergelombang dan ber­ge­jolak. Kondisi air yang bergejolak serta bergelombang itu, memaksa ia memeras pikiran, emosi, jiwa dan raganya un­tuk menemukan penyelesaian dari setiap masalah yang me­nim­pa­nya. Sesekali ia terhempas ombak dan badai, tapi lama ke­la­ma­an ia terbiasa akhirnya menjadi pelayar tangguh.
Sedangkan teman saya Si B. Ia berlayar di perairan comfort zo­ne (kawasan aman resiko). Sebuah kondisi yang tidak me­nun­tut dirinya bekerja keras dan tidak adanya tantangan yang berarti, menjadikan dia pelayar yang lamban dan tidak kreatif. Mungkin akibat sudah lama ternina bobokan dalam ke­nyamanan hidup sehingga menjadi lamban dan kurang peka menangkap peluang untuk memasuki wilayah baru.
Terkadang sebagian orang tua beranggapan bahwa me­man­jakan anak dengan kemewahan adalah sebagai bentuk ka­sih sayang terhadap buah hatinya. Padahal tidak sedikit dari anak-anak yang terpenuhi secara ekonomi itu terjerumus da­lam dunia narkoba. Di samping itu cara orang tua kaya me­man­jakan anaknya dengan kemewahan. Menjadikan si anak ber­men­tal kerupuk, memiliki daya juang yang lemah serta mudah me­nyerah dan putus asa
Si A kecil dengan segala keterbatasan dan gejolak hidup yang dia alami, telah menjadikan ia manusia tangguh yang berujung pada sebuah kesuksesan. Dengan segala keter­ba­tasannya, ia akhirnya berhasil menyelesaikan studinya di uni­ver­sitas cu­kup bergengsi. Padahal sebagian besar orang di kampungnya tidak sanggup melakukannya, meski pun mereka memiliki orang tua dan keuangan yang memadai. Salah satu faktor ke­na­pa Si A kecil mampu merengkuh kesuksesan karena ia me­warisi psikologi orang miskin. Menurut psikolog, “orang mis­kin memiliki motivasi untuk berprestasi jauh lebih besar ketim­bang mereka yang hidup serba berkecukupan dan selalu mem­peroleh proteksi dari orang tua.”
Saya tidak ingin mengatakan, bahwa untuk menjadi manu­sia tangguh kita harus berlayar di air bergelombang dan ber­ge­jo­lak- dalam artian tertimpa musibah terlebih dahulu baru kita berjuang keras. Tidak mesti begitu. Namun terkadang kita per­lu musibah untuk mengubah pola pikir, gaya hidup, dalam ber­gaul dengan sesama. Seperti yang dituturkan Muhammad Iq­bal, “ketegangan membuat orang lebih kreatif dan produktif. Ka­re­na ketidak pastian adalah bagian dari kesenangan.”
Penderitaan dan Metamorfosis Pertumbuhan
•    Ketika Allah yang Maha baik itu menurunkan penderitaan berupa kesulitan dan kesusahan hidup kepada kita. Peristiwa itu adalah upaya Allah mendorong kita agar terus tumbuh dan berkembang menuju kematangan pikiran, jiwa, dan raga.
•    Kebahagiaan tidak mungkin diperoleh dengan jalan mudah serta berpangku tangan. Hanya melalui proses penderitaan dan kesedihan, emosi akan dikuatkan, visi akan dijernihkan, dan Kebahagian akan direngkuh. (Hellen Keller)
•    Kebahagiaan kita dambakan, namun seringkali kita ga­gal me­ngam­bil pelajaran dari peristiwa itu. Kesedihan me­nya­kit­kan, na­mun seringkali kita berhasil memetik  pelajaran da­ri peristiwa itu, sehingga kita dapat menjadikan hidup ini lebih ber­makna dan berarti. Seperti yang dituturkan Mu­ham­mad Iqbal, “Ketegangan membuat orang lebih kreatif dan pro­duktif. Karena ketidak pastian adalah bagian dari ke­senangan.”

Post a Comment

 
Top