“Dan (ingatlah kisah) Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya: ‘(Ya Tuhanku) sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang.’ Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (QS. al-Anbiyâ’ (Nabi-Nabi) [21]: 83-84)

Figur seorang entrepreneur konglemerat beriman. Dia me­mi­liki keluarga besar yang sangat har­mo­nis, tanah puluhan hek­tar lebarnya, hewan ter­nak­nya ratusan ekor jumlahnya. Namun semua ke­nik­matan yang didamba-dambakan setiap ma­nu­­sia itu dicabut Allah. Allah menggantinya dengan musibah pe­­nyakit puluhan tahun yang harus ditanggungnya. Keluarga yang ia cintai satu-persatu menghadap keharibaan Ilahi Rabbi. Bu­ngalo super lux yang ia tempati hancur berkeping-keping. Se­hing­ga tidak ada lagi yang tersisa kecuali kemiskinan dan kepapaan.
Semua kelezatan duniawi yang menyilaukan bagi sebagian orang itu, Allah ambil semuanya, nyaris tak tersisa. Padahal Na­bi Ayub adalah sosok manusia yang tidak diragukan lagi ke­taatannya dalam beribadah kepada Allah. Setelah seluruh aset kekayaannya tidak ada lagi yang tersisa, Allah kembali menguji ketaqwaan Nabi Ayub dengan penyakit menahun serta satu persatu anggota keluarganya menghadap keharibaan Ilahi Rabbi. Sungguh merupakan suatu cobaan yang teramat sulit dan menyakitkan. Nabi Ayub harus menaklukkan egonya, dia harus sabar, tabah dan ikhlas menerima cobaan dari Allah tersebut.
Bagaimana kalau musibah ini menimpa saya dan anda? Masihkah kita mampu bersyukur dan tidak buruk sangka pada ketentuan Allah? Mungkin saja sebagian dari kita mampu mengatasi semua musibah yang teramat sulit ini. Namun mungkin sebaliknya tidak sedikit di antara kita, bila tertimpa musibah seperti yang dialami Nabi Ayub, kita putus asa, rapuh, meratap, dan menyesali apa yang terjadi.
Nabi Ayub adalah insan teladan yang memiliki kesabaran tinggi dan keihklasan yang sempurna dalam menghadapi musibah kehidupan. Meskipun dia menghadapi berbagai bentuk cobaan dan makian dari tetangganya, dia tetap berbaik sangka pada ketentuan Allah, bersikap baik pada sesama, membantu anak-anak yatim, janda-janda serta suka menghormati tamu.
Selama delapan puluh tahun Nabi Ayub hidup bahagia, dan delapan belas tahun menderita sakit. Istrinya meminta Nabi Ayub agar memohon kepada Allah untuk mengangkat penyakitnya, tapi Nabi Ayub malah berkata, “Aku malu pada Tuhan yang telah memuliakan aku selama delapan puluh tahun. Mengapa aku tidak sabar menjalani sakit yang hanya delapan belas tahun?” Sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Anbiya [21]: 83, “Dan ingatlah kisah Nabi Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Nabi Ayub tidak bermohon agar kesulitannya dihapuskan, karena beliau menyadari bahwa ujian dan cobaan adalah salah satu wujud pematangan kepribadian dan cara Allah mengajarkan makna kesabaran kepada hamba-Nya. Nabi Ayub hanya melanjutkan munajatnya dengan menyebut sifat Allah, “Demikianlah keadaanku Wahai Dzat yang Maha Kasih sedang Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Karena itu Wahai Tuhanku karuniakanlah aku sesuai kebesaran, ketulusan, dan keindahan kasih-sayang-Mu.”
Allah merespon doa Nabi Ayub tersebut dengan me­me­rintahkan dia menghentakkan kakinya, lalu dari situ me­mancarlah mata air. Allah memerintahkan Ayub meng­gu­na­kannya untuk diminum dan mandi (QS. Shad [38]:42). Secara Perlahan-lahan hilanglah luka dan penyakitnya, kemudian kesehatan, dan kebugarannya pulih kembali. Setelah beberapa tahun kemudian, Nabi Ayub terlihat lebih gagah dan kaya dari sebelum mendapat musibah. Demikian juga keturunannya, lebih banyak yang semuanya tunduk, patuh, serta berbakti kepada Allah. (QS. al-Anbiya [21]: 84).
 Subhanallah, Jauh di lubuk hati terdalam mungkin kita tertegun sejenak dan kehabisan kata-kata karena tidak sanggup melukiskan kisah mengharu-biru setiap kali mengenang rangkaian ujian keimanan yang ditimpakan kepada Nabi Ayub, sejak ditimpa penyakit menahun sampai seluruh aset k­e­kayaan serta anggota keluarganya terlepas dari dekapannya.
Di dalam al-Qur’an Allah menyatakan bahwa manusia itu suka berkeluh kesah. Sebagaimana yang disinyalir al-Qur’an: “Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.” (QS. al-Ma’ârij (Tempat-Tempat Naik) [70] :20). Allah mengabadikan kisah Nabi Ayub dalam al-Qur’an bermaksud agar umat manusia tidak larut dalam keluh kesah ketika ditimpa musibah dan cobaan. Namun sangat disayangkan spirit dan maknanya seringkali tertinggal di rak-rak buku pada akhirnya menjadi lapuk dimakan zaman. Melalui kisah kehidupan Nabi Ayub dan keluarganya, kita diberi pelajaran bagaimana tetap tersenyum merona sekalipun langit akan runtuh esok hari.
Sepanjang detak jantung kehidupan masih mengalir, perjalanan hidup kita akan selalu diwarnai berbagai macam bentuk penderitaan. Apabila kita berhasil memetik pelajaran dari setiap penderitaan tersebut, maka kita akan hidup bahagia menuju keabadian. Sebaliknya, apabila kita gagal memahami dan mengambil saripati pelajaran dari penderitaan yang kita alami, maka kita tergolong orang yang bangkrut, dan itu adalah kerugian yang sebenarnya. Pepatah mengatakan, ”If God close the door, He will open the windows.” Jika Allah menutup pintu, Ia akan membuka jendela. Sebagaimana dalam surat al-Baqarah dikatakan, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. al-Baqarah [2]: 286). Bahkan Allah memberikan jalan keluar sehingga kita bisa mengatasi setiap kesulitan dan penderitaan.

Tiuplah Awan Kelabu yang Menaungimu
•    Allah mengabadikan kisah Nabi Ayub dalam al-Qur’an ber­mak­sud agar umat manusia tidak larut dalam keluh kesah ke­tika ditimpa musibah dan cobaan.
•    Melalui kisah Nabi Ayub, kita dapat bercermin bahwa pada sa­at kita tertimpa musibah, seberat apapun hendaknya kita te­tap bersabar serta tidak putus asa dengan adanya rahmat, per­tolongan, dan ampunan Allah.
•    Dengan berbekal keyakinan akan adanya rahmat dan am­pun­­an Allah, Insyaallah, kita akan selalu optimis dalam me­­­nembus pekatnya kabut kehidupan. Serta dengan izin Allah kita akan dapat meraih puncak prestasi di dunia dan ak­hi­rat seperti yang Allah anugerahkan kepada Nabi Ayub.


     “Betapa aneh dan ironisnya, bila si kura-kura lamban yang kau kasihi, bukan si tumpul pikiran. Begitu juga bila si buta penglihatan dan bukan si buta mata hatinya.”
Kahlil Gibran

Post a Comment

 
Top