A.      Jihad dalam Dakwah tidak Menyoal Kekerasan Pisik
Sejarah umat Islam penuh dengan peperangan, khususnya melawan pasukan Romawi, Mongol, Pasukan salib klasik dan modern, maka tidak mengherankan jika syari’ah Islam dan kaum Muslimin menjadi sasaran tuduhan dari kalangan non-Muslim, khususnya kaum orientalis- yang menulis tentang institusi jihad. Tuduhan paling populer dalam hal ini adalah bahwa Islam disiarkan dengan kekuatan pedang; pedang jihad Islam, meminjam istilah Mac Donal, D.B (1863-1942), “Penyebaran Islam dengan pedang adalah kewajiban kolektif bagi semua Muslim.”[1]
Sebab munculnya tuduhan ini- jika ditanggapai dengan niat baik adalah adanya kerancuan antara penggunaan pedang perang dalam menegakkan negara dan penggunaan pedang jihad untuk menyebarkan dan menegakkan Agama. Kaum Muslimin- sebagaimana dapat ditemukan dalam realitas sejarah, telah mengalahkan beberapa negeri dan memasukkannya ke dalam wilayah negara Islam dengan kekerasan atau dengan damai. Dengan demikian mereka membebaskan negeri-negeri Timur dari gelombang serbuan Barat- yang diwakili oleh Imperium Romawi, sehingga kekuatan pedang telah digunakan dalam menegakkan negara. Akan tetapi apakah pedang digunakan dalam menyebarkan Agama?[2]
Di sini, terdapat realitas pemikiran yang menjadi ciri khas Islam,yaitu realitas pembebasan dhamir (hati) oleh Islam untuk beriman atau kafir, dengan kebebasan dan pilihan tanpa paksaan. Sebagaimana yang dikemukakan Allah dalam al-Qur’an Surah, Yunus [10]: 99-10 sebagai berikut;

 “Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. (QS. Yunus [10]: 99-10)

Dalam Al-Qur’an Surah, al-Ghasyiyah [88]: 21-22 dijelaskan;
 “Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. al-Ghasyiyah [88]: 21-22).
Realitas pemikiran ini telah mengacu pada realitas alamiah yang muncul dari konsep dan makna iman dalam Islam. Sebab, iman adalah membenarkan dalam hati yang mencapai tingkat yakin. Dari sana lalu tidak mungkin memperoleh dan memiliki keyakinan dengan cara paksa. Paksaan seringkali membuahkan kemunafikan (membungkus kekafiran dengan kain iman) akan tetapi tidak menimbulkan iman yang murni di hati semata karena Allah, yang merupakan hakekat iman dalam tradisi Islam, yang dengan meminjam kata-kata Muhammad Abduh, “Tekanan tidak membuahkan iman dan paksaan tidak memberi pengaruh pada Agama.”[3] 
Hakikat pemikiran Islam ini tidak hanya sikap teoritis saja bagi kaum Muslim, melainkan telah dipraktikkan dan dilaksanakan dalam kehidupan, tidak hanya memberi kebebasan bagi Ahlul Kitab untuk tetap pada Agama dan aturan syariat mereka di dalam Negara Islam, bahkan bukti sejarah menunjukkan bahwa Agama Islam tetap menjadi minoritas di negara yang dikuasai oleh kaum Muslimin selama berabad-abad. Tidak dibantah bahwa kekuatan pedang telah digunakan- dalam banyak kasus- untuk menegakkan negara, akan tetapi rakyat negara tersebut yang terdiri dari non- Muslim, tetap pada agama lamanya selama beberapa abad, hingga mereka masuk Islam dengan kesadaran sendiri secara bertahap.[4]


[1] Muhammad ‘Imara, Ma’rakatul Mushthalahat baina al-Gharbi wal Islami, terj. Musthalah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, Cet. I, 1998), hal. 208.
[2] Ibid., hal. 208.
[3] Ibid., hal. 210.
[4] Ibid., hal. 210

Post a Comment

 
Top