BAB III
Hikmah Dibalik Kisah Nabi Ya’qub

A.      Hikmah Nabi Ya’qub tidak menceritakan takwil mimpi Yusuf dan Kedekatan Nabi Ya’qub dengan Yusuf.
Hikmah mengapa Nabi Ya’qub tidak menceritakan takwil mimpinya Yusuf. Seandainya dia ceritakan, maka- sedikit demi sedikit- anaknya (Yusuf) akan dihinggapi perasaan sombong dan tinggi hati. Padahal, dia masih kecil dan itu tidak baik dalam membentuk jiwa dan mentalnya. Karena itu, dia membiarkan anaknya menghadapi takdir-takdir Allah dengan penuh kerelaan, ketabahan, kegigihan, dan kerja keras.[1]
            Hikmah lainnya adalah sikap seorang anak kepada ayahnya. Bagaimana Yusuf memanggil ayahnya ketika akan menceritakan mimpinya itu? Yusuf berkata, “Ayahanda.” Hal ini menunjukkan kedekatan hubungan anak dengan orang tuanya. Ketika ada masalah, dia menemui ayahnya dan menceritakan masalah itu kepadanya. Dia ingin bimbingan dan arahan darinya.[2]
Barangkali, hal itu sangat sulit dilakukan di zaman sekarang. Banyak anak-anak tidak dekat dengan orang tuanya. Ini salah satu problem yang dihadapi oleh orang tua dan anak-anak. Adakah anak-anak yang datang kepada ayahnya menceritakan permasalahan yang dihadapi? Kalaupun ada, jawaban yang diterima sering kali menyakitkan. Mengapa? Karena ayahnya sibuk dengan pekerjaannya, ayahnya tidak pernah di rumah, ayahnya sibuk menimbun harta kekayaan. Seorang ayah menganggap, masalah anak-anak adalah nomor sekian untuk dipikirkan. Sikap inilah yang pada akhirnya menimbulkan jarak antara keduanya. Anak-anak lebih senang mencurahkan perasaan, mengungkapkan permasalahan kepada sahabat-sahabat mereka ketimbang ayah mereka. Oleh karena itu, tidak ada yang lebih penting kecuali menciptakan hubungan yang hangat, terbuka, dan komunikatif antara ayah dengan anaknya.[3]

B.       Menghindari Rasa Cemburu yang Berlebihan
Rasa cemburu yang berlebihan dan tak dapat dikendalikan bisa menjadi faktor yang sangat berbahaya dalam menghancurkan sebuah keluarga. Rasa cemburu ini dapat menghinggapi siapa saja. Suami cemburu pada istri atau sebaliknya, kakak cemburu pada adik atau sebaliknya dan seterusnya. Seorang yang merasa cemburu cenderung akan berusaha melampiaskan perasaannya dengan berbagai cara meskipun akan membahayakan jiwa saudaranya sendiri.
Dalam kisah keluarga Nabi Ya’qub di atas, rasa cemburu telah menjerumuskan saudara-saudara Yusuf ke dalam lingkaran dosa yang panjang; mereka tega mencelakakan saudara sendiri, melanggar janji mereka semula untuk menjaga Nabi Yusuf, berbohong kepada ayah mereka dengan mengatakan bahwa Yusuf diterkam serigala dan seterusnya. Seorang ayah mesti menyikapi perasaan cemburu diantara anak-anaknya dengan baik dan penuh bijaksana.
Sikap yang dipilih oleh Nabi Ya’qub menghadapi anak-anaknya yang dihinggapi perasaan cemburu yang berlebihan itu adalah bersabar. Beliau hanya mengatakan: fashabrun jamiil (maka sabarlah yang lebih baik). Seandainya Nabi Ya’qub mengusir anak-anaknya yang telah menyia-nyiakan putra kesayangannya, tentu hal itu bukan sebuah solusi bijak dalam mendidik mereka, karena akhirnya mereka akan semakin lari atau bahkan membenci ayah mereka sendiri.

C.       Pelajaran dari Keimanan Nabi Ya’qub
Iman kepada Allah mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam jiwa manusia yang mengakibatkan semakin tabah menghadapi musibah dan semakin tenang dalam menghadapi tempaan kesulitan dan ketakutan. Inilah contoh kehidupan Ya’qub yang hidup dalam rangkaian cobaan kepedihan dalam menghadapi ulah putra-putranya terhadap saudara-saudaranya sendiri, Yusuf dan Bunyamin. Ketika itu datanglah berita tentang hilangnya anak yang paling disayangi, Yusuf, yang dikatakan telah dimakan serigala.
Tergambar betapa pedihnya peristiwa yang menimpa dan melukai jiwanya. Akan tetapi, apakah jawaban Ya’qub dalam menghadapi musibah itu. Kita tahu bahwa Ya’qub menunjukkan bahwa dirinya hanya memohon pertolongan Allah dalam menghadapinya. Dia sabar dalam menghadapi bahaya, namun kesabaran yang manakah yang dilakukan Ya’qub? Kesabaran yang dimaksud adalah kesabaran yang baik, yakni kesabaran-kesabaran yang tidak dibarengi kegelisahan dan rintihan kesedihan. Kita ketahui ia mengucapkan perkataan yang menakjubkan, “Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah yang kumohon pertolongan-Nya terhadap apa yang engkau ceritakan. Sebagaimana yang tergambar dalam ayat berikut ini;
“...Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku. dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”
(QS. Yusuf [12]: 18)
Sebagaimana yang kita ketahui, Ya’qub adalah seorang Mu’min yang mempunyai ketabahan iman. Dia hanya  menyandarkan diri kepada inayah Allah dalam menghadapi musibah dengan penuh kepercayaan dan keyakinan. Terutama ketika anak-anaknya meminta agar Bunyamin diperkenankan untuk diajak bersama pergi ke Mesir. Kepergian mereka itu merupakan musibah bagi dirinya, lantaran ia khawatir terhadap perbuatan mereka dan bersedih atas perpisahan dengan Yusuf. Apakah gerangan jawaban Ya’qub atas permintaan itu? Jawabannya, tidak lain adalah kalimat-kalimat yang terpancar dari keimanan-keimanan yang kokoh, penuh kepercayaan tentang keadilan Allah, dan rahmat-Nya  ketika menyetujui untuk melepas Bunyamin pergi bersama saudara-saudaranya. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat Al-Qur’an berikut ini; 
Ya'qub menjawab, “Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya.”
(QS. Yusuf [12]: 86)
Kalimat ini menunjukkan kedalaman makna-makna iman dan ketangguhan menghadapi musibah-musibah yang biasanya bisa melenyapkan sikap benar atau kesedihan yang lebih fatal. Akan tetapi, Ya’qub hanya mengatakan kepada mereka. “Aku hanya mengadukan kesedihan kepada Allah.” Maksudnya aku mengadukan kesedihan yang hebat kepada Allah semata. Dialah yang Maha Penyayang dan Maha Kuasa melenyapkan kesedihanku, saya tidak mengadu kepada hamba-hamba Allah yang tidak mempunyai daya dan kekuatan menghadapi perputaran kekuatan Allah di dunia ini. 
Akhirnya kita mengetahui bahwa Ya’qub adalah salah seorang Mu’min yang tak kenal putus asa, penuh harapan masa mendatang yang dapat dibuktikan ketika ia menyuruh anak-anaknya untuk mencari Yusuf dan Bunyamin. Dia berkata, “Hai anak-anakku, pergilah kamu maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan ayat Al-Qur’an berikut ini;
Hai anak-anakku, Pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
(QS. Yusuf [12]: 87)

Berdasarkan ayat ini, Ya’qub memberikan batasan bahwa seorang Muslim itu tiada  putus asa dalam mengharap rahmat Allah. Sebab, putus asa adalah kufur terhadap nikmat hidup dan pencipta-Nya, karena Allahlah yang memberi hidup manusia lemah dalam menghadapi perjalanan hidupnya. Berarti, iman adalah lawan tangguh keputus asaan. Jadi, cita-cita dan harapan kepada rahmat Allah harus tetap ada walaupun keaadaan telah begitu parah dan masa depannya tampak gelap. Ingatlah, sesudah kesulitan itu akan tiba kemudahan, dan kesengsaraan itu pun akan berganti dengan kebahagiaan.

A.      Bukti Ke-Esaan Allah
Al-Qur’an dalam menuturkan riwayat para Nabi dan Rasul yang diutus memberi hidayah kepada manusia, menjelaskan bahwa dalam menasihati dan berdakwah untuk meng-Esakan Allah dan melarang berbuat musyrik kepada kaum mereka masing-masing. Kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an adalah merupakan wasilah untuk menanamkan Tauhid ke dalam jiwa-jiwa umat manusia dan menghilangkan semua bentuk kepercayaan lain yang dapat mengurangi kemurnian Tauhid. Hal itulah, yang dilakukan Nabi Ya’qub tatkala ia mengingatkan anak-anaknya untuk selalu taat beribadah dan menyembah Allah semata. Sebagaimana terlukis dalam ayat Al-Qur’an berikut ini;
“Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab, "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
(QS. al-Baqarah [2]: 133)

Hal senada juga dikemukakan Yusuf ketika menasihati orang-orang yang berada dalam penjara, “Dan aku mengikuti agama-agama bapak-bapakku, yaitu Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah. Yang demikian itu adalah karunia Allah kepada kami dan kepada manusia (seluruhnya). Tetapi kebanyakan manusia itu tidak mensyukurinya. Sebagaimana yang tergambar dalam ayat Al-Qura’an berikut ini;
Dan aku pengikut agama bapak-bapakku Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada Kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).
Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang Nama-nama itu. keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

(QS. Yusuf [12]: 38-40)


Daftar Pustaka

Afif Abdu Al-Fatah Thabbarah, Ma’a Al-Anbiya fi Al-Qur’ani Al-Karim, terj. Tamyiez Dery dkk, Semarang: Toha Putra, Cet. I, 1985

 Ash-Shabuni,Muhammad, Ali, an-Nubuwwah Wal An-Biya, terj. Muslich Shabir, Semarang: CV. Cahaya Indah, Cet. I, 1994

Az-Zain, Muhammad Basam Rusydi, Madrasatul Anbiya ‘Ibar wal Adhwa, terj. Fadhilah Ulfa, Vol, 2, Yogyakarta: Cet. I, 2007

Khalid, Amru, Qira’ah Jadidah wa Ru’yah fi Qishash al-Anbiya,  terj. Tim Embun Publishing, Surabaya: Embun Publishing, Cet. I, 2007

Mujieb, Abdul, Qishashul Anbiya dalam al-Qur’an, Surabaya: PT. Bungkul Indah, 1985
Rafi’udin, Lentera Kisah dua puluh lima Nabi dan Rasul, Jakarta: Kalam Mulia, Cet. I, 1997

Post a Comment

 
Top