![]() |
Sumber Gambar: |
“Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”
(An-Nisa, [4]:77-78)
Abdullah
Ibn Khudzafa adalah komandan yang gagah berani. Saat pasukan Muslim harus
berhadapan dengan imperium Romawi yang kuat, Abdullah Ibn Khudzafah dipercaya
menjadi komandan.
Dengan
kepemimpinan yang baik, Abdullah berhasil membawa pasukannya menerobos ke
jantung pertahanan musuh. Tapi malang, beberapa orang di antara mereka, bahkan
termasuk Abdullah sendiri, tertangkap dan dibawa ke hadapan Kaisar Romawi.
“Setengah
kekayaanku akan jadi milikmu asalkan Tuan meninggalkan Islam dan bergabung
bersama dengan kami,” ujar kaisar.
“Jangankan
hanya setengah kekayaanmu, tambah lagi dengan semua kekayaan Arab, takkan
membuat aku keluar dari Islam,” jawab Abdullah.
“Kalau
begitu kau akan kubunuh! Ancam Kaisar Romawi berang.
“Mati
jauh lebih baik bagiku,” jawab Abdullah Ibn Khudzafah.
Kaisar
pun kemudian menyuruh menyalib Abdullah. Seregu pemanah jitu lalu disiapkan.
Tapi ketika aba-aba diberikan, tidak satupun anak panah meluncur. Mereka segan
membunuh orang berjiwa kstaria itu. Abdullah lalu diturunkan dari puncak kayu
salib.
Kini
kaisar menyuruh orang menjerang air dan memerintahkan kaum Muslimin yang
ditangkap bersama Abdullah memandikannya dengan air mendidih itu. Maka kaum
Muslimin itupun menangis. Ketika kaisar bertanya mengapa mereka menangis, kaum
Muslimin itupun menjawab bahwa mereka ingin seperti Abdullah, mati syahid di
jalan Allah.
Abdullah Ibn Khudzafa adalah salah satu figur yang mampu
tersenyum bahagia meskipun harus mati diguyur air mendidih, hal ini menandakan
bahwa dia telah mengetahui secara mendalam makna dan hakikat kematian. Orang
yang takut menghadapi kematian adalah orang yang tidak mengetahui ke mana ia
akan pergi, atau dia menduga bahwa dia akan punah dengan kematian, dan kematian
mengakibatkan rasa sakit yang berbeda dengan rasa sakit yang dikenal atau
didengar bahkan dialami selama ini. Bisa jadi juga karena yang bersangkutan
sedih dan takut meninggalkan keluarganya atau menghadapi siksa Allah.
Sebagian
dari penyebab takut di atas tidak memiliki dasar- karena kematian pada
hakikatnya serupa dengan tidur, ia nyaman, kecuali jika ada faktor lain yang
menyebabkan tidak nyaman. Arah yang dituju pun jelas. Kita kembali kepada
Allah, yang rahmat-Nya melimpah bahkan mengalahkan amarah-Nya. Kematian hanya
mengakibatkan kepunahan. Kematian hanya mengakibatkan tidak berfungsinya
organ-organ tubuh, tidak ubahnya seperti seorang tukang yang tidak menggunakan
alat-alat profesinya.
Takut
mati karena khawatir menyangkut nasib keluarga, juga tidak perlu terlalu
dirisaukan. Sekian banyak anak yatim, setelah ditinggal ayah bundanya, yang
hidup sejahtera. Takut yang berkaitan dengan ini adalah takut yang berada dalam
wilayah “mungkin”.
Yang
merisaukan, dan yang wajar ditakuti adalah takut pada siksa Allah setelah
kematian, karena ketika itu sangat dikhawatirkan jangan sampai segala upaya
untuk menyingkirkan bahaya itu, tidak lagi dapat dilakukan bukan karena pintu
taubat telah tertutup, tetapi belenggu kebiasaan durhaka telah menyita seluruh
kesadaran untuk bertaubat. Itulah takut yang pada tempatnya.
Imam
Ahmad suatu kali pernah mengemukakan, “Andai saja kamu mengetahui, apa yang
engkau akan lihat saat kematianmu, tentulah engkau tidak akan memakan
segigitpun hidangan idamanmu, dan engkau tidak akan meminum lagi minuman lezat
untuk memuaskan rasa dahagamu yang tak terpuaskan”
Terapi Ketakutakan terhadap Kematian
Ibnu
Miskawaih menganalisa sebab-sebab ketakutan manusia terhadap kematian, dia
menyebutkan sebab-sebab itu sebagai berikut;
1. Tidak mengetahui hakikat kematian.
2. Tidak mengetahui nasib jiwa setelah mati.
3. Menduga bahwa jika badan rusak dan susunannya
hancur, maka zatnya akan hancur dan jiwanya akan rusak; serta dugaan bahwa alam
akan selalu abadi, sedangkan ia tidak berada di dalamnya.
4. Dugaan bahwa kematian adalah penderitaan besar
yang berbeda dengan penderitaan sebelumnya dan yang menimbulkan kematian.
5. Kepercayaan bahwa ia akan mendapatkan siksaan
setelah kematian.
6. Kebingungan dan ketidaktahuan atas apa yang akan
ia berikan setelah kematian.
7. Menyesali harta dan simpanan yang ia tinggalkan.
Semua
sebab itu adalah dugaan yang salah dan tidak benar, atau dugaan yang didasarkan
atas kebodohan. Maka, terapinya adalah dengan memberikan pengetahuan seputar
hakikat kematian:
1. Terhadap orang yang tidak memahami hakikat
kematian, kita menjelaskan kepadanya bahwa kematian tidak lebih dari proses
jiwa meninggalkan badan. Jiwa adalah substansi yang bersifat non fisik yang
berbeda dengan raga. Jika jiwa meninggalkan badan, maka jiwa tetap hidup
sebagaimana yang menjadi sifatnya; jiwa menjadi bersih dari noda, dan
memperoleh kebahagiaan akal.
2. Terhadap orang yang takut pada kematian karena
tidak tahu nasib jiwanya, atau karena ia mengira bahwa jika badan strukturnya
rusak dan hancur, maka zat dan jiwanya akan hancur dan rusak pula; tidak tahu
tentang keabadian jiwa; dan metode kembalinya jiwa, maka kita harus memberitahu
kepadanya tentang hakikat kematian, sebab orang semacam ini sebenarnya tidak
takut pada kematian, tetapi ia tidak tahu apa yang seharusnya ia tahu. Jadi,
kebodohan itulah yang ditakuti yang menyebabkan timbulnya ketakutan. Cara
membebaskan diri dari kebodohan ini adalah mengetahui bahwa jiwa merupakan
substansi yang bersifat fisik, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan, kembali
kepada malakutnya, dekat dengan Sang Pencipta, memperoleh kemenangan di sisi
Tuhan semesta alam, dan bercampur dengan ruh-ruh yang baik dari bentuk dan
jenis yang sama.
3. Terhadap orang yang mengira bahwa kematian
menimbulkan penderitaan yang luar biasa dan berbeda dengan penderitaan yang
kebetulan mendahului dan menimbulkan kematian, maka terapinya adalah dengan
menjelaskan bahwa dugaan itu salah. Sebab, kematian hanya terjadi pada orang
yang hidup. Orang yang hidup adalah yang menerima pengaruh jiwa, sedangkan
fisik yang tidak mengandung pengaruh jiwa tidak merasakan sakit dan
penderitaan. Jadi, kematian yang merupakan proses perpisahan jiwa dan badan
tidak mengandung penderitaan.
4. Terhadap orang yang takut pada kematian karena
hukuman yang dijanjikan untuknya setelah kematian, maka harus dijelaskan
kepadanya bahwa ia sebenarnya tidak takut pada kematian, tetapi takut pada
hukuman, hukuman hanya terjadi atas sesuatu yang abadi setelah badan mengalami
kehancuran. Jadi, ia sebenarnya tidak takut hukuman atas suatu dosa, maka ia
harus berhati-hati terhadap perbuatan dosa dan menjauhinya.
5. Orang takut pada kematian karena tahu apa yang
terjadi setelah kematian, maka sebab ketakutannya adalah ketidaktahuan.
Terapinya adalah mengetahui dan mempelajari perilaku jalan yang lurus yang
dapat mengantarkannya menuju kebahagiaan abadi.
6. Terhadap orang menganggap bahwa ia takut atau
bersedih karena keluarga, anak, dan hartanya yang ia tinggalkan serta menyesali
kenikmatan dan syahwat duniawi yang berlalu, maka ia harus mendapatkan
penjelasan bahwa kesedihan merupakan sikap yang terburu-buru terhadap
penderitaan dan sesuatu yang tidak menyenangkan serta mengurangi kesedihan.
Kemudian ia harus mengalami kehancuran dan tidak abadi, dan dijelaskan bahwa
semua itu menimbulkan nestapa besar terhadap keberadaannya dan duka lara yang
mendalam ketika kehilangannya. Oleh karena itu, para ahli hikmah menghinanya
dan berusaha mencapai nikmat yang abadi dan kekal.
Metode
terapi ketakutan terhadap kematian dari Ibnu Miskawaih adalah mengajarkan
tentang semua hakikat yang berkaitan dengan kematian, dimana ketakutan itu
sebenarnya merupakan dugaan-dugaan yang salah yang tidak memiliki kesahihan.
Atas dasar itu, Ibnu Miskawaih dianggap perintis terapi psikis
behavioral-kognitif sebagaimana halnya al-Kindi, yang telah melampaui para
psikolog terapi behavioral-kognitif modern sekitar sepuluh abad.
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan
ber-Islam.
(QS, al-Imran [3]: 102)
Ingatlah
maut dan kejadian setelahnya
Karena
tak seorangpun pun bebas darinya
Kejadian
itu menyingkap rahasia
Semuanya nyata dan bukan
impian dusta
Kuburan
bisa jadi lapangan surga
Tetapi ia juga bisa jadi
jurang neraka
Bila selama hidup kau
kerjakan kebaikan
Maka balasan Tuhan sangat
mengesankan
Namun
bila hidup dipenuhi perbuatan keji
Neraka waillah balasan
yang harus dicicipi
Sungguh bila kau tahu
kejadian setelahmu
Kau takkan pernah tertawa
dan menangis tanpa jemu
Al-Hafizh
al-Hakami
Post a Comment