A. Metode
Fenomenologi dalam Penelitian Agama
Agama adalah ekspresi simbolik yang
bermacam-macam dan juga merupakan respon seseorang terhadap sesuatu yang
dipahami sebagai nilai yang tidak terbatas. Ekspresi simbolik merupakan
karakteristik utama dalam memahami makna agama. Dengan demikian, tema pokok
penelitian ilmiah terhadap agama adalah fakta agama dan pengungkapannya atau
dalam bahasa sederhananya upaya menjadikan agama sebagai sasaran penelitian.
Data-data yang digunakan diperoleh melalui pengamatan terhadap kehidupan dan
kebiasaan keagamaan manusia ketika mengungkapkan sikap-sikap keagamaannya dalam
tindakan-tindakan seperti doa, ritual-ritual, konsep-konsep religiusnya,
kepercayaan terhadap yang suci dan sebagainya. Meskipun membicarakan hal yang
sama, berbagai disiplin mengamati dan meneliti dari aspek-aspek tertentu yang
sesuai dengan tujuan dan jangkauannya.
Persoalannya, agama tidak konstan
akan tetapi selalu menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, dalam arti
keduanya saling mempengaruhi. Sehingga menurut Taufik Abdullah, setidaknya
penelitian agama pada umumnya bermuara pada tiga poin utama, yaitu:
1.
Menempatkan agama sebagai doktrin yang berangkat dari
keinginan mengetahui esensi ajaran dan kebenaran agama, sebagaimana dilakukan
para mujtahid dan pemikir agama. Dalam hal ini kajian didalamnya adalah
ilmu-ilmu keagamaan atau juga perbandingan agama (religionwissenschaft)
2.
Memahami struktur dan dinamika masyarakat agama,
dimana agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan
hidup yang diikat oleh keyakinan akan kebenaran hakiki yang sama dan
memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang juga sama. Sehingga,
meskipun berasal dari suatu ikatan spiritual, para pemeluk agama membentuk
masyarakat sendiri yang berbeda dari komunitas kognitif lainnya. (sosiologi,
antropologi, sejarah dst.)
3.
Mengungkapkan sikap anggota masyarakat terhadap agama
yang dianutnya (psikologi agama). Jika kategori pertama mempersoalkan substansi
ajaran dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran; kategori kedua
meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah; kategori ketiga adalah
usaha untuk mengetahui corak penghadapan masyarakat terhadap simbol dan ajaran
agama.
Penelitian agama tidak cukup hanya
bertumpu pada konsep agama (normatif) atau hanya menggunakan model ilmu-ilmu
sosial, melainkan keduanya saling menopang. Peneliti yang sama sekali tidak
memahami agama yang diteliti, akan mengalami kesulitan karena realitas harus
dipahami berdasarkan konsep agama yang dipahami.
Berangkat dari permasalahan
tersebut, pendekatan-pendekatan metodologis dalam studi atau kajian tentang agama
secara terus menerus mendapat perhatian cukup besar dari para intelektual
agama. Dalam perkembangannya kemudian dirumuskan berbagai pendekatan yang
diadopsi atau berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu seperti sejarah,
filsafat, psikologi, antropologi, sosiologi termasuk juga fenomenologi.
Pendekatan yang diupayakan untuk sekilas dibahas dalam tulisan ini adalah
pendekatan fenomenologi agama, dalam pengertian sebuah kajian yang dilakukan
untuk memahami esensi (makna) dan atau melalui manifestasi fenomena keagamaan
dari agama tertentu.
Fokus utama fenomenologi agama
adalah aspek pengalaman keagamaan, dengan mendeskripsikan atau menggambarkan
fenomena keagamaan secara konsisten dalam orientasi keimanan atau kepercayaan
objek yang diteliti. Pendekatan ini melihat agama sebagai komponen yang berbeda
dan dikaji secara hati-hati berdasarkan sebuah tradisi keagamaan untuk
mendapatkan pemahaman di dalamnya. Fenomenologi agama muncul dalam upaya untuk
menghindari pendekatan-pendekatan yang sempit, etnosentris dan normatif dengan
berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama dengan akurat.
A method adopting the procedures of
epochè (suspension of previous judgements) and eidetic intuition (seeing
in to the meaning of religion) to the study of the varied of symbolic
expressions of that which people appropriately respond to as being unrestricted
value from them.
(sebuah metode yang menyesuaikan
prosedur-prosedur epochè [penundaan penilaian-penilaian sebelumnya] dan
intuisi eiditis [melihat kedalam makna agama] dengan kajian terhadap berbagai
ekspresi simbolik yang direspon orang-orang sebagai nilai yang tidak terbatas
bagi mereka).
Menurut Noeng Muhadjir, secara
ontologis pendekatan fenomenologi dalam penelitian agama mengakui empat
kebenaran (sensual, logik, etik, transendental). Hanya saja kebenaran
transenden dibedakan antara kebenaran insaniyah dan kebenaran ilahiyah.
Kebenaran ilahiyah diperoleh dengan menafsirkan dan mengembangkan maknanya akan
tetapi tetap tidak mampu menjangkau kebenaran substansialnya. Selain itu
menurutnya, jika positivisme menekankan objektivitas mengikuti metode-metode
ilmu alam (natural sciences) dan bebas nilai (value free), maka
fenomenologi memiliki landasan dan berorientasi pada nilai-nilai (value-bound)
seperti kemanusiaan dan keadilan.
Beberapa tokoh yang memiliki peranan
besar mengembangkan pendekatan ini diantaranya Pierre Daniel Chantapie de la
Saussaye (lahir 1848) “Lehrbuch der Religionsgeschichte” diterjemahkan
dalam bahasa Inggris “Handbook of the History of Religion”, William
James “The Varieties of Religious Experience: A Study in Human Nature”
(1902), Rudolf Otto “The Idea of The Holy” (1923), Gerardus Van der
Leeuw “Phenomenologie der Religion” (1933) diterjemahkan dalam bahasa
Inggris “Religion in Essence and Manifestation” (1938), Mircea Eliade “Patterns
in Comparative Religion” (1959) “The Sacred and The Profane” (1959),
William Brede Kristensen “The Meaning of Religion” (1960), Ninian Smart
“The Religious Experience of Mandkin” (1971) “The Science of Religion
and the Sociology of Religion” (1973), Jacques Waardenberg “Classical
Approaches to the Study of Religion” (1973) dan Wilfred Cantwell Smith “The
Meaning and The And of The Religion” (1978). Dalam tulisan ini sekilas
diungkapkan beberapa pemikiran tokoh tersebut.
- Pierre Daniel Chantepie de la Saussaye
Saussaye menggunakan fenomenologi
agama sebagai sebuah kajian komparatif dimana cara kerjanya adalah dengan
mengklasifikasikan, menyusun tipe-tipe fenomena agama yang berbeda secara
sistematis. Saussaye membagi agama dalam dua wilayah penelitian yaitu esensi
dan manifestasi sebagaimana pemikiran Hegel. Dalam hal ini ia menggunakan
sejarah agama untuk kemudian dianalisa berdasarkan konsep-konsep filsafat.
Namun Saussaye dikritik karena lebih menggunakan analisa historis dan hanya
menitik beratkan pada ritual-ritual keagamaan serta tidak menggunakan
pendekatan filosofis.
- William Brede Kristenen
Dalam pandangan Kristenen,
fenomenologi agama merupakan cabang, disiplin atau metode khusus dalam
kajian-kajian agama. Jika fenomenologi Saussaye lebih dipengaruhi oleh sejarah,
Kristenen berpendapat bahwa sejarah agama dan filsafat saling berhubungan dan
mempengaruhi sebagai pelengkap kajian fenomenologi. Sebagaimana Saussaye,
Kristenen berpendapat bahwa tujuan utama fenomenologi agama adalah mencari
“makna” fenomena keagamaan. Hanya saja Kristenen menambahkan bahwa pencarian
makna fenomena keagamaan tersebut adalah dalam konteks keimanan masing-masing
orang. Kristenen juga berpendapat bahwa tidak cukup hanya dengan mengelompokkan
atau mengklasifikasikan fenomena sebagaimana dipahami oleh masing-masing
tradisi keagamaan, akan tetapi juga dituangkan dalam sebuah pemahaman.
- Gerardus Van der Leeuw
Dalam kritiknya terhadap Kristenen,
Van der Leew melihat pemahaman sebagai aspek subjektif dalam fenomenologi yang
secara inheren (menyatu) terjalin dari objektifitas sebuah manifestasi. Van der
Leew mengkorelasikan pengalaman subjektif, ekspresi dan pemahaman dengan tiga
level objektif penampakan yaitu relatifitas penyembunyian, relatifitas
transparansi dan secara berangsur-angsur (gradual) menuju manifestasi.
Fenomenologi agama Van der Leew didasari tiga bagian fundamental yaitu: Tuhan –
manusia – hubungan antara Tuhan dan manusia. Dalam hal ini hubungan antara
Tuhan dan manusia merupakan isu sentral yang mendasari pemikiran Van der Leew.
Menurut Van der Leeuw, fenomenologi
mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga
hal prinsip yang tercakup di dalamnya: (1) sesuatu itu berujud, (2) sesuatu itu
tampak, (3) karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena.
Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima
oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.
Membiarkan fenomena itu berbicara
sendiri, sehingga oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous
science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan “prinsip” ilmu
pengetahuan, sebagaimana yang dinyatakan J.B. Connant, bahwa:
“The scientific way of thinking
requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier
conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding
principles”. (Cara berpikir ilmiah menuntut kebiasaan menghadapi kenyataan
dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi mana pun sebelumnya.
Pengamatan yang cermat dan ketergantungan pada eksperimen adalah asas
penuntun).
Dari pembicaraan beberapa tokoh yang
telah diuraikan diatas, setidaknya fenomenologi agama dapat dipetakan dalam
tiga arus besar yaitu: (1) fenomenologi agama diartikan sebagai sebuah
investigasi terhadap fenomena-fenomena atau objek-objek, fakta-fakta dan
peristiwa agama yang bisa diamati; (2) fenomenologi diartikan sebagai sebuah
kajian komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama yang berbeda; dan (3)
fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam
kajian-kajian agama.
- Langkah Operasional Fenomenologi Agama
Setidaknya ada enam langkah atau
tahapan pendekatan fenomenologi dalam studi agama yang ditawarkan oleh Geradus
Van der Leeuw dalam bukunya “Religion in essence and manifestation: A
study in phenomenology of religion”:
1.
Mengklasifikasikan fenomena keagamaam dalam
kategorinya masing-masing seperti kurban, sakramen, tempat-tempat suci, waktu
suci, kata-kata atau tulisan suci, festival dan mitos. Hal ini dilakukan untuk
dapat memahami nilai dari masing-masing fenomena.
2.
Melakukan interpolasi dalam kehidupan pribadi
peneliti, dalam arti seorang peneliti dituntut untuk ikut membaur dan
berpartisipasi dalam sebuah keberagamaan yang diteliti untuk memperoleh
pengalaman dan pemahaman dalam dirinya sendiri.
3.
Melakukan “epochè” atau menunda penilaian
(meminjam istilah Husserl) dengan cara pandang yang netral.
4.
Mencari hubungan struktural dari informasi yang
dikumpulkan untuk memperoleh pemahaman yang holistik tentang berbagai aspek
terdalam suatu agama.
5.
Tahapan-tahapan tersebut menurut Van der Leeuw secara
alami akan menghasilkan pemahaman yang asli berdasarkan “realitas” atau
manifestasi dari sebuah wahyu.
6.
Fenomenologi tidak berdiri sendiri (operate in
isolation) akan tetapi berhubungan dengan pendekatan-pendekatan yang lain
untuk tetap menjaga objektivitas.
- Hitam Putih behind Fenomenologi Agama
Fenomenologi agama merupakan sebuah
gerakan pengembangan dalam pemikiran dan penelitian dimana peneliti mencoba
memahami manusia dan mengklasifikasikan fenomena secara spesifik termasuk
fenomena keagamaan. Beberapa poin yang dianggap sebagai sisi positif dari
fenomenologi agama diantaranya :
1.
Fenomenologi agama berorientasi pada faktual deskriptif,
dimana tidak concern pada penilaian evaluatif akan tetapi
mendeskripsikan secara tepat dan akurat suatu fenomena keagamaan seperti
ritual, simbol, ibadah (individual maupun seremonial), teologi (lisan atau
tulisan), personal yang dianggap suci, seni dan sebagainya.
2.
Tidak berusaha menjelaskan fenomena yang
dideskripsikan, terlebih membakukan hukum-hukum universal untuk memprediksikan
persoalan-persoalan keagamaan dimasa depan, akan tetapi untuk mencari pemahaman
yang memadai terhadap setiap persoalan keagamaan.
3.
Perbandingan dalam pengertian terbatas dimana
mengkomparasikan berbagai tradisi keagamaan, namun fenomenologi tidak berusaha
menyamakan atau mengunggulkan salah satu tradisi keagamaan tertentu.
4.
Menghindari reduksionisme, dalam arti murni memahami
fenomena keagamaan dalam term sosiologi, psikologi, antropologi dan ekonomi
saja tanpa memperhatikan kompleksitas pengalaman manusia, memaksakan
nilai-nilai sosial pada isu-isu transendental dan mengabaikan intensionalitas
unik para pelaku tradisi keagamaan.
5.
Menunda pertanyaan tentang kebenaran, dalam hal ini
untuk mengembangkan wawasan terhadap esensi terdalam suatu pengalaman
keagamaan. Fenomenologi berupaya terlibat atau berpartisipasi langsung untuk
memperoleh empati pemahaman yang asli.
6.
Terakhir mengembangkan struktur esensial dan makna
sebuah pengalaman keagamaan.
Terlepas dari beberapa kelebihan
pendekatan fenomenologi, terdapat beberapa kesulitan untuk memahami esensi dari
suatu pengalaman keagamaan dan manifestasi. Dalam hal ini beberapa kritik terhadap
fenomenologi agama diantaranya:
1.
Peranan deskriptif. Fenomenologi agama mengklaim
pendekatannya deskriptif murni yang resisten terhadap campur tangan peneliti,
namun tidak mustahil seorang fenomenolog memiliki kepentingan maksud-maksud
tertentu dan dalam mengontrol data dan metode yang digunakan. Dalam hal ini
kurang tepat jika fenomenologi diklaim sebagai pendekatan deskriptif murni.
2.
Melihat peristiwa keagamaan tanpa melihat akar
historisnya. Fenomenologi agama dinilai cenderung memperlakukan fenomena
keagamaan dalam isolasi sejarah seolah-olah sejarah tidak diperlukan dalam
menentukan relevansi fakta-fakta fenomena bagi praktisi agama. Dalam prakteknya
seringkali fenomenologi agama tidak mampu mengkontekstualisasikan
fenomena-fenomena keagamaan yang dikaji.
3.
Peranan intuisi. kesulitan peneliti dalam hal ini
adalah menentukan sisi yang benar dan dapat diterima. Term “objektif” dan
“intuisi” adalah sesuatu yang kontradiktif, terlebih ketika menggunakan
data-data yang bersifat intuitif untuk diverivikasi dalam wilayah objektif.
4.
Persoalan empati. Adanya kekhawatiran terjadinya
konversi agama karena tuntutan untuk berpartisipasi langsung dalam praktek dan
ritual keagamaan.
Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, tujuan metode ini adalah mengungkapkan atau mendekripsikan
makna sebagaimana yang ada dalam data atau gejala. Dalam kerja penelitiannya
fenomenologi dapat mengacu pada tiga hal, yaitu filsafat, sejarah, dan pada
pengertiannya yang lebih luas.
Dengan demikian,
“fenomenologi agama” dalam acuan yang pertama menghubungkan dirinya sebagai
salah satu aliran alam filsafat dan sumbangannya terhadap studi agama sebagai
salah satu disiplin ilmu. Adapun acuan yang kedua memasukkan pendapat peneliti
(terdahulu) yang telah menerapkan metodologi fenomenologi dalam penelitian
tentang sejarah agama. Dengan sendirinya mereka mempergunakan religi sederhana
sebagai data, dan meletakkan ekspresi keagamaan dalam bentut simbol- seperti
bentuk-bentuk upacara keagamaan- sebagai fokus perhatiannya.[1]
Mungkin yang paling
relevan dalam hubungannya dengan penelitian agama Islam dalam perspektif ilmu
budaya adalah acuan ketiga, yaitu penerapan metode fenomenologi secara lebih
luas. Metode ini bisa diterapkan dalam menelaah (meneliti) ajaran-ajaran,
kegiatan-kegiatan, lembaga-lembaga, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol
keagamaan.
Dengan mengacu pada
tiga kerja penelitian dalam metode fenomenologi maka langkah-langkah penelitian
yang akan dilakukan diharapkan akan menghasilkan.
1. Deskripsi
tentang tidak saja ajaran, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi keagamaan yang
bersifat tata-upacara, simbolik atau mistis.
2. Deskripsi
tentang hakikat kegiatan keagamaan, khususnya dalam hubungannya dengan bentuk
ekspresi kebudayaan.
3. Deskripsi tentang perilaku keagamaan,
berupa;
a. Deskripsi
ontologis
Deksirpsi
ini memusatkan perhatiannya pada “objek” kegiatan keagamaan. Objek ini dapat
berupa Tuhan, “Yang Suci” atau “Yang Gaib”, “Kekuasaan” dan sebagainya.
b. Deskripsi
psikologis
Perhatian
diletakkan pada kegiatan keagamaan itu sendiri. Di dalam penerapannya,
Malinowski, misalnya, menghubungkannya dengan fungsi kegiatan itu dalam
masyarakat
c. Deskripsi
Dialektik
Apa
yang memperoleh perhatian di sini adalah hubungan antara subjek dan objek dalam
kegiatan keagamaan. Bisa menentukan diri pada pengalaman keagamaan, bisa juga
memfokuskan diri pada peran simbol-simbol keagamaan itu sebagai dasar bagi
manusia dalam “mengalami” dunianya.
Daftar Pustaka
Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984
Bertens,
K, Filsafat Barat Dalam Abad XX,
Jakarta: PT Gramedia, 1981
Clive
Erricker, “Pendekatan Fenomenologis”
dalam Peter Connolly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama terj. Imam
Khoiri Yogyakarta: LkiS, 2009
Jacques
Waardenburg, Classical Approach to the Study of Religion Paris, Mouton:
The Hague, 1973
James B.
Connant, Modern Science and Modern Man, Garden City: Doubleday Co., 1954
Harry Hammersma, Tokoh-Tokoh Filsafat, Jakarta: PT.
Gramedia, 1983
Magestari,
Noerhadi, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Bandung: Pusjarlit, Cet. I, 1998
Moleong,
Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet. IX, 1998
Paul
Edward (ed), The Encyclopaedia of
Philosophy, Vol. 5, New York: MacMilan Publishing Co., Inc and Free Press,
1972
Praja,
Juhaya S, Aliran-Aliran Filsafat dan
Etika; Suatu Pengantar, Bandung: Yayasan Piara, 1997
Harun
Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Rev. Emeka
C. Ekeke & Chike Ekeopara, “Phenomenological
Approach to The Study of Religion A Historical Perspective,” European
Journal of Scientific Research, Vol. 44, No. 2, 2010
http://www.infoskripsi.com/Theory/Pendekatan-Fenomenologis-Bagian-I.html
[1] Noerhadi Magestari, Tradisi Baru
Penelitian Agama Islam, (Bandung: Pusjarlit, Cet. I, 1998), hal. 147
Post a Comment