Ibnu Sina membagi daya jiwa menjadi tiga bagian. Masing-masing bagian
saling mengikuti, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan, dan jiwa rasional.
1.
Jiwa
Tumbuh-tumbuhan
Jiwa tumbuh-tumbuhan mencakup daya-daya yang ada pada manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu:
a)
daya nutrisi, yaitu
daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh, dimana daya itu ada di
dalamnya. Makanan mengganti unsur yang rusak dari tubuh.
b)
Daya penumbuh,
yaitu daya menambah kesesuaian pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena
makanan, baik dari sisi panjang, lebar maupun volume. Tujuannya agar tubuh
dapat mencapai kesempurnaan pertumbuhan.
c)
Daya generatif,
yaitu daya yang mengambil dari tubuh suatu bagian yang secara potensial sama,
sehingga terjadi proses penciptaan dan percampuran yang membuatnya sama secara
nyata.[1]
2. Jiwa Hewan
Jiwa hewan mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan, sedangkan
pada tumbuh-tumbuhan tidak ada sama sekali. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa hewan
sebagai sebuah kesempurnaan awal bagi tubu alamiah yang bersifat mekanistik
dari satu sisi, serta menangkap berbagai parsialitas dan bergerak karena
keinginan.[2] Jiwa
hewan memiliki dua kekuatan, yaitu daya penggerak dan daya persepsi.
a)
Daya penggerak
Daya penggerak terdiri dari dua bagian, yaitu penggerak karena sebagai
pemicu dan penggerak sebagai pelaku. Penggerak sebagai adalah daya hasrat,
yaitu daya yang jika terbentuk di dalam khayalan suatu bentuk diinginkan atau
yang tidak diinginkan, maka hal itu akan mendorongnya untuk menggerakkan. Daya
ini terbagi menjadi dua sub-bagian, yaitu daya syahwat dan daya emosi.
Daya syahwat adalah daya yang mendorong untuk menggerakkan menuju sesuatu
yang dianggap penting atau berguna demi mencari kenikmatan. Sedangkan daya
emosi adalah daya yang menggerakkan untuk melawan sesuatu yang dianggap
berbahaya atau merusak demi mendapatkan kemenangan.
Daya penggerak dalam kedudukannya sebagai pelaku adalah daya yang muncul di
dalam urat dan syarat untuk melaksanakan penggerakan yang sesuai demi
mewujudkan tujuan yang dinginkan.
b). Daya
persepsi terbagi menjadi dua bagian. Pertama, daya yang mempersepsi dari luar,
yaitu pancaindera eksternal semisal mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit.
Kedua, daya yang mempersepsi dari dalam, yaitu indera batin semisal indera
kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, waham, dan memori.[3] Kita akan membahas daya persepsi secara rinci
pada pembahasan berikutnya.
3. Jiwa
Rasional
Jiwa rasional mencakup daya-daya yang khusus pada manusia. Jiwa rasional
melaksanakan fungsi yang dinisbatkan pada akal. Ibnu Sina mendefenisikan jiwa
rasional sebagai kesempurnaan pertama bagi tubuh alamiah yang bersifat
mekanistik, dimana pada satu sisi ia melakukan berbagai perilaku eksistensial
berdasarkan ikhtiar pikiran dan kesimpulan ide, namun pada sisi yang lain ia
mempersepsi semua persoalan universal.
Ibnu Sina membedakan dua daya di dalam jiwa rasional sebagaimana yang
dilakukan al-Farabi sebelumnya, yaitu daya akal praktis dan daya akal ilmiah
atau daya akal teoritis. Daya akal praktis cenderung untuk mendorong manusia
memuaskan perbuatan yang pantas dilakukan atau ditinggalkan, dimana kita bisa
menyebutnya perilaku moral. Dengan perilaku moral ini semua keahlian dapat
tercapai. Sementara daya akal teoretis adalah mempersepsi potret-potret
universal yang bebas dari materi. Menurut Ibnu Sian ada beberapa tingkatan akal
teoretis yaitu: 1) Akal potensial atau akal hayulani, 2) Akal bakat (habitual);
3) Akal aktual; 4) Akal perolehan.
Dari sini tampak jelas bahwa pembagian daya jiwa yang disusun Ibnu Sina
mirip dengan susunan yang dibuat Aristoteles sebelumnya. Mereka hanya berbeda
pada jumlah indera batin. Aristoteles berpendapat ada tiga indera batin, yaitu
indera kolektif, fantasi, dan memori, sedangkan Ibnu Sina berpendapat ada lima
indera batin. Tampaknya, daya kondsepsi dan waham tidak ada pada susunan jiwa
menurut Aristoteles.
Terlihat juga bahwa pembagian daya jiwa menurut Ibnu Sina sama dengan
pembagian jiwa menurut al-Farabi, seperti yang ada di dalam Fushus al-Hikam,
meskipun ada sedikit perbedaan jumlah tingkatan akal teoritis. Al-Farabi
berpendapat ada tiga tingkatan akal teoritis, sedangkan Ibnu Sina berpendapat
ada empat tingkat akal teoritis. Hal disebabkan karena Ibnu Sina menganggap akal
bakat dan akal aktual sebagai dua tingkatan yang berbeda untuk akal teoritis, sedangkan
al-Farabi menganggap keduanya sama, yaitu tingkatan yang sama untuk akal
teoritis.
Post a Comment