Ibnu Sina mendefenisikan jiwa sebagaimana Aristoteles mendefenisikannya
pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena
dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata.
Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan
keberadaannya tabiat jenis menjadi manusia.[1]
Ibna Sina dan Aristoteles berbeda pandangan dalam memahami makna
kesempurnaan. Aristoteles mendefenisikan jiwa sebagai suatu kesempurnaan awal
bagi tubuh alami, maka yang ia maksudkan adalah potret bagi fisik alami dan
prinsip perbuatannya yang dinamis. Sedangkan kesempurnaan kedua adalah sifat
yang berkaitan dengan manusia seperti pemahaman inderawi bagi manusia dan
memotong bagi pedang.[2]
Dengan demikian, pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina lebuh umum
dibanding pengertian kesempurnaan menurut Aristoteles. Berdasarkan pendapat
Ibnu Sina, tidak semua jiwa merupakan potret bagi badan, sebab jiwa rasional
terpisah dari badan dan wujudnya tidak selalu terpatri dalam materi badan.[3]
Maka, jiwa rasional adalah substansi akal yang ada secara terpisah dari
badan. Jiwa rasional juga merupakan substansi ruhani, karena ia menangkap
hal-hal yang rasional dan menangkap dirinya tanpa menggunakan alat. Sedangkan
indera lahir dan indera batin tidak menangkap apa pun, kecuali dengan alat.
Keduanya tidak dapat menangkap diri sendiri.[4]
Jiwa merupakan kesempurnaan awal, dalam pengertian bahwa ia adalah prinsip
pertama yang dengannya suatu spesies (jins) menjadi manusia yang bereksistensi
secara nyata. Artinya, jiwa merupakan kesempurnaan awal bagi tubuh. Sebab,
tubuh sendiri merupkana prasyarat bagi definisi jiwa, lantaran ia bisa
dinamakan jiwa jika aktual di dalam tubuh dengan satu perilaku dari berbagai
perilaku.[5]
Jiwa juga kesempurnaan awal bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanistik
atau bagi tubuh alamiah yang bersifat mekanisktik atau bagi tubuh alamiah dan
bukan bagi tubuh buatan. Yang dimaksudkan Ibnu Sina dengan mekanistik adalah
bahwa fisik melaksanakan kesempurnaannya yang kedua atau sifatnya yang
berkaitan dengan manusia- yang tidak lain dari berbagai prilaku atau fungsinya-
dengan mediasi alat-alat tertentu yang ada di dalamnya,[6] yaitu
berbagai anggota tubuh yang melaksanakan berbagai fungsi psikologis.
[1] Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim,
Alih bahasa, Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), p. 143
[2] Ibid, p. 143
[3] Ibid, p. 143
[4] Ibnu Sina, an-Najah,
Kairo: 1325, h. 292-294; Muhammad Ali Abu Rayyan, ibid., h. 308; dikutip dari Muhammad
Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan
Filosof Muslim, Alih bahasa, Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002),
p. 143
[5] Ibnu Sina, Ahwal an-Nafs,
ibid., h. 53.
[6] ibid., h. 53.
Post a Comment