Sumber Gambar: caramengatasistress.com

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
“Dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun, Maha Mensyukuri.” (QS. Fâthir [35]: 34).

Menurut Achmad Mubarok, manusia memiliki kesadaran adanya problem yang mengganggu kejiwaannya, oleh karena itu sejarah manusia juga mencatat adanya upaya mengatasi problem tersebut. Upaya-upaya tersebut ada yang bersifat mistik yang irrasional, ada juga yang bersifat rasional, konsepsional dan ilmiah. Secara alamiah manusia merindukan kehidupan yang tenang dan sehat, baik jasmani maupun ruhani, kesehatan yang bukan hanya menyangkut badan, tetapi juga kesehatan mental. Suatu kenyataan menunjukkan bahwa peradaban manusia yang semakin maju berakibat pada semakin kompleksnya gaya hidup manusia. Bersamaan dengan pesatnya modernisasi kehidupan, manusia harus menghadapi persaingan yang ketat, pertarungan yang sangat tajam, satu keadaan yang menimbulkan kegalauan dan kegelisahan.[1]
Sedangkan Daniel Goleman mengemukakan, pada sebagian negara kaya kemungkinan orang yang lahir pada 1955 untuk menderita stress, depresi dan cemas lebih besar- tidak hanya kesedihan, tetapi kesepian yang melumpuhkan, kehilangan semangat, harga diri, ditambah perasaan tidak berdaya luar biasa- pada satu titik kehidupan lebih dari tiga kali lebih besar daripada generasi kakek mereka.[2]
Hal yang sama juga dikemukakan Martin Selibman, bahwa saat ini umat manusia berada di tengah-tengah wabah depresi, dengan akibat bunuh diri yang menyebabkan kematian sama banyaknya dengan kematian karena AIDS dan lebih menyebar. Setress, depresi, dan cemas- yang parah sepuluh kali lebih banyak terjadi menyerang perempuan dua kali lebih sering dari laki-laki dan sekarang menyerang sepuluh tahun lebih muda daripada generasi sebelumnya.[3]
Setres, depresi, dan cemas adalah watak kehidupan dan merupakan problem universal umat manusia. Siapa pun dia, tidak bisa luput darinya. Persoalannya adalah bagaimana mengatasi kecemasan tersebut, dan terapi bagaimana yang harus diterapkan.
Nabi Muhammad Saw, banyak memberikan gambaran tentang kehidupan dunia.  sebagaimana sabda Rasulullah saw, addunyâ sijnu al-mu’mini wa jannatu kâfir (dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir).[4] Kehidupan dunia digambarkan bagai penjara bagi orang mu’min dan surga bagi orang kafir, karena kehidupan mereka selalu dibatasi dan tidak boleh hidup semena-mena, bagaikan orang yang hidup dalam sebuah penjara, dan sebaliknya bagaikan surga bagi orang kafir, sebagai tempat yang menyenangkan, bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan yang mengikatnya. Kesederhanaan Nabi Saw, menampilkan diri sebagai seorang yang sangat terbatas kehidupannya, sering menderita lapar. Dan jika mempunyai harta selalu diinfakkan ke jalan Allah swt, dan disedekahkan kepada tamunya dan ahlus-Suffah (orang yang hidup di emperan masjid Nabawi).[5]
Seorang mukmin diperintahkan untuk  mengusir stress, depresi, cemas, dan kesedihan, tidak boleh menyerah, serta harus membuang jauh-jauh, menolak, melawan dan mengalahkan kesedihan. Bahkan Nabi sendiri pernah memohon agar dihindarkan dari kesedihan, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kecemasan dan kesedihan.” Oleh karena itu, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mendatangkan kebahagiaan dan menciptakan yang melapangkan dada. Kita harus memohon kehidupan yang baik, penghidupan yang memuaskan, pikiran yang jernih, dan kelapangan dada.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Stress, Sebab-Sebab, dan Akibatnya

1.Definisi Stress
Dalam kamus Inggris Indonesia, kata stress diartikan ketegangan, mental stress (ketegangan jiwa). Bisa juga di artikan tekanan, period of storm and stress (masa pergolakan dan tekanan).[6] Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, stress bermakna:
“Stress is a body condition that accurs in response to actual or anticipated difficulties in life. People  often experience stress as a result of major events in their lives, such as bereavement, divorce, or the loss of a job. Stress also may occur in response to daily problem, such as driving in heavy traffic or being hurried by somenone. In addition, people may experience stress when they perceive a threat to themselves. For example, a person who feels unable to cope effectively with a challenge may experience stress. Common signs of stress include an increased heart rate, raised blood pressure, muscle tension, mental depression, and inability to concentrate. Typical reaction include social withdrawal, an increased use of tobacco, alcohol, or drugs, and feeling of helplesness about the situasion.”[7]

Dari definisi stress di atas dapat disimpulkan bahwa stress adalah bentuk ketegangan dari fisik, psikis, emosi maupun mental. Bentuk ketegangan ini mempengaruhi kinerja keseharian seseorang. Bahkan stress dapat membuat produktivitas menurun, rasa sakit dan gangguan-gangguan mental. Pada dasarnya, stress adalah sebuah bentuk ketegangan, baik fisik maupun mental. Sumber stress disebut dengan stressor dan ketegangan yang di akibatkan karena stress, disebut strain.
Sedangkan menurut Dadang Hawari, stres adalah tanggapan (reaksi) tubuh terhadap berbagai tuntutan atau bebas atasnya yang bersifat non spesifik. Namun, di samping itu stres dapat juga merupakan faktor pencetus, penyebab sekaligus akibat dari suatu gangguan atau penyakit. Faktor-faktor psikososial cukup mempunyai arti bagi terjadinya stres pada diri seseorang. Manakala tuntutan pada diri seseorang itu melampaui kemampuannya, maka keadaan demikian disebut distres. Stres dalam kehidupan adalah sesuatu hal yang tidak dapat dihindari. Masalahnya adalah bagaimana manusia hidup dengan stres tanpa harus mengalami distres.[8]
Hans Selye, seorang ahli fisiologi dan tokoh di bidang stres yang terkemuka dari Universitas Montreal, merumuskan stres sebagai berikut: stres adalah tanggapan tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap tuntutan atasnya. Manakala tuntutan terhadap tubuh itu berlebihan, maka hal ini, dinamakan distres. Tubuh akan berusaha menyelaraskan rangsangan atau stres itu dalam bentuk penyesuaian diri. Dalam banyak hal manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres. Manusia mempunyai suplai yang baik dari energi penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi kembali bilamana perlu. [9]

2. Penyebab Stress (Causes of Stress)
Penyebab stres (stressor) dapat datang dari sudut kehidupan manapun. Kejadian kecil dalam hidup pun dapat menjadi sumber stres yang membuat hidup hancur. Masalah yang muncul sebenarnya sebenarnya bersifat netral, kitalah yang memegang peranan untuk mengubahnya menjadi hal yang bersifat positif atau negatif.[10] Sedangkan menurut The Wold Book Encyclopedia International, penyebab stress adalah:
“Causes of stress are called stressor. These are outside forces that place unusual demands on a person’s body or mind. There are five major types of stressor: (1) biological variables, (2) environment circumstances, (3) life situations, (4) behaviours, and (5) cognitive activities. Biological variables affect a person’s physical state. They include illness and physical exertion. Environmental circumstances are forces in the person’s surrounding. Such as noise, overcrowding, poverty, and natural disasters. Life situations include stressful incidents, such as the death of a close friend or being in a group of stranging cigarettes and poor eating habits. Cognitive, or thinking, activities that may produce stress include taking a test or concentrating on getting a high score in a video game. Not all stressor affect everyone the same way. In a particular situation, one person may remain quite calm while another person displays marked signs of stress. The difference between the two people may be that the firts person feels in control of the situation, views it as a challenge, and is committed to overcoming it. The second person does not feel in control of the situation, is threatened by it, and only wants to avoid coping with it.”[11]

3. Stresor Psikososial
         
          Firman Allah dalam surah al-Ma’ârij [70]: ayat 19-23 sebagai berikut:
“Sungguh, manusia diciptakan suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat, mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya.” (QS. al-Ma’ârij [70]: 19-23).[12]

Stresor psikososial adalah setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja, atau dewasa), sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau menanggulangi stresor yang timbul. Namun, tidak semua orang mampu mengadakan adaptasi dan mampu menanggulanginya, sehingga timbullah keluhan-keluhan kejiwaan, antara lain depresi. Pada umumnya jenis stresor psikososial dapat digolongkan sebagai berikut:
a.    Perkawinan
Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stres yang di alami seseorang; misalnya pertengkaran, perpisahan (separation), perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidaksetiaan, dan lain sebagainya. Stresor perkawinan ini dapat menyebabkan seseorang jatuh  dalam depresi dan kecemasan.
b.    Problem Orang tua
Permasalahan  yang dihadapi orangtua, misalnya tidak punya anak, kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit, hubungan yang tidak baik dengan mertua, ipar, besan dan lain sebagainya. Permasalahan tersebut di atas dapat merupakan sumber stres yang pada gilirannya seseorang dapat jatuh dalam depresi dan kecemasan.
c.    Hubungan Interpersonal (Antar Pribadi)
Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang mengalami konflik, konflik dengan kekasih, antara atasan dan bawahan, dan  lain sebagainya. Konflik hubungan interpersonal ini dapat merupakan sumber stres bagi seseorang, dan yang bersangkutan dapat mengalami depresi dan kecemasan karenanya.
d.   Pekerjaan
Masalah pekerjaan merupakan sumber stres kedua setelah masalah perkawinan. Banyak orang menderita depresi dan kecemasan karena masalah pekerjaan ini, misalnya pekerjaan terlalu banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan (PHK), dan lain sebagainya.
e.    Lingkungan Hidup
Kondisi lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi kesehatan seseorang, misalnya soal perumahan, pindah tempat tinggal, penggusuran, hidup dalam lingkungan yang rawan (kriminalitas) dan lain sebagainya. Rasa tercekam dan tidak merasa aman mengganggu ketenangan dan ketentraman hidup, sehingga tidak jarang orang jatuh ke dalam depresi dan kecemasan.
f.     Keuangan
Masalah keuangan (kondisi sosial-ekonomi) yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh lebih rendah dari pengeluaran, terlibat hutang, kebangkrutan usaha, soal warisan, dan lain sebagainya. Problem keuangan amat berpengaruh pada kesehatan jiwa seseorang dan seringkali masalah keuangan  ini merupakan faktor yang membuat seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
g.    Hukum
Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan sumber stres pula, misalnya tuntutan hukum, pengadilan, penjara, dan lain sebagainya. Stres di bidang hukum ini dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam depresi dan kecemasan.
h.    Perkembangan
Yang dimaksudkan di sini adalah masalah perkembangan baik fisik maupun mental seseorang, misalnya masa remaja, dewasa, menopause, usia lanjut, dan lain sebagainya. Kondisi setiap perubahan fase-fase tersebut di atas, untuk sementara individu dapat menyebabkan depresi dan kecemasan, terutama pada mereka yang mengalami menopause atau usia lanjut.
i.      Penyakit Fisik atau Cidera
Sumber stres yang dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di sini adalah antara lain, penyakit, kecelakaan, operasi (pembedahan, aborsi, dan lain sebagainya). Dalam hal penyakit yang banyak menimbulkan depresi dan kecemasan adalah penyakit kronis, jantung, kanker dan sebangsanya.
j.      Faktor Keluarga.
Yang dimaksukan di sini adalah faktor stres yang dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan karena kondisi keluarga yang tidak baik (yaitu sikap orang tua), misalnya: (a). Hubungan kedua orang tua yang dingin, atau penuh ketegangan, atau acuh tak acuh, (b). Kedua orang tua jarang di rumah dan tidak ada waktu bersama dengan anak-anak, (c). Komunikasi antara orang tua dan anak yang tidak baik, (d). Kedua orang tua berpisah atau bercerai, (e). Salah satu orang tua menderita gangguan jiwa (kepribadian), (f). Orang tua dalam pendidikan anak kurang sabar, pemarah, keras dan otoriter, dan lain sebagainya.

k.    Lain-lain.
Stresor kehidupan lainnya juga dapat menimbulkan depresi dan kecemasan adalah antara lain, bencana alam, kebakaran, perkosaan, kehamilan di luar nikah, dan lain sebagainya.
Kebanyakan pekerjaan dengan waktu yang sangat sempit, ditambah lagi dengan tuntutan harus serba cepat dan tepat membuat orang hidup dalam keadaan ketegangan (stres). Suatu penelitian di kalangan karyawan Amerika yang tergolong white collar employees, menyebutkan bahwa 44% dari mereka termasuk dibebani pekerjaan yang terlampau berat (over load). Mereka menunjukkan berbagai kelainan yang dapat dikelompokkan dalam impairment of behavior atau emotional disturbances. Dalam pada itu para pemimpin perusahaan dikejutkan oleh besarnya ongkos yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan (perawatan) dan kehilangan jam kerja. Dalam suatu penelitian nasional yang dilakukan, dikemukakan bahwa kerugian dari sektor ini saja diperkirakan meliputi jumlah antara 50 hingga 75 milyar dollar setahunnya. Hal ini berarti lebih dari 750 dollar Amerika untuk setiap rata-rata karyawan Amerika.
Pengangguran membawa pengaruh bagi kesehatan jiwa. Sumber stres terpenting bukanlah hakikat kehilangan pekerjaan itu sendiri, tetapi lebih bersifat perubahan-perubahan domestik dan psikologis yang berjalan secara perlahan-lahan. Hal ini lambat laun membahayakan kesehatan individu yang bersangkutan.
Dalam salah satu penelitiannya Prof. M. Harvey Brenner dari Universitas John Hoppkins bahwa tiap 1% kenaikan pengangguran di Amerika Serikat tercatat. (a) 1, 9 % kenaikan kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. (b) 4,1 % kenaikan kematian akibat bunuh diri. (c) 4,3 % kenaikan perawatan bagi pasien baru laki-laki di rumah sakit jiwa. (d) 2,3 % kenaikan perawatan bagi pasien baru wanita di rumah sakit jiwa.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Dr. Thomas Holmes dari Universitas Washington terhadap para eksekutif (mereka yang bergerak di bidang usaha dan politik), menunjukkan bahwa 80% dari responden mengalami stres, depresi, kecemasan, dan penyakit gawat lainnya.
Perubahan serba cepat di bidang perdagangan sosial, politik, dan lain-lain, membuat para eksekutif sering terkena tekanan (stres). Dengan menjadi berlipat gandanya tuntutan, baik dalam kehidupan perorangan (perkawinan) maupun perusahaan, maka dalam upaya melayani seseorang yang cermat akan mengambil resiko untuk memaksakan diri berbuat melampaui batas kemampaun fisik dan mentalnya. Tantangan-tantangan yang pernah dihadapinya merupakan pendorong dan motivasi, kini mengancam ketepatgunaannya selaku pimpinan dan pengambil keputusan, semata-mata karena jumlahnya yang banyak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau 80% dari mereka terkena stres, kecemasan, dan depresi dengan berbagai komplikasi di bidang penyakit fisik lainnya.
Dalam salah satu penelitian lainnya disebutkan bahwa kini di Amerika Serikat terdapat enam penyebab kematian utama yang erat hubungannya dengan stres dan kecemasan yaitu: Penyakit jantung koroner, kanker, paru-paru, pengerasan hati, dan bunuh diri.

4. Tahapan Stres
Gangguan stres biasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan seringkali kita tidak menyadari. Namun meskipun demikian dari pengalaman praktek psikiatri, para ahli mencoba membagi stres tersebut dalam enam tahapan. Setiap tahapan memperlihatkan sejumlah gejala-gejala yang dirasakan oleh yang bersangkutan, hal mana berguna bagi seseorang dalam rangka mengenali gejala stres sebelum memeriksakannya ke dokter. Petunjuk-petunjuk tahapan stres tersebut dikemukakan oleh Dr. Robert J. Van Amberg, psikiater sebagai berikut:

a.       Stres tingkat I
Tahapan ini merupakan tingkat stres yang paling ringan, dan biasanya di sertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut: (a) semangat besar, (b) penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya, (c) energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan pekerjaan lebih dari biasanya. Tahapan ini biasanya menyenangkan dan orang lalu bertambah semangat, tanpa disadari bahwa sebenarnya cadangan energinya sedang menipis.

b.      Stres tingkat II
Dalam tahapan ini dampak stres yang menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan yang dikarenakan cadangan energi tidak lagi cukup sepanjang hari. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan sebagai berikut: (a) Merasa letih sewaktu bangun pagi. (b) Merasa lelah sesudah makan siang. (c) Merasa lelah menjelang sore hari. (d) Terkadang gangguan dalam sistem pencernaan (gangguan usus, perut kembung), kadang-kadang pula jantung berdebar-debar. (e) Perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk (belakang leher). (f) Perasaan tidak bisa santai.

c.         Stres tingkat III
Pada tahapan ini keluhan keletihan semakin nampak disertai dengan gejala-gejala: (a) Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin ke belakang). (b) Otot-otot terasa lebih tegang. (c) Perasaan tegang yang meningkat. (d) Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan sukar tidur kembali, atau bangun terlalu pagi). (e) Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai jatuh pingsan).
Pada tahapan ini penderita sudah harus berkonsultasi pada dokter, kecuali kalau beban stres atau tuntutan-tuntutaan dikurangi, dan tubuh mendapat kesempatan untuk beristirahat atau relaksasi, guna memulihkan suplai energi.

d.        Stres tingkat IV
Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk, yang ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:  (a) Untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit. (b) Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit. (c) Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan sosial dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat. (d) Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan seringkali terbangun dini hari. (e) Perasaan Negatif. (f) Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam. (g) Perasaan takut yang tidak dijelaskan.

e.         Stres tingkat V
Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan IV di atas, yaitu: (a) Keletihan yang mendalam (physical and psychological exhaustion). (b) Untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana saja terasa kurang mampu. (c) Gangguan sistem pencernaan (sakit maag dan usus) lebih sering, sukar buang air besar atau sebaliknya fases encer dan sering ke belakang. (d) Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik.

f.          Stres tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan gawat darurat. Tidak jarang penderita dalam tahapan ini di bawa ke ICCU. Gejala-gejala pada tahapan ini cukup mengerikan. (a) Debaran jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat adrenalin yang dikeluarkan, karena stres tersebut cukup tinggi dalam peredaran darah. (b) Nafas sesak, megap-megap. (c) Badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran. (e) Tenaga untuk hal-hal yang ringan sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau collaps.
Bilamana diperhatikan, maka dalam tahapan stres di atas menunjukkan manifestasi di bidang fisik dan psikis. Di bidang fisik berupa kelelahan. Sedangkan di bidang psikis berupa kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan penyediaan energi fisik maupun mental yang mengalami difisit terus-menerus. Sering buang air kecil dan sukar tidur merupakan pertanda dari depresi.

5. Cara Mengatasi Stres (Dealing With Stress)
Secara umum, terdapat dua cara untuk mengatasi stres , yaitu problem focus dan emotion focus. Pertama, problem focus, adalah cara mengatasi stres dengan memfokuskan diri pada masalah atau sumber stres. Cara ini dapat di lakukan jika masalah yang dialami bersifat controllable. Contohnya, anda mengalami kesulitan dalam mengikuti suatu mata kuliah tertentu. Anda juga khawatir apabila mata kuliah ini akan menurunkan indeks prestasi. Maka hal yang dapat anda lakukan (berdasarkan problem focus) adalah tidak mengikuti dan membatalkan mata kuliah tersebut.
Kedua, adalah emotion focus, dimana mengatasi stres dengan cara memfokuskan diri dengan emosi yang dialami. Cara ini biasanya dilakukan ketika menghadapi masalah yang bersifat uncontrollable (tidak dapat dikontrol). Contohnya ketika  merasa stres akibat kehilangan saudara karena bencana tsunami, hal yang dapat dilakukan misalnya berdoa agar diberikan kekuatan oleh Tuhan dalam menghadapi masalah ini.[13]
Stress tidak selalu berdampak negatif- dalam hal tertentu stress diperlukan untuk pertumbuhan, body, mind, dan soul. Sebagaimana yang dijelaskan dalam The Wold Book Encyclopedia International bahwa:
“People need a certain amount of stress to perform at their best. But too much stress produces many negative effects. Therefore, many people look for ways to better manage the stress in their lives. Some people practise relaxation techniques, such as various forms of meditation. Stress can also be reduced by thinking about stressful things in a different way. For example, people can reduce stress by accepting events as they are, rather than as they would like them to be. Regular exercise and proper nutrition also reduce.”[14]

B.  Depresi, Sebab-Sebab, dan Akibatnya
1.      Definisi Depresi
Dalam kamus Inggris Indonesia, kata depression di artikan tertekan, kemuraman, dan penurunan.[15] Dalam pengertian yang luas depresi adalah suatu kondisi yang lebih dari suatu keadaan sedih, bila kondisi depresi seseorang sampai menyebabkan terganggunya aktivitas sosial sehari-harinya maka hal itu disebut sebagai suatu gangguan depresi. Beberapa gejala gangguan depresi adalah perasaan sedih, rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur. Depresi merupakan salah satu penyebab utama kejadian bunuh diri.[16]
            Sedangkan orang-orang yang selalu berserah diri kepada Allah, dan selalu berbuat kebajikan, maka dalam kehidupannya ia dapat terhindar dari depresi. Sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah [2]: ayat 112 sebagai berikut:

“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS. al-Baqarah [2]: 112).[17]

Depresi adalah salah satu bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (afektif, mood), yang ditandai dengan kemurungan, kelesuan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak berguna, putus asa dan lain sebagainya. Secara lengkap gambaran depresi adalah sebagai berikut:  (a) Afektif disforik, yaitu perasaan murung, sedih, gairah hidup menurun, tiada semangat, merasa tidak berdaya. (b) Perasaan bersalah, berdosa, penyesalan. (c) Nafsu makan menurun. (d) Berat badan menurun. (e) Konsentrasi dan daya ingat menurun. (f) Gangguan tidur, insomnia, (tidak dapat tidur) atau sebaliknya hipersomnia, terlalu banyak tidur). Gangguan ini seringkali disertai dengan mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan, misalnya mimpi orang yang telah meninggal. (g) Agitasi atau retardasi psikomotor (gaduh gelisah atau lemah, tak berdaya). (h) Hilangnya rasa senang, semangat dan minat, tidak suka lagi melakukan hobi, kreativitas menurun, produktivitas juga menurun. (i) Gangguan seksual (libido menurun). (j) Pikiran-pikiran tentang kematian, bunur diri.[18]
Ada gejala lain yang dinamakan depresi terselubung yaitu seseorang yang datang pada dokter dengan keluhan-keluhan fisik. Dalam pemeriksaan ternyata tidak ditemukan kelainan fisik, melainkan gangguan fungsional dari satu atau lebih organ tubuh yang dikeluhkan. Keluhan-keluhan ini bila ditelaah lebih mendalam ternyata merupakan manifestasi dari depresi. Gejala depresi menjadi terselubung dengan gejala (keluhan) fisik tadi.[19]
Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa jarang ada orang yang menunjukkan depresi murni, selalu ada komponen kecemasan yang menyertainya. Sebagai perbandingan berikut ini adalah gejala kecemasan (ansietas) sebagai berikut: (a) Cemas, takut, khawatir. (b) Firasat buruk. (c) Takut akan fikirannya sendiri. (d) Mudah tersinggung. (e) Tegang, tidak bisa istirahat dengan tenang. (f) Gelisah, mudah terkejut. (g) Gangguan tidur dengan mimpi-mimpi yang menegangkan. (h) Gangguan konsentrasi dan daya ingat. (i) Jantung berdebar-debar, dada sesak, nafas pendek. (j) Gangguan pencernaan. (k) Nyeri otot, pegal-linu, kaku, perasaan seperti ditusuk-tusuk, keringat, badan panas/dingin. (l) Mulut kering, sukar menelan seolah-olah ada benda yang menyumbat kerongkongan. (m) Gangguan seksual (libido meninggi), dan lain sebagainya.[20]

2.      Statistik Depresi
Berapa banyak anggota masyarakat di negara kita yang mengalami depresi hingga kini belum ada penelitian ke arah itu. Namun secara asumtif pasien-pasien dengan depresi maupun dengan depresi terselubung semakin banyak jumlahnya (belum ada angka pasti). Kesimpulan ini diperoleh dari pasien-pasien yang berobat di klinik psikiatri baik di rumah sakit pemerintah maupun swasta, dan juga dari semakin meningkat pemakaian obat-obat anti-depresi itu sendiri.
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama dewasa ini. Hal ini amat penting karena orang dengan depresi produktifvitasnya akan menurun dan ini amat buruk akibatnya bagi suatu masyarakat/negara yang sedang membangun. Orang yang mengalami depresi adalah orang yang amat menderita. Depresi adalah penyebab utama tindakan bunuh diri, dan tindakan ini menduduki urutan ke-6 dari penyebab utama kematian di Amerika Serikat.
Penelitian yang dilakukan oleh Kielholz dan Poldinger (1947) menunjukkan bahwa 10% dari pasien yang berobat pada dokter adalah pasien depresi dan separuhnya dengan depresi terselubung. Penelitian lain yang dilakukan oleh Klinik Psikiatri Universitas Basle (1977-1978) di dapat angka 18 %, penelitian di Bavaria (Dilling dkk, 1978) didapat angka 17%. WHO (1974) memperkirakan prevalensi depresi pada populasi masyarakat dunia adalah 3 %.
Sehubungan dengan hal tersebut Sartorius (1974) menaksir 100 juta penduduk dunia mengalami depresi. Angka-angka ini semakin bertambah untuk masa-masa mendatang yang disebabkan beberapa hal, antara lain:  (a) Usia harapan hidup semakin bertambah. (b) Stresor psikososial semakin berat. (c) Berbagai penyakit kronik semakin bertambah. (d) Kehidupan beragama semakin ditinggalkan (masyarakat sekuler).

3.    Psikodinamik Depresi
Salah satu kebutuhan utama manusia adalah kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa aman, dan terlindung, keinginan untuk dihargai, dihormati dan lain-lain kebutuhan afeksional. Seseorang yang kehilangan akan kebutuhan afeksional tersebut (loss of love object) dapat jatuh dalam depresi. Misalnya seseorang kehilangan orang yang dicintai (suami/istri meninggal), kehilangan pekerjaan/jabatan dan sejenisnya, akan menyebabkan orang itu mengalami kekecewaan yang diikuti oleh rasa sesal, bersalah, dan seterusnya yang pada gilirannya orang akan jatuh dalam depresi. Kebutuhan-kebutuhan afeksional itu sudah dimulai dari bayi hingga dewasa, masa tua, dan seterusnya sampai akhir hayat. 
Pemenuhan kebutuhan afeksional amat penting bagi perkembangan jiwa anak, khususnya sewaktu bayi dalam masa balita. Seseorang anak yang tidak mendapatkan afeksi (deprivasi emosional) dalam perkembangan jiwa selanjutnya akan menunjukkan berbagai kelainan kepribadian (personality dirorder). Salah satu bentuk dari deprivasi emosional yang dialami anak adalah kepribadian depresif.

4.      Ciri Kepribadian Depresif
Seseorang yang sehat jiwanya bisa saja jatuh dalam depresi apabila tidak mampu menanggulangi stresor yang dialaminya, dengan gejala-gejala sebagaimana telah diuraikan di muka. Namun, ada juga orang-orang yang memang mempunyai corak kepribadian depresif. Dalam kehidupan sehari-hari meskipun tidak ada stresor, seseorang dengan corak kepribadian depresif menunjukkan sikap antara lain: (a) Pemurung, sulit untuk bisa senang, sulit untuk merasa bahagia. (b). Pesimis menghadapi masa depan. (c). Memandang diri rendah. (d). Mudah merasa bersalah (berdosa). (e). Mudah mengalah, dan lain-lain.

5.      Depresi Pada Pasca Kuasa (Post Power Syndrome)
Orang yang mempunyai jabatan adalah orang yang mempunyai kekuasaan, wewenang, dan kekuatan (power). Orang yang kehilangan jabatan berarti orang yang kehilangan kekuasaan dan kekuatan (powerless) artinya sesuatu yang dimiliki dan dicintai kini telah tiada (loss of love object). Dampak dari loss of love object ini adalah terganggunya keseimbangan (equiblibrium) mental-emosional dengan manifestasi berbagai keluhan fisik, kecemasan, dan terlebih lagi depresi. Keluhan-keluhan tersebut di atas disertai dengan perubahan sikap dan perilaku, merupakan kumpulan gejala yang disebut sindrome. Perubahan sikap dan perilaku tersebut merupakan dampak atau keluhan psikososial dari orang yang baru kehilangan jabatan/kekuasaan.
Kehilangan jabatan/kekuasaan berarti perubahan posisi, yang dahulu merasa kuat kini merasa lemah. Perubahan posisi ini mengakibatkan perubahan dalam alam fikir (rasio) dan alam perasaan (afektif) pada diri yang bersangkutan. Kalau keluhan-keluhan yang bersifat fisik (somatik) dan kejiwaan  (kecemasan/depresi) itu sifatnya ke dalam, tertutup dan tidak terbuka, maka keluhan-keluhan psikososial inilah yang sering menampakkan diri dalam bentuk ucapan maupun sikap dan perilaku, misalnya: (a) Suka mengkritik, merasa dirinya benar. (b) Prasangka buruk, curiga. (c) Mencela, skeptis, merasa diperlakukan tidak adil. (d) Kecewa, tidak puas, perasaan tertekan. (e) Sikap oposan. (f) Suka ngomel, ngedumel, uneg-uneg, dan sebangsanya, yang biasa dilakukan/diucapkan berulang-ulang itu-itu juga.
Keluhan-keluhan psikososial di atas terjadi disebabkan karena perubahan posisi yang mengakibatkan perubahan persepsi dari diri yang bersangkutan terhadap kondisi psikososial di luar dirinya. Guna menghindari rasa kecewa dan tidak senang itu, orang menggunakan mekanisme defensif antara lain berupa mekanisme proyeksi dan rasionalisasi itulah, maka terjadi perubahan persepsi seseorang terhadap kondisi psikososial sekelilingnya.

6.      Perubahan Perilaku Pada Eksekutif
Firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah [2]: 204 sebagai berikut:

“Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras.” (QS. al-Baqarah [2]: 204).[21]

Perubahan-perubahan dalam perilaku, seringkali menunjukkan bahwa seorang eksekutif sedang dalam keadaan stres misalnya keadaan cemas dan depresi. Dalam salah satu seminar tentang Penyesuaian Diri Manusia. Dalam Pergaulan Modern, Dr. O. Connor, psikiater, mengemukakan perubahan-perubahan yang dapat terjadi secara tiba-tiba yang seringkali tanpa disadari oleh eksekutif yang bersangkutan. Berikut ini sekedar contoh dari seseorang eksekutif yang sedang mengalami stres, antara lain: (a) Banyak minum-minum keras dari yang semula tidak minum atau sedikit minum, atau juga merokok berlebihan dari biasanya. (b) Perubahan dalam kebiasaan seksualnya, libido meningkat dalam keadaan cemas, atau menurun dalam keadaan depresi. (c) Kesulitan dalam pengambilan keputusan oleh seorang eksekutif yang semula mampu mengambil keputusan secara tepat dan efisien. Eksekutif yang dalam keadaan stres, biasanya lebih suka mengambil keputusan yang dirasa aman bagi dirinya daripada yang paling baik. (d) Mudah tersinggung dan marah, padahal sebelumnya seorang eksekutif yang ramah dan menyenangkan. (e) Berat badan tiba-tiba bertambah atau bahkan sebaliknya merosot. (f) Tiba-tiba diet atau gemar berolah-raga, namun hanya sementara sifatnya. (g) Perubahan dalam patokan moralitas dan etik, dari seorang eksekutif yang semula jujur dan terbuka, kini menjadi kurang jujur, tertutup dan mulai melanggar etik. (h) Mengelak diri dari tanggung jawab, dari yang semula penuh tanggung jawab. (i) Bersikap atau bereaksi berlebihan dalam menghadapi hal-hal yang kecil. (j) Berkhayal tentang hari-hari depan yang lebih baik dari yang semula berpikiran realistik. (k) Seringkali berbuat kekeliruan-kekeliruan dan melupakan berbagai hal, padahal semula ia seorang eksekutif yang teliti dan dapat dipercaya.[22]

7.      Kecemasan (Anxiety)
Kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa, terancam dan sebagainya. Juga ada segi-segi yang terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan yang tidak menyenangkan itu. Rasa cemas itu terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa, dan ada bermacam-macam pula.[23]
Tetapi bagi orang-orang yang merasakan kehadiran Tuhan dan selalu berusaha dekat dan mengingat-Nya- hati mereka selalu tenang dan terhindar dari kecemasan, sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surah ar-Ra’d [13]: ayat 28 sebagai berikut:
  
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Ra’d [13]: 28).[24]

Gejala kecemasan baik yang sifanya akut maupun kronik merupakan komponen utama bagi hampir semua gangguan psikiatrik. Sebagian dari komponen kecemasan itu menjelma dalam bentuk gangguan panik. Bahkan karena begitu memuncaknya kecemasan pada diri seseorang, seringkali dirasakan sebagai suatu serangan panik (panic attack). Diperkirakan jumlah mereka yang menderita kecemasan akut mapun kronik 5% dari populasi, dengan perbandingan antara wanita dan pria adalah 2 banding 1.[25]
Dalam pengalaman praktek seringkali gangguan phobik luput dari pengamatan, sehingga diagnosa gangguan phobik relatif jarang ditegakkan. Jarangnya gangguan phobik dilaporkan, barangkali disebabkan karena pada umumnya dokter terpaku pada gejala-gejala kecemasannya saja dan gejala psikoneurotik lainnya.[26]
Dari pengalaman klinik psikiatri di Amerika Serikat ditemukan angka sekitar 3% dari pasien-pasien yang di diagnosa kecemasan adalah tergolong gangguan phobik, sedangkan angka untuk gangguan panik belum didapatkan angka yang pasti.
Perasaan cemas yang diderita manusia bersumber dari hilangnya makna hidup, the meaning of life. Secara fitri manusia memiliki kebutuhan akan makna hidup. Makna hidup dimiliki oleh seseorang manakala ia memiliki kejujuran dan merasa hidupnya dibutuhkan oleh orang lain (dan telah) mengerjakan sesuatu yang bermakna untuk orang lain. Makna hidup biasanya dihayati oleh para pejuang- dalam bidang apapun- karena pusat perhatian pejuang adalah pada bagaimana bisa menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan orang lain. Seorang pejuang biasanya memiliki tingkat dedikasi yang tinggi, dan untuk apa yang ia perjuangkannya, ia sanggup berkurban, bahkan kurban jiwa sekalipun.[27]
Meskipun yang dilakukan pejuang itu untuk kepentingan orang lain tetapi dorongan untuk berjuang lahir dari diri sendiri, bukan untuk memuaskan orang lain. Seorang pejuang melakukan sesuatu sesuai dengan prinsip yang dianutnya, bukan prinsip yang dianut orang lain. Kepuasan seorang pejuang adalah apabila ia mampu perpegang teguh pada prinsip perjuangannya, meskipun boleh jadi perjuangannya gagal.[28]
Adapun manusia modern seperti disebutkan di atas mereka justru tidak memiliki makna hidup, karena mereka tidak memiliki prinsip hidup. Apa yang dilakukan adalah mengikuti trend, mengikuti tuntutan sosial, sedangkan tuntutan sosial belum tentu berdiri pada suatu prinsip yang mulia. Orang yang hidupnya hanya mengikuti kemauan orang lain, akan merasa puas tetapi hanya sekejap, dan akan merasa kecewa dan malu jika gagal. Karena tuntutan sosial selalu berubah dan tak ada habis-habisnya maka manusia modern dituntut untuk selalu mengantisipasi perubahan, padahal perubahan itu selalu terjadi dan susah diantisipasi, sementara ia tidak memiliki prinsip hidup, sehingga ia diperbudak untuk melayani perubahan. Ketidakseimbangan itu, dan terutama karena merasa hidupnya tidak bermakna, tak ada dedikasi dalam perbuatannya, maka ia dilanda kegelisahan dan kecemasan yang berkepanjangan. Hanya sesekali ia menikmati kenikmatan sekejap, kenikmatan palsu ketika ia berhasil pentas di atas panggung sandiwara kehidupan.[29]

C.  Terapi Penanggulangan Stres, Depresi, dan Kecemasan.
Firman Allah dalam al-Qur’an Surah Yunus [10]: ayat 57 sebagai berikut:

“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57).[30]
Dalam psikiatri dikenal bentuk terapi yang disebut holistik. Dalam terapi holistik dimaksudkan bentuk terapi yang tidak hanya menggunakan obat dan ditujukan hanyak kepada bentuk gangguan jiwanya saja, melainkan juga mencakup aspek-aspek lain dari pasien. Sehingga pasien diobati secara menyeluruh baik dari segi organobiologik, psikologik, psikososial, maupun spiritual atau dengan kata lain terapi holistik adalah bentuk terapi yang memandang pasien secara keseluruhan (sebagai manusia seutuhnya).[31]
  1. Psikoterapi
Bentuk terapi ini adalah menganut asas-asas psikiatri yang lazim. Tujuan utama jenis terapi ini adalah untuk memulihkan kepercayaan diri (self confidence) dan memperkuat fungsi ego. Dalam wawancara tatap muka ini pasien dapat mengemukakan secara bebas dengan jaminan kerahasiaan segala permasalahan, konflik dan uneg-uneg yang berhubungan langsung atau depresi yang dideritanya. Psikoterapi relatif memerlukan waktu dan biasanya tidak cukup satu atau dua kali konsultasi. Yang mudah dijalankan dan dapat dilakukan oleh dokter umum adalah psikoterapi suportif. Psikoterapi yang lebih mendalam (psikoanalisa) dapat diberikan pada pasien-pasien tertentu saja dan memerlukan keahlian khusus, memerlukan lebih banyak waktu dan relatif mahal.

  1. Psikoterapi Keagamaan
Memberikan psikoterapi dari sudut keagamaan dapat dianjurkan mengingat bahwa sebagian besar pasien-pasien (penduduk) Indonesia beragama. Dalam agama Islam misalnya dapat ditemukan ayat-ayat suci al-Qur’an, hadits Nabi dan pemikir-pemikir Islam yang mengandung tuntunan bagaimana dalam kehidupan di dunia ini manusia bebas dari rasa cemas, tegang, depresi, dan lain sebagainya. Demikian pula dapat ditemukan dalam doa-doa yang pada intinya memohon kepada Allah swt agar dalam kehidupan ini manusia diberi ketenangan, kesejahteraan dan keselamatan baik di dunia maupun kelak di akhirat.
Dengan demikian dianjurkan kepada para dokter (terutama psikiater) untuk mempelajari agama dan mengamalkannya dalam praktek sebagai terapi pelengkap/penunjang. Pengamalan agama di sini dimaksudkan untuk memperkuat iman pasien dan bukan sekali-kali mengubah kepercayaan atau agama pasien.

  1. Tasawuf Sebagai Terapi
Pada awal sejarah Islam, umat Islam mengalami problem psikologis seperti yang dialami masyarakat Barat, maka solusi yang ditawarkan lebih cenderung bersifat religius spirituil, yakni tasawuf atau akhlak. Keduanya menawarkan solusi bahwa manusia itu akan memperoleh kebahagiaan pada zaman apapun jika hidupnya bermakna.[32]
Bagi Achmad Mubarok, tasawuf Islam memiliki semua unsur yang dibutuhkan oleh manusia, semua yang diperlukan bagi realisasi keruhanian yang luhur, bersistem, dan tetap berada dalam koridor syariah. Lagi pula, paket dzikir, wirid, dan suluk dalam tarekat lebih bisa “dipahami” oleh orang terpelajar dibanding paket meditasi Budhis atau Kong Hoe Chu.[33] Menurut pengakuan Achmad Mubarok, selama ia mengikuti pertemuan internasional tarekat, pertama Saresehan tarekat guru se-Dunia (multaqa al-tasawuf al-Islami al-‘Alamy) pada tahun 1995 di Tripoli Libia, yang kedua 2nd International Unity Conference yang diselenggarakan oleh masyikhah Tarekat Naqsyabandiyah Amerika pada tahun 1998 di Washington. Dari dua pertemuan tersebut, tercermin kebutuhan manusia modern kepada Tawasuf. Hal ini mengindikasikan bahwa tasawuf menjadi alternatif bagi masyarakat kontemporer untuk menyeimbangkan kekuatan body, mind, and soul.
Sayyed Hossein Nasr, menegaskan bahwa manusia diciptakan dengan susunan terbaik, tetapi kemudian manusia jatuh pada kondisi terburuk setelah manusia berpisah dan jauh dari asal-usulnya.[34] Jalaluddin Rumi, menyitir dalam gaya bahasanya yang cukup indah, “Kita adalah seruling bambu yang terserabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar adalah jeritan pilu dari pecahan bambu yang ingin kembali ke rumpunnya semula.” Kita akan hidup sebagai bambu sejati bila kita kembali ke tempat awal kita, yakni jalan fitrah.[35] Nah, disinilah urgensinya ajaran tasawuf bagi para da’i yakni-  mengembalikan manusia (mad’u) ke jalan fitrah tersebut. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang tasawuf. Karena tasawuf adalah dimensi batiniah dalam ajarah Islam.

BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan

Salah satu bentuk stres yang dapat menimbulkan gangguan kejiwaan kecuali kecemasan (ansietas) adalah juga yang dinamakan depresi. Baik kecemasan maupun depresi kedua-duanya mempunyai gejala-gejala gangguan fungsi dari organ-organ tubuh yang dipersarafi oleh sistem saraf otonom (misalnya, pernafasan, peredaran darah, pencernaan, seksual, dan lain sebagainya). Gejala fisik maupun psikis (kecemasan dan depresi) seringkali tumpang tindih, tidak ada suatu batasan yang jelas, sehingga seseorang yang mengalami stres dapat diartikan bahwa orang itu memperlihatkan berbagai keluhan-keluhan fisik, kecemasan, dan juga depresi.
Istilah stres dan depresi seringkali tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Setiap permasalahan kehidupan yang menimpa pada diri seseorang (disebut stresor psikologi) dapat mengakibatkan gangguan fungsi (faal) organ tubuh. Reaksi tubuh (fisik) ini dinamakan stres, dan manakala fungsi organ-organ tubuh itu sampai terganggu dinamakan stres. Sedangkan depresi adalah reaksi kejiwaan seseorang terhadap stresor yang dialaminya. Oleh karena dalam diri manusia itu antara fisik dan psikis (kejiwaan) itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya (saling mempengaruhi); maka istilah stres dan depresi dalam makalah ini di anggap sebagai suatu kesatuan. Reaksi kejiwaan lainnya yang erat hubungannya dengan stres adalah kecemasan (anxiety).
Kecemasan (anxiety) dan depresi (depression) merupakan dua jenis gangguan kejiwaan yang satu dengan lainnya saling berkaitan. Seseorang yang mengalami depresi seringkali ada komponen ansietasnya, demikian pula sebaliknya. Manifestasi depresi tidak selalu dalam bentuk keluhan-keluhan kejiwaan (afek disforik), tetapi juga bisa dalam bentuk fisik (gangguang fungsional organ tubuh). Hal yang terakhir ini seringkali disebut pula sebagai depresi terselubung, artinya keluhan-keluhan fisik yang latar belakangnya adalah depresi. Stres dewasa ini sudah semakin populer, tidak saja di kalangan umum, namun juga di kalangan medis istilah ini mulai dipakai. Bahkan ada gejala dari suatu penyakit, cenderung untuk memakai istilah stres sebagai suatu bentuk diagnosa.

B.  Saran-Saran
Dalam mengatasi stres, depresi, dan kecemasan seyogyanya selain terapi holistik- para psikiater dapat menggunakan terapi keagamaan, dalam hal ini bisa juga dengan terapi tasawuf. Meminjam ungkapan Achmad Mubarok bahwa,  relevansi tasawuf secara seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syariah sekaligus. Ia bisa dipahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan tasawuf suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektual  melalui pendekatan tasawuf falsafi. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial manapun dan tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah, yaitu Ka’bah dan secara ruhaniah mereka berlomba-lomba menempuh jalan tarekat melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang satu Allah swt.

DAFTAR PUSTAKA
A.     AL-QUR’AN
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depag RI, 2004.

B.     BUKU
Awwab, Qomaruzzaman, La Tahzan For Teens, Bandung: Mizan Media Utama, 2007.
Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 1968.

Echols, John M., Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1979.

Hawari, Dadang, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997.

Mubarok, Achmad, Jiwa dalam al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, Jakarta: Paramadina, 2000.

----------,“Relevansi Tasawuf dengan Problem Kejiwaan Manusia Modern,” Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: IIMan dan Hikmah, 2002.

Rakhmat, Jalaluddin, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1988.

Amin, Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufism dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999.

B.JURNAL DAN ENSIKLOPEDI

Nasichah, “Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem Kehampaan Spiritual”, Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. X, No. II, Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2003.

The Wold Book Encyclopedia International, Chicago, Illinois: World Book Inc,  1994.

C.INTERNET

“Depresi (Psikologi),”  artikel diakses pada 30 Mei 2013 dari  http://id. wikipedia.org/ wiki/Depresi_(psikologi)
“Stres, Gejala, Penyebab dan Cara Mengatasinya,” artikel diakses pada 30 Mei 2013 dari  http://cherrypa. wordpress.com/ 2012/11/02/ stres-gejala- penyebab-dan-cara-mengatasinya/




[1]Achmad Mubarok, Jiwa dalam al-Qur’an: Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 13.
[2]Lihat, Qomaruzzaman Awwab, La Tahzan For Teens, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h. 15.
[3]Ibid.
[4]Hadits Riwayat Muslim, dalam Shahih Muslim, nomor 2956.
[5]Amin, Syukur, Menggugat Tasawuf; Sufism dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999), h. 26.  
[6]John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979)  h. 561.
[7] The Wold Book Encyclopedia International, (Chicago, Illinois: World Book Inc,  1994), h. 355.
[8]Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), h. 44.
[9]Ibid.
[10]“Stres, Gejala, Penyebab dan Cara Mengatasinya,” artikel diakses pada 30 Mei 2013 dari  http://cherrypa. wordpress.com/ 2012/11/02/ stres-gejala- penyebab-dan-cara-mengatasinya/
[11]The Wold Book Encyclopedia International, h. 355
[12]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an Depag RI, 2004) h. 837.
[13]Stres, Gejala, Penyebab dan Cara Mengatasinya,” artikel diakses pada 30 Mei 2013 dari  http://cherrypa. wordpress.com/ 2012/11/02/ stres-gejala- penyebab-dan-cara-mengatasinya/
[14] The Wold Book Encyclopedia International, h. 355.
[15] John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, h. 176.
[16]Depresi (Psikologi),”  artikel diakses pada 30 Mei 2013 dari  http://id. wikipedia.org/ wiki/Depresi_(psikologi)
[17] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 21.
[18]Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 54-55.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 41.

[22]Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 60-61.
[23] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1968), h. 27
[24] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 341.
[25]Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 62.
[26]Ibid.
[27]Achmad Mubarok, “Relevansi Tasawuf dengan Problem Kejiwaan Manusia Modern,” Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMan dan Hikmah, 2002), h. 171.
[28]Ibid.
[29]Ibid., h. 171-172.
[30] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 289.
[31] Dadang Hawari, al-Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, h. 66-67.
[32] Achmad Mubarok, “Relevansi Tasawuf dengan Problem Kejiwaan Manusia Modern,” h. 175.
[33]Ibid., h. 179.
[34]Jalaluddin Rakhmat, Reformasi Sufistik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1988), h. 142.
[35]Nasichah, “Dakwah Pada Masyarakat Modern; Problem Kehampaan Spiritual”, Da’wah Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan Budaya, Vol. X, No. II, (Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2003), h. 103.

Post a Comment

 
Top