Sumber Gambar: www.suara-islam.com

BAB I
PENDAHULUAN  


Dalam musyawarah ada tujuh manfaat penting, yaitu mengambil kesimpulan yang benar, memperoleh masukan pemikiran, menjaga diri dari kejatuhan, memperoleh kelayakan, terhindar dari penyesalan, mencairkan hati, dan mengikuti tuntunan.
Ali Ibn Abi Thalib

Syura merupakan sistem partisipasi secara kolektif dalam mengeluarkan pendapat dan ketetapan yang berlandaskan al-Qur’an. Syura juga merupakan kerangka bagi bentuk-bentuk hubungan sosial dan kesetiakawanan. Ia adalah suatu cara yang digariskan oleh syariat kita agar umat dapat mencapai tujuannya yang mulia, dan dengan perantaraannya sampai kepada gagasannya yang ideal. Adapun kekuatan yang mendorong ke arah tujuan tersebut ialah akidah yang benar dan syariat yang penuh toleransi.[1]
Pada praktiknya, mabda syura merupakan urat nadi yang dari sela-selanya berjalan dan bergerak pikiran-pikiran kreatif umat dan pendapat individunya dalam kehidupan masyarakat. Adapun syariat dan kandungan-kandungannya berupa kumpulan nilai dan prinsip itulah- yang menciptakan pikiran-pikiran tersebut. Dialah yang mengeluarkan, membersihkan, dan menjadikannya pantas untuk menjadi “air kehidupan” dalam urat nadi, sel-selnya, dan anggota-anggotanya.[2]
Esensi syura adalah pemberian kesempatan kepada anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan yang mengikat, baik dalam bentuk aturan-aturan hukum ataupun kebijaksanaan politik. Ini biasa dipahami dari ungkapan yang dipergunakan yakni syawir, bentuk imperatif dari kata kerja syawara-yusyawira, yang berimplikasi-agar pemimpin masyarakat meminta pendapat dari mereka yang mempunyai kepentingan pada masalah yang dihadapi.[3]
Syura adalah bagian integral dari Islam dan bahwa pada prinsipnya syura mencakup semua lingkungan kehidupan umum, dan bahkan pribadi, kaum Muslim. Kita juga mendapati dalam al-Qur’an, ayat tentang perlunya menjalankan musyawarah disejajarkan dengan acuan kepada pilar-pilar Islam, seperti keimanan, shalat, dan zakat. Hal ini, sekali lagi, dijadikan sebagai bukti bahwa syura diperlukan dengan dasar yang serupa, dan diberi tempat yang sama pentingnya dalam pengaturan masalah-masalah sosial dan politik masyarakat Muslim. Jadi, menurut al-Bahi, ketentuan Qur’ani disampaikan dalam terma-terma yang tidak hanya berisikan masalah-masalah pemerintahan tetapi juga mengenai hubungan dalam keluarga, antartetangga, antara mitra dalam bisnis, antara majikan dan pekerja, dan sebenarnya semua aspek kehidupan di mana ia dianggap bermanfaat bagi masyarakat.[4]

BAB II
PEMBAHASAN  
A.      Pengertian Syura
Kata “syura” berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan, dan mengambil sesuatu. Bentuk-bentuk lain yang berasal dari kata kerja syawara adalah asyarah (memberi isyarat), tasyawara (berunding, saling bertukar pendapat), syawir (meminta pendapat, musyawarah), dan mustasyir (meminta pendapat orang lain). Syura atau musyawarah adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar pendapat mengenai suatu perkara.[5]
Sedangkan menurut Ibn Manzur, dalam Lisan al-‘Arab syura secara etimologis berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.[6] Sejalan dengan pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini semakna dengan perngertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia.[7] Dengan demikian, keputusan yang diambil berdasarkan syura merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kepentingan kehidupan manusia.[8]

B.       Al-Qur’an sebagai Dasar Utama bagi Prinsip Syura
Kata syura dalam al-Qur’an di ungkap dalam berbagai konteks. Pertama, dalam al-Qur’an Surah, al-Baqarah [2]: ayat ke- 233 sebagai berikut ;

Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2]:  233).

Dalam konteks ayat ini, diungkap pembicaraan tentang menyapih anak yang masih menyusu sebelum anak itu berumur dua tahun. Menyapih anak yang usianya belum sampai dua tahun boleh dilakukan dengan syarat ada kerelaan dan telah dimusyawarakan di antara suami dan istri. Di dalam Tafsir al-Manar dijelaskan bahwa ayat di atas mengandung ajaran bahwa orang tua memiliki tanggung jawab bersama dalam menentukan apakah penyusuan anak dilangsungkan terus sampai sempurna masa penyusan, yakni dua tahun, atau dihentikan sebelumnya.[9]
Menurut al-Qurthubi, uangkapan fa in arâda fishâlan dan wa tasyâwurin dalam QS. al-Baqarah [2]: 233, menunjukkan bahwa suatu persoalan keluarga yang tidak diatur dengan dalil yang pasti, termasuk di dalam lapangan ijtihad. Dalam hal ini musyawarah di antara suami-istri jelas termasuk dalam kategori ijtihad.[10]
Sementara itu, Rasyid Ridha menjelaskan bahwa ajaran musyawarah dalam ayat ini mengandung nilai pendidikan. Artinya, Tuhan bermaksud menanamkan suatu pola interaksi bagi hubungan suami-istri yang sehat, yang tercermin dari sikap keduanya dalam mengambil keputusan. Oleh karena itu, kebiasaan bermusyawarah yang dimulai dari keluarga sebagai unit sosial terkecil di masyarakat akan menjadi landasan bagi terbinanya kebiasaan bermusyawarah dalam unit sosial yang lebih besar dan rumit, yaitu negara.[11]

Kedua, dalam Qur’an surah, asy-Syura [42]: ayat ke- 38 sebagai berikut :
   
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah (syura) antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Ayat ini mengandung pujian atas orang-orang yang menerima seruan Allah Swt, yang dibawa Nabi Muhammad Saw, mendirikan shalat dengan baik dan benar, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang mereka peroleh. Bermusyawarah merupakan sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah Swt, karena hal itu bernilai ibadah.
Disamping itu ayat ini, juga membicarakan mengenai ciri-ciri orang beriman. Ciri-ciri yang dimaksud adalah 1) taat dan patuh kepada Allah, 2) menunaikan shalat, 3) menghidupkan musyawarah, dan 4) berjiwa dermawan.
Ar-Razi (penulis at-Tafsîr al-Kabîr) menjelaskan bahwa kalimat wa amruhum syurâ  bainahum dalam QS. asy-Syura [42]: 38 mengandung pengertian bahwa praktik musyawarah merupakan suatu tradisi yang telah berlangsung lama di kalangan umat beriman bangsa Arab.[12]

Ketiga, dalam konteks perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw. Agar berlaku lemah lembut dan senantiasa bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya, sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’an Surah Ali Imran [3]: ayat ke- 159 sebagai berikut;


“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkan ampun kepada Allah untuk mereka serta bermusyawarahlah dalam (memutuskan) suatu urusan. Apabila kamu telah bertekad bulat (dengan keputusan tersebut) maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Surah Ali Imran [3]: 159).

Ayat ini diturunkan setelah Perang Uhud. Ketika itu, Nabi saw. Kecewa atas tindakan tidak disiplin sebagian sahabat dalam pertempuran yang mengakibatkan kekalahan di pihak Nabi. Melalui ayat ini Allah swt. Mengingatkan Nabi bahwa dalam posisinya sebagai pemimpin umat, ia harus tetap bersikap lemah lembut terhadap para sahabatnya, memaafkan kekeliruan mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam urusan-urusan mereka.
Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir at-Tabari, dalam menafsirkan ayat di atas, menyatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt menyuruh Nabi Saw untuk bermusyawarah dengan umatnya tentang urusan yang akan dijalankan supaya mereka tahu hakikat urusan tersebut dan agar mereka mengikuti jejaknya. Namun kewajiban melaksanakan musyawarah bukan hanya dibebankan kepada Nabi Saw, melainkan juga kepada tiap orang mukmin, sekalipun perintah ayat tersebut ditujukan kepada Nabi Saw, artinya, perintah yang terkandung dalam ayat tersebut juga berlaku umum. Dalam masyarakat modern yang ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga politik, pemerintahan dan masyarakat, maka lembaga-lembaga ini menjadi subjek musyawarah;  para pemimpinnya dibebani kewajiban mengadakan musyawarah dengan melibatkan para anggotanya atau rakyat untuk membicarakan masalah yang mereka hadapi.

C.  Prinsip Syura dalam Sunnah
Buku-buku tentang sejarah Nabi dan Sunnah Nabi menekankan bahwa Rasulullah saw, telah menjadikan tukar menukar pendapat dengan para sahabat beliau sebagai karakternya, hingga Abu Hurairah r.a. berkata tentang beliau, “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak melakukan musyawarah dengan rekan-rekannya melebihi Rasulullah saw.”[13] Maka sesungguhnya perbuatan-perbuatan Nabi saw, telah meyakinkan prinsip syura dalam segala bentuk-bentuknya, artinya dalam pengertian yang universal yang mencakup syura bebas dan syura yang harus yang harus dipegang teguh.
Menurut Taufik Muhammad Asy-Syawi, sebagian dari sikap Nabi saw, yang paling penting dan praktis, yang bisa dijadikan pedoman mengenai wajibnya syura dalam kerangka sistem pemerintahan dan memilih penguasa, ialah bahwa ketika beliau sakit menjelang wafat, sebagian dari para sahabat beliau menunggu-nunggu beliau memberi pesan tentang siapa yang harus menjadi pengganti beliau. Banyak orang berkeyakinan bahwa beliau tidak berwasiat mengenai itu memang disengaja, demi membiarkan umat agar bermusyawarah mengenai urusan kaum muslim, dan agar mereka memilih sendiri siapa yang akan diangkat menjadi pengganti Nabi saw, dengan jalan syura, demi mengokohkan mabda syura sebagai kaidah bagi sistem negara dan masyarakat. Hal ini benar-benar telah terjadi dengan ijmak pada Hari Saqifah (musyawarah para sahabat di ruang pertemuan bernama Saqifah). Hasilnya ialah kesepakatan (ijmak) kaum muslim untuk mendirikan pemerintahan Islam dengan jalan syura dipimpin oleh orang yang mereka pilih dari mereka sendiri. Mereka juga memberi kuasa penuh padanya untuk mengatur berbagai urusan mereka dengan baiat bebas, yang pada akhirnya mereka memilih Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai pemimpin pertama bagi pemerintahan itu.[14]
Para sahabat Nabi itu memilih pemimpin tertinggi berdasarkan tiga kreteria diantaranya;
1.        Pemilihan bebas tanpa adanya ikatan wasiat dengan hakim sebelumnya. Hal itu tergambar sebagaimana dalam pemilihan khalifah atau pengganti Rasul Saw, yang mana para sahabat terkemuka berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Mereka memusyawarahkan masalah ini, siapa yang layak menjadi khalifah. Apakah dari kaum Muhajirin atau dari kaum Anshor. Setelah terjadi perdebatan yang panjang, kemudian ditetapkanlah sebuah keputusan bahwa yang menjadi khalifah dari kaum Quraish.

2.        Pemberian wasiat dari khalifah pada khalifah sesudahnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar mengajukan Umar Ibn Khattab menjadi khalifah.

3.        Khalifah hendaknya mencalonkan beberapa orang- agar para pemilih dapat memilih salah seorang diantara para calon pemimpin, dengan pemilihan yang adil, transparan, dan terpercaya.[15]

D.  Objek Syura
Mengenai objek musyawarah para mufasir berbeda pendapat. Menurut Muhammad Rasyid Rida (pengarang Tafsir al-Manar), objek yang dimusyawarahkan hanya yang berkaitan dengan urusan dunia, bukan urusan agama. Sebab kalau urusan agama, seperti keyakinan, ibadah, dan hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah Swt dimusyawarahkan, itu berarti ada campur tangan manusia di dalamnya, padahal masalah-masalah itu telah disyariatkan oleh Allah Swt. Tetapi bagi at-Tabari, Fakhruddin ar-Razi, Muhammad Abduh dan al-Maraghi, urusan yang dimusyawarahkan bukan hanya masalah-masalah keduniaan, melainkan juga masalah-masalah keagamaan, sebab banyak timbul masalah sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, keluarga, dan sebagainya yang pemecahannya memerlukan jawaban dari agama.[16]
Dari pemahaman ini, dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang sudah baku dan rinci diuraikan oleh Allah dan Rasul-Nya tidak mendapat tempat untuk dimusyawarahkan. Karenanya, Islam tidak membenarkan melakukan musyawarah dalam masalah-masalah seperti dasar-dasar keimanan atau ibadah kepada Allah. Ini merupakan otoritas Allah sepenuhnya. Sebaliknya, terhadap masalah-masalah yang dijelaskan Allah dan Rasul-Nya secara global dan umum atau yang tidak dijelaskan sama sekali, maka umat Islam diperintahkan untuk melakukan musyawarah sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebagai contoh, musyawarah dilakukan dalam menentukan kebijakan-kebijakan publik, seperti menetapkan hukum pajak, perdagangan, dan lain-lain.[17]

E.       Subjek Syura
Dalam hal subjek syura, dengan siapa musyawarah tersebut dilakukan, Nabi, sebagaimana dikutip Quraish Shihab, pernah menasihatkan kepada Ali:

“Wahai Ali, jangan bermusyawarah dengan orang penakut, karena dia mempersempit jalan keluar. Jangan juga dengan orang kikir, karena dia menghambat engkau dari tujuaanmu. Juga tidak dengan yang berambisi, karena dia akan memperindah untukmu keburukan sesuatu. Ketahuilah wahai Ali, bahwa takut, kikir, dan ambisi merupakan bawaan yang sama. Semuanya bermuara pada prasangka buruk kepada Allah.”[18]
Adalah suatu kenyataan bahwa tidak semua manusia mempunyai kemampuan intelektual dan ketajaman pemikiran. Karena itu, tidak mungkin musyawarah dilakukan dengan menghimpun seluruh manusia dan meminta pendapat mereka tentang suatu masalah. Nabi sendiri dalam melakukan musyawarah lebih banyak mengikut sertakan sahabat-sahabat senior atau sahabat-sahabat tertentu saja yang memang mempunyai pandangan dan pemikiran yang tajam. Karena itu, para ulama memandang bahwa musyawarah ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai ilmu yang mendalam dan ketajaman pemikiran. Mereka, sesuai dengan surat an-Nisa, [4]: 59 disebut dengan ulu al-amr. Merekalah yang akan melakukan musyawarah mencari terhadap permasalahan yang dihadapi umat Islam.
Al-Mawardi dan para ulama Sunni pada umumnya menamakan orang yang melakukan musyawarah dengan ahl al-hall wa al-‘aqd (orang yang berhak melepas dan mengikat). Maksudnya adalah orang yang dapat memutuskan sesuatu atau membatalkannya. Sementara Ibn Taimiyah menamakan mereka dengan ahl al-syaukah. Namun pada hakikatnya, kedua istilah ini menunjukkan suatu kelompok dalam masyarakat yang dapat dijadikan sebagai “tempat untuk bertanya” dan rujukan demi kepentingan masyarakat tersebut. Kelompok ini setidaknya terdiri dari orang-orang yang berpengaruh di dalam masyarakat, terutama karena pengetahuan mereka yang mendalam dan perhatian mereka yang besar terhadap kepentingan masyarakat. Dengan demikian, ahl- al-hall wa al-‘aqd atau ahl al-syaukah dapat dikatakan sebagai wakil masyarakat untuk memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat bersangkutan sehingga tercapai kemaslahatan hidup mereka.

F.   Tata Cara Syura
Tentang bagaimana etika musyawarah dilakukan, surat Ali ‘Imran [3]: 159 barangkali dapat dijadikan sebagai rujukan. Ayat ini menunjukkan tiga sikap yang diperintahkan Allah kepada Nabi Muhammad dalam melakukan musyawarah. Pertama, lemah lembut. Sikap ini penting, terutama bagi seorang pemimpin. Sikap yang kasar dan mau menang sendiri bisa membuat mitra yang diajak bermusyawarah tidak menaruh simpati dan melakukan aksi walk out. Akibatnya, musyawarah tidak dapat mencapai maksud yang diinginkan. Kedua, memberi maaf. Dalam munsyawarah tidak tertutup kemungkinan terjadi argumentasi yang alot dan menegangkan. Keadaan ini bisa mengakibatkan tersinggungnya satu pihak terhadap pihak yang lain. Hal ini harus dihadapi dengan sikap dingin dan terbuka. Makanya kita sering mendengar ungkapan tentang musyawarah seperti, “Hati boleh panas, tetapi kepala harus tetap dingin.” Ini mengisyaratkan bahwa dalam musyawarah akal pikiran kita harus tetap terpelihara secara jernih, sehingga terhindar dari sikap emosional. Sebab, kalau emosional yang muncul, musyawarah pun bisa berubah menjadi ajang pertengkaran, sehingga tidak menghasilkan apa-apa selain permusuhan dan dendam. Oleh sebab itu, Allah mengajarkan etika bahwa dalam musyawarah masing-masing pihak harus siap untuk saling memaafkan. Ketiga, yang perlu diperhatikan dari ayat di atas adalah hubungan vertikal dengan Allah. Musyawarah harus diiringi dengan permohonan ampunan kepada-Nya, supaya hasil yang dicapai betul-betul yang terbaik untuk semua. Barulah setelah dicapai kepakatan, semua hasil tersebut diserahkan kepada Allah (tawakkal). Manusia telah merencanakan, sesuai dengan kemampuan dan keputusan mereka. Karena itu, dalam pelaksanaannya, Allah memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya.[19]
Sedangkan bagaimana cara melakukan musyawarah, Allah tidak menentukan secara rinci. Ini diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Dalam satu pemerintahan atau negara,  boleh saja musyawarah ini dilakukan dengan membentuk suatu lembaga tersendiri, seperti parlemen atau apa pun namanya. Dalam lembaga ini boleh jadi para anggotanya melakukan musyawarah secara berkala pada periode tertentu atau sesuai dengan permasalahan yang terjadi. Keanggotaan lembaga ini juga bisa dibatasi jangka waktu tertentu yang disepakati bersama.
Dalam pengambilan keputusan, tidak berarti suara terbanyak mutlak harus diikuti. Ada kalanya keputusan diambil berdasarkan suara minoritas. Sebagai contoh, Khalifah Abu Bakr pernah mengabaikan suara mayoritas dalam masalah sikap terhadap para pembangkang zakat. Sebagian besar sahabat senior yang dimotori ‘Umar berpendapat bahwa orang-orang yang menolak membayar zakat kepada Abu Bakr tetap muslim dan tidak usah diperangi. Sementara sebagian kecil sahabat berpendapat supaya mereka diperangi. Abu Bakr mengambil pendapat yang kedua. Pendapat ini akhirnya disetujui oleh “forum” dan Abu Bakr pun memerangi mereka. Pada pemerintahan ‘Umar, beliau pernah menolak pendapat mayoritas tentang pembagian rampasan perang berupa tanah Sawad (Irak). Sebagian besar sahabat yang diwakili oleh Bilal Ibn Rabah dan ‘Abd al-Rahman Ibn ‘Awf berpendapat supaya tanah tersebut dibagi-bagi. Sedangkan sebagian kecil sahabat berpendapat supaya tanah tersebut dibiarkan tetap pada pemiliknya dan umat Islam hanya memungut pajaknya saja. Akhirnya, melalui adu argumentasi yang cukup menegangkan, ‘Umar memenangkan pendapat kedua.

G.      Manfaat Syura
Syura timbul dari akidah tauhid ketuhanan yang mengkhususkan Allah Swt, berikut syariat langit-Nya dengan kekuasaan yang bersih dari ciri-ciri khas manusia seluruhnya. Dalam hal ini akidah tauhid melarang manusia menjadikan dirinya berkuasa dan memiliki kekuasaan mutlak terhadap manusia seluruhnya dan terhadap penguasa seluruhnya, baik mereka itu sebagai individu atau jamaah, mewakili mayoritas atau minoritas, karena mereka sebenarnya pada syariat ketuhanan dan pengawasannya. Maka penganalogian syura atas demokrasi tidak boleh lantas menimbulkan sikap pura-pura tidak mengetahui hubungannya dengan tauhid atau menghilangkan ketundukannya kepada syariat dan apa saja yang timbul dari kedua sifat ini. Dan yang perlu diingat adalah relativitas ketetapan-ketetapan manusia termasuk wewenang manusia seluruhnya.[20]
Menurut Syekh Syaltut, syura merupakan salah satu cabang dari kerja kerjasama dalam tanggungjawab sosial, yang menurutnya cabang inilah yang asli (pokok). Dari cabang ini dipecah lagi menjadi dua bagian- yaitu; takaaful-maali wal-iqtishadi (jaminan harta dan ekonomi) dengan cara memberi andil dalam mendirikan lembaga-lembaga kehartaan umum jamaah dan untuk menutup kebutuhan orang-orang yang memerlukannya; inilah dasar diwajibkannya zakat. Adapun bagian yang kedua untuk takaful ialah apa yang dinamakan takaaful-adabi, yang artinya, menurut pendapat Syekh Syaltut, ialah kerja sama individu masyarakat dalam nasihat, bimbingan, pengarahan, pengajaran, dan dalam menetapi prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar. Bagian yang kedua inilah, menurut Syekh Muhammad Abduh, sebagai fondasi syura. Oleh karena itu, Rasulullah Saw, mewajibkan tukar-menukar pendapat, nasihat, dan memberi nasihat kepada semua orang melalui sabdanya, “Agama adalah nasihat. “Kami bertanya, “Untuk siapa Rasulullah? Beliau menjawab, “Untuk Allah, Rasul-Nya, Kitabnya, imam kaum muslim dan umumnya orang dari mereka.[21]
          Bahkan al-Qur’an menyatakan bahwa saling memberi nasihat, bertukar pendapat, dan syura adalah saling memberi wilayah (perlindungan). Hal ini tercantum dalam firman-Nya;

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah [9]: 71
             
Jadi takaaful-ijtima’i (jaminan sosial) yang mencakup syura dalam berpendapat- di samping adanya takafulul-mali (jaminan harta) dalam infak atas urusan masyarakat dan menutup kebutuhan orang-orang yang memerlukannya, sebagaimana pendapat Syekh Syaltut- adalah yang asli (pokok), dan inilah dahulu yang menjadi dasar untuk mempersaudarakan sesama muslim. Praktik ini telah dimulai oleh Nabi Saw, ketika mempersaudarakan antara sahabat Muhajirin dan Anshar pada waktu beliau sampai di Madinah. Maka tidak diragukan bahwa menentukan mabda syura sebagai salah satu cabang dari kerja sama sosial- yang sampai ke derajat persaudaraan yang dihasilkan oleh akidah Islam dan diwajibkan- bertujuan agar kerja sama merupakan buah dari akidah dan berkaitan dengannya.[22]

H.      Keutamaan Syura dalam Berdakwah
Kaum Muslim adalah umat terbaik yang ditampilkan untuk masyarakat. Untuk membuktikannya, umat Islam dituntut senantiasa menjaga kehidupan ini dari kejahatan dan kerusakan. Untuk menjalankan tugas mulia sekaligus tugas berat, seorang pemimpin yang merupakan bagian dari umat hendaklah berada pada posisi terdepan dalam menyeru ke jalan Allah melalui kebijakan-kebijakannya yang merupakan implementasi dari al-amru bil-ma’ruf wan- bahyu ‘anil munkar, seperti dalam Qur’an Surah, Ali- ‘Imran [3]: 110;[23]
   
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali- ‘Imran [3]: 110).
           
            Menurut Muhammad Abduh, bahwa ayat-ayat al-Qur’an mengenai amar ma’ruf nahi munkar adalah dasar wajibnya syura dan komitmen terhadapnya. Pernyataan ini merupakan jawaban yang tegas bagi orang-orang yang membantah tentang kewajiban berkomitmen dalam ketetapan-ketetapannya, atau membuat ragu orang dalam hal itu. Karena mabda amar ma’ruf dan nahi munkar dengan keuniversalannya mewajibkan atas seluruh individu agar mewakili jamaah dalam memerintah dan melarang sesuatu yang harus ditetapi. Bahkan lebih dari itu, mabda ini mewajibkan kepada mereka agar mengambil tindakan praktis dalam bentuk perintah dan larangan, untuk mencegah kemunkaran dan menetapi kebaikan.[24]
Dalam perspektif al-Qur’an, umat Islam harus mempunyai power atau kekuatan yang mempunyai legalitas untuk memerintah dan mencegah, kekuatan tegak dan berpihak kepada dakwah untuk menyeru kepada kebaikan dan mencegah kejahatan. Kenapa dakwah membutuh kekuatan? Sebab, dakwah dalam karakternya akan berhadapan dengan hawa nafsu, tarik menarik kepentingan golongan oportunis, kesombongan dan keangkuhan penguasa. Dakwah juga akan berhadapan dengan masyarakan yang didalamnya terdapat orang zalim serta benci terhadap keadilan. Ada manusia yang senantiasa cenderung kepada kemaksiatan serta benci dengan istiqamah (konsisten terhadap ajaran Islam). Dalam masyarakat juga terdapat kelompok-kelompok yang ingkar terhadap yang ma’ruf dan senang dengan yang munkar serta mempertahankannya.
Jika kondisi masyarakat demikian, maka umat Islam dan umat manusia secara keseluruhan tidak akan beruntung, kecuali jika kebajikan lebih dominan dan lebih mengemuka serta yang ma’ruf benar-benar ma’ruf dan yang munkar benar-benar munkar. Ini semua menuntut adanya sesuatu yang sangat primer yaitu power atau kekuatan untuk kebaikan dan kebajikan, yang mempunyai legalitas untuk memerintah dan mencegah. Harus ada di antara satu kelompok yang mempunyai fungsi dan peranan amar ma’ruf dan nahi munkar, tidak lain adalah yang mempunyai power, kekuatan, dan termasuk unsur pimpinan, baik yang formal maupun non formal. Seperti anjuran dalam al-Qur’an Surah, al-‘Imran [3]: 134;

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. al-‘Imran [3]: 134).
         
            Oleh karena itu, menurut Taufik Muhammad Asy-Syawi, harus ada ketetapan yang dikeluarkan jamaah atau umat melalui syura untuk mengatur bagaimana amar ma’ruf dan nahi munkar dapat dilaksanakan demi menghalangi terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh para penguasa atau pun individu-individu.

BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa musyawarah merupakan esensi ajaran Islam yang wajib diterapkan dalam kehidupan seosial umat Islam. Karena syura adalah metode pengambilan keputusan dalam berbagai persoalan umat manusia berdasarkan al-Qur’an dan tuntunan Sunnah. Aksentuasi pada aspek metodologis ini dapat dipahami kalau dikaitkan dengan kenyataan bahwa musyawarah merupakan aspek fitrah manusia, yang dalam hal ini merupakan konsekuensi dari kodrat ketergantungan yang dimiliki manusia.
Musyawarah dapat dilakukan dalam hal-hal apa saja asalkan tidak bertentangan dengan prinsip umum syari’at Islam. Di samping itu, karena melibatkan kalangan ahli yang mempunyai pandangan jauh ke depan, maka hasil keputusan musyawarah akan lebih mendekati kesempurnaan. Dan karena diputuskan secara bersama, masing-masing pihak merasa bertanggung jawab terhadap hasil musyawarah itu.
Di samping itu, objek yang dimusyawarahkan bukan hanya masalah-masalah keduniaan, melainkan juga masalah-masalah keagamaan, sebab banyak timbul masalah sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, keluarga, dan sebagainya yang pemecahannya memerlukan jawaban dari agama.
Dalam kaitannya dengan dakwah Islamiyah- meminjam ungkapan Taufik Muhammad Asy-Syawi,  harus ada ketetapan yang dikeluarkan jamaah atau umat melalui syura untuk mengatur bagaimana amar ma’ruf dan nahi munkar dapat dilaksanakan demi menghalangi terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh para penguasa atau pun individu-individu.

DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syawi, Tuafik Muhammad , Fiqhusy Syura wal-Istisyarat, Terj. Djamaluddin  Kairo: Dar-  al Wafa’, 1992.

Badan Litbang dan Diklat Depag, Tafsir al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, Seri. III, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Cet. I, 2009.

Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, Vol. V, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994.

Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 2001.

Ismail, Achmad Satori, Sepuluh Pilar Da’wah; di Era Globalisasi, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2003.

-------,  Tangan-Tangan Imperialisme Modern, Jakarta: Pustaka Tarbiatuna, Cet. I, 2001.

Kamali, Mohammad Hashim, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, Bandung: Mizan, Cet. I, 1994.

Manzur, Ibn, Lisan al-‘Arab, Vol. IV, Beirut: Dar al-Shadir, 1968.

Shihab, M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an; Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.

Ulyan,  Syaukat Muhammad, as-Tsaqafah al-Islamiyah wa Tahdiyatu al-Ashri, Riyad: Dar-ar-Rasyid, Cet. I, 1981.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               
                                                                                   


[1]Taufik Muhammad,  Asy-Syawi, Fiqhusy Syura wal-Istisyarat, terj. Djamaluddin (Kairo: Dar-  al Wafa’, 1992), hal.  56.
[2] Ibid., hal. 56-57.
[3] Badan Litbang dan Diklat Depag, Tafsir al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, Seri. III, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Cet. I, 2009), hal. 222.
[4] Mohammad Hashim Kamali, Kebebasan Berpendapat dalam Islam, (Bandung: Mizan, Cet. I, 1994), hal. 61.
[5] Dewan Editor, Ensiklopedi Islam, Vol. V, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet. III, 1994),  hal. 18.
[6] Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Vol. IV, (Beirut: Dar al-Shadir, 1968),  hal. 434.
[7] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal. 469.
[8] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah; Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. I, 2001), hal. 184.
[9] M. Quraish Shihab dkk, Ensiklopedia al-Qur’an; Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 967.
[10] Ibid., hal. 967.
[11] Ibid., hal. 967.

[12] Ibid., hal. 967.
[13] Lihat, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul- Ma’ad fi Huda  Khairil ‘Ibad, Kairo: juz 1, h. 6 dan 85. Lihat juga, Taufik Muhammad Asy-Syawi, Fiqhusy Syura wal-Istisyarat, terj. Djamaluddin (Kairo: Dar-  al Wafa’, 1992), hal.  56.
[14] Ibid., hal. 95.
[15] Syaukat Muhammad Ulyan, as-Tsaqafah al-Islamiyah wa Tahdiyatu al-Ashri, (Riyad: Dar-ar-Rasyid, Cet. I, 1981), hal. 329.
[16] Dewan, Editor, Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 19
[17] Muhammad Iqbal, op. cit., h. 185
[18] M. Quraish Shihab, op. cit., h. 480
[19] Lihat M. Quraish Shihab, op. cit., hal. 474-475.
[20] Taufik Muhammad Asy-Syawi, op. cit., hal. 115.
[21] Ibid., hal. 120.
[22] Ibid., hal. 121.
[23]Badan Litbang dan Diklat Depag, Tafsir al-Qur’an Tematik: Etika Berkeluarga, Bermasyarakat, dan Berpolitik, Seri. III, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Cet. I, 2009), hal. 226-227.
[24] Taufik Muhammad Asy-Syawi, op. cit., hal. 77.

Post a Comment

 
Top