Belanda, perang pada tahun 1821 dengan segala kekuatan yang
ada baik di Nusantara maupun di Negeri Belanda. Bertekad menghukum Palembang
sekaligus menunjukkan supremasinya kepada daerah-daerah lain di Nusantara. Kekuatan
berlebihan (overmacht) yang dipersiapkan
Belanda. Sebenarnya dapat diimbangi,
oleh kekuatan Palembang pada tahun 1821. Seandainya, Palembang dapat mengatasi:
Pertama, tidak adanya divide et impera. Kedua, menyadari tipu muslihat dan sikap Machiavelist dari De Kock.
Perang tahun 1819 dan 1821, adalah perang yang lingkupnya tidak hanya
terbatas melibatkan penduduk
Sumatera Selatan, tetapi
juga mendapat dukungan dari
Jambi, Riau, Bugis,
Kerinci, Minangkabau, dan keturunan Arab dan Cina.
Dalam peperangan tahun 1819 dan 1821, nampaklah ke agungan
dan kegagahan Sultan Mahmud Badaruddin II. Fakta ini juga termasuk perang
melawan Inggris tahun 1812, yaitu tidak pernah membuat pernyataan tertulis
dalam menyerahkan kekuasaannya kepada saudara dan keponakannya yang mengambil
alih kekuasaannya. Oleh karena itu, legitimasi kerajaan tetap dipegangnya
sampai akhir hayat. Perang tahun 1821 adalah anti klimaks dari kejayaan
Palembang Darussalam dalam menghadapi Belanda pada peristiwa-peristiwa tahun
1811.[1]
Sikap pembawaan dan wibawa seorang pejuang yang anti
imperialis dan anti kolonialis itu tetap dihayati sampai akhir usianya, seperti
yang dialami Gubernur Jenderal van der Capellen yang menyempatkan diri singgah
di Ternate dalam perjalanan kelilingnya ke Maluku dan tercatat dalam buku
hariannya berbunyi: “Sultan Mahmud Badaruddin II sama sekali tidaklah biadab,
dalam peperangan ia tahu mempertahankan kedudukannya dan ia benar-benar sifat
sebagai raja”.
Di tempat pengasingan Sultan Mahmud Badaruddin II dan
keluarganya serta sanak famili terdekat disediakan suatu komplek perkampungan
yang dikenal dengan nama kampung
dan Jalan Palembang.
Sekarang menjadi kompleks kantor Bank Indonesia dan tidak jauh
dari sana terdapat kompleks pemakaman terbuka almarhum Sultan Mahmud Badaruddin
II dan keluarga.
Sultan Mahmud Badaruddin II dikenal rakyat Ternate sebagai
Sultan Ternate karena beliau semasa hayatnya memang diakui sebagai Sultan
sewaktu Kesultanan Ternate dikala itu sedang vakum, khawatir akan pengaruh
Sultan Mahmud Badaruddin II seperti keadaan beliau di Palembang lalu Sultan
Ternate dikembalikan dari tempat pengasingannya. Selama masa pengasingan di
Ternate, Sultan Mahmud Badaruddin II banyak melakukan ibadah. Beliau
melaksanakan amal ibadah dengan tekun dan taat. Penduduk pulau Ternate terkenal
sebagai penganut Islam yang taat. Kesultanan Ternate dan Tidore adalah dua
Kerajaan
Islam
terbesar di Maluku.[2]
Sultan Mahmud Badaruddin II tidak kalah perang, tetapi telah
diperdaya oleh De Kock. Sultan Mahmud Badaruddin II juga tidak pernah menyerah
dan tidak pernah membuat suatu perjanjian baik merupakan lange verklaring
(kontrak jangka panjang) maupun korte verklaring (kontrak jangka pendek) dengan
Belanda.[3]
Post a Comment