![]() |
Sumber Gambar: |
Seni bangun yang
berjiwa Islam Indonesia amat miskin. Hampir tidak ada bangunan Islam yang
menunjukkan keagungan Islam setaraf dengan bangunan bersejarah di negara Islam
lain. Di samping itu, Indonesia tidak memiliki corak tersendiri seperti Ottoman style, India Style,
dan Syiro Egypto style. Meskipun agama Islam sudah lebih lama di Indonesia.
Dalam seni bangun Islam Indonesia, pada garis besarnya mempunyai dua corak,
yaitu asli dan baru.
Pada abad ke-16 agama
Islam sudah tersebar luas di Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera. Kegiatan
keagamaan diadakan di masjid atau mushalla. Model masjidnya berbeda dengan
bentuk masjid negara Islam lainnya. Mungkin karena berdekatan masa, bentuk masjid
di Indonesia pada mulanya banyak dipengaruhi oleh bangun Indonesia-Hindu.
Masjid tertua yang memperlihatkan ragam seni bangun itu, misalnya Masjid Demak,
Kudus, Cirebon, Banten, dan Ampel. Di masjid-masjid itulah menurut sejarah,
para wali mengajarkan agama Islam. Bentuk masjid itu menjadi model bagi
masjid-masjid yang lain. Ciri-ciri model seni bangunan lama masjid-masjid yang
lain. Ciri-ciri model seni bangunan lama yang merupakan peniruan dari seni
bangun Hindu-Budha itu adalah sebagai berikut.
Pertama,
atap
tumpang yaitu atap
yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya
semacam mahkota. Selalu bilangan atapnya ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga
atau lima. Atap tumpang ini terdapat juga di Bali pada upacara ngaben atau
relief candi Jawa Timur. Kedua, tidak ada menara karenanya pemberitahuan
shalat dilakukan dengan memukul bedug. Dari masjid tertua, hanya di Kudus dan
Banten yang ada menaranya. Kedua menara ini pun tidak seragam. Menara Kudus
tidak lain adalah sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah, disesuaikan
penggunaannya dan diberi atap tumpang, sedangkan menara masjid Banten adalah
tambahan dari zaman kemudian yang dibangun oleh Cordell, pelarian Belanda yang
masuk Islam, yang bentuk-bentuknya seperti mercusuar.
Ketiga,
masjid-masjid tua, bahkan masjid yang dibangun di dekat Istana Raja Yogya dan
Solo mempunyai letak yang tetap. Di depan istana selalu ada lapangan besar
dengan pohon beringin kembar, sedangkan masjid selalu terletak di tepi barat
lapangan. Di belakang masjid sering terdapat makam-makam. Rangkaian makam dan
masjid ini pada hakikatnya adalah kelanjutan dari fungsi candi pada zaman
Hindu-Indonesia.
Di samping unsur zaman
Hindu-Indonesia, terdapat pula pengaruh daerah, meskipun tidak mengubah bentuk
keseluruhan hanya menambah keindahan, seperti Masjid Minang Kabau yang mendapat
pengaruh “rumah gadang” Masjid Kebon Jeruk Jakarta (1789) yang memperlihatkan
pengaruh Belanda, dan Masjid Agung Palembang (terutama menaranya) dipengaruhi
seni bangun Tionghoa.
Setelah Indonesia
merdeka dan dapat berhubungan dengan negara lain, maka unsur lama secara
berangsur-angsur hilang. Pada masa peralihan ke arah corak baru masih sering
terlihat perpaduan antara keduanya, terutama pada atapnya, jumlah atapnya masih
tumpang dua, yang ketiga diganti dengan kubah peniruan dari masjid Timur Tengah
atau India.
Pada tahap selanjutnya,
atap tumpang ditinggalkan dan ciri masjid menjadi kubah, misalnya Masjid
Kutaraja yang didirikan oleh Belanda tahun 1878 sebagai pengganti masjid lama
yang terbakar. Kemudian masjid yang menyerupai Taj Mahal India adalah Masjid
Syuhada di Yogyakarta dan Masjid Al-Azhar di Jakarta. Ada juga bentuk masjid
yang terpengaruh Ottoman style (Byzantium) seperti tampak pada Masjid Istiqlal
yang bentuk kubahnya setengah lingkaran ditopang oleh pilar-pilar yang tinggi
besar. Terakhir, bentuk masjid dengan kesuksesan meruncing meniru gaya India
seperti Masjid al-Tien di Taman Mini Indonesia Indah.
Post a Comment