Sumber Gambar: www.jurnalrozak.web.id

Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam pucuk elite kekuasaan. Yaitu, al-imam, [1]. Al-Imam dalam bahasa Arab, kata imam dalam berbagai bentuknya mempunyai beberapa arti, seperti: tujuan atau maksud (al-amm), jalan dan agama (al-immah), Ibu dan Bendera (al-umma), Pemimpin yang diangkat oleh kaumnya (imam).[2]
Imam juga berarti seorang pemimpin atau orang yang berada di muka. Menurut Thaba’thaba’I, imam adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang memegang pimpinan masyarakat dalam suatu gerakan sosial, atau suatu ideologi politik, atau suatu aliran pemikiran keilmuan atau keagamaan. Murthada Muthahhari berpendapat, bahwa imam adalah pribadi yang memiliki beberapa pengikut, terlepas dari kenyataannya apakah dia saleh atau tidak. Dalam al-Qur’an disebutkan, “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai imam-imam yang member petunjuk dengan seizing Kami.”  (QS. Al-Anbiya’: 73). Jadi secara harfiah, imam adalah seorang pemimpin.[3]
Imam juga berarti sesuatu yang diikuti, baik sebagai kepala, jalan, atau sesuatu yang membuat lurus dan memperbaiki perkataan. Selain itu, imam digunakan juga untuk menyebut al-Qur’an, Nabi Muhammad, khalifah, panglima tentara, dan sebagainya. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata imam memiliki banyak makna. Yaitu bisa bermakna: maju ke depan, petunjuk dan bimbingan, kepantasan seseorang menjadi uswah hasanan, dan kepemimpinan. Dalam al-Qur’an, imam digunakan untuk menyebut pemimpin masyarakat (QS. Al-Ambiya: 72-73), pemimpin orang kafir (QS. Al-Qashash dan QS. Al-Tawbah 12).[4]
Dari ayat-ayat di atas, bisa dipetik dua pengertian dari makna imam, sebagian besar digunakan dalam al-Qur’an membuktikan adanya indikasi yang bermakna kebaikan. Pada sisi lain bahwa kata imam juga menunjukkan makna jahat. Karena itu, imam berarti seorang pemimpin yang diangkat oleh beberapa orang dalam suatu kaum. Pengangkatan imam tersebut mengabaikan dan tidak memperdulikan, apakah ia akhirnya akan berjalan ke arah yang lurus atau arah yang sesat. Kedua, kata imam dalam ayat-ayat al-Qur’an itu bisa mengandung makna sebagaimana juga menunjukkan kepada orang-orang yang bertakwa.[5]
Imam bagi kepala Negara Islam ini digunakan karena ia menjadi imam kaum Muslim dalam menunaikan shalat dan dalam menangani urusan mereka serta menjaga kepentingan mereka. Mereka mengikuti dan mematuhi perintahnya seperti halnya makmum mengikuti imam. Ibnu Khladun mengatakan, Penamaan kepada Negara Islam dengan imam dianalogikan dengan imam shalat dalam mengikuti dan meniru. Oleh sebab itu, kepemimpinan Negara Islam disebut imamah kubra (kepemimpinan besar) untuk membedakan dengan imamah shugra (kepemimpinan kecil) dalam shalat, haji, acara, dan perhimpunan.[6]
Ibnu Hazm berkata, “Nama sebutan imam dapat juga dikenakan pada seorang ulama fiqih dan ilmuwan serta orang yang memimpin shalat di masjid manapun. Akan tetapi dengan dibubuhkan pada kata lain, tidak mutlak, sehingga dikatakan: Fulan adalah imam dalam agama, imam suku Fulan, dan begitu seterusnya. Maka seseorang tidak disebut imam kecuali ia menangani urusan pemeluk Islam.[7]
Dalam sekte Syiah imamah mempunyai pengertian lain, yang menurut kata-kata Ibnu Khaldun, “Kemudian kaum Syi’ah mengkhususkan gelar imam kepada Ali Ibn Thalib dengan membubuhkan imamah kepadanya. Bagi mereka Ali lebih berhak menjadi imam shalat daripada Abu Bakar dan para sahabat lainnya. Kemudian gelar imam ini juga mereka berikan kepada para imam Syi’ah dan menyebutkan secara rahasia hingga ketika mereka menguasai Negara pada awal masa Bani Abbas. Akan tetapi kemudian mengubahnya pada masa setelah itu dengan sebutan Amirul Mukminin. Mereka tetap merahasiakan gelar imam hingga masa Ibrahim yang secara terbuka memanggilnya dengan sebutan imam dan membuat bendera perang untuk memperjuangkan kelompok mereka. Ketika ia meninggal dunia saudaranya yang dijuluki as-Saffah (sang penumpah darah), dipanggil dengan Amirul Mukminin.[8]
Perlu dikatakan bahwa khilafah, imamah, dan imarah kaum Mukminun serta kerajaan (al-Mulk) tidak dimaksudkan dalam al-Qur’an selain kepemimpinan dalam pengertian umum, tidak dimaksudkan pada sistem pemerintahan tertentu. Sebab Nabi Daud as dinamakan dalam al-Qur’an seorang khalifah dan juga dinamakan seorang raja. Firman Allah, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sang khalifah di muka bumi.” (Shaad:26), dan dalam firman-Nya yang lain: “Dan Daud membunuh jalut dan Allah mengkaruniakan kepadanya kerajaan.” (al-Baqarah: 251) Begitu pula Nabi Ibrahim as dinamakan imam dalam sebuah ayat, dan anak cucunya yang mendapat petunjuk disebut imam-imam (para pendamping). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan kamu bagi manusia pemimpin.” Dia berkata, “Apakah juga di antara anak cucu hamba?” Allah berfirman, “JanjiKu ini tidak mengenai orang-orang yang zalim.” (al-Baqarah: 124). Sementara itu di ayat yang lain, Allah menggambarkan anak cucu Nabi Ibrahim as dengan para raja, “Maka sungguh telah Kami berikan kepada keluarga Ibrahim al-Kitab dan hikmah dan Kami juga mengkaruniakan kerajaan besar.” (an-Nisa: 53) Allah juga menjanjikan Bani Israil menjadi para imam (pemimpin) setelah mereka ditindas dan dianiaya oleh Firaun di muka bumi, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin (para imam) dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.” (al-Qashashs: 5) Ketika mereka melepaskan diri dari kezaliman Fir’aun dan membentuk Negara sendiri, Nabi Musa mulai mengingatkan kepada mereka atas karunia Allah kepada mereka itu seraya bersabda kepada mereka, “Ingatlah kepada Allah atas karunia Allah kepada kalian ketika Dia menjadikan di antara kalian nabi-nabi dan menjadikan kalian raja-raja.” (al-Ma’idah: 20).[9]



[1]Ali Yahya (Ed), Prof. Dr. Ahmad Mubarok, MA, Ketua Partai Politik Yang Bukan Politisi: Otobiografi dan Percikan Pemikiran Budaya, h. 148.
[2] Ibid., h. 148.
[3] Ibid., h. 148.
[4]Ibid., h. 149.
[5]Ibid., h. 149.
[6]Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000), h. 119.
[7]Ibid., h. 119.
[8]Ibid., h. 119.
[9]Ibid., h. 121.

Post a Comment

 
Top