Mad’u
Dari segi perspektif teori komunikasi tentang kaidah kesalingtergantungan, maka selain kesadaran dai akan haknya untuk menyampaikan dakwah, ia pun harus mengerti bahwa mad’u juga memiliki hak untuk dipahami secara empati dan simpati menjadi suatu kemestian yang mutlak. Tujuan yang ingin dicapai dari penunaian hak ini adalah menjada suasana kejiwaan mad’u agar tetap betah berada dalam ruang proses komunikasi dakwah untuk tempo yang cukup panjang. Sebab bagaimanapun, efek dakwah tidak mungkin muncul hanya dalam sekali atau beberapa kali komunikasi. Disamping itu, efek yang diharapkan, dengan sendirinya, membutuhkan akumulasi pesan-pesan atau nilai dakwah agar mampu membentuk dan melahirkan pengaruh yang lebih kukuh dan permanen. Untuk itu, da’i dituntut untuk mampu menjaga gengsi dan harga diri mad’u, serta dilarang keras berkata-kata yang dapat melukai hati atau merendahkan diri mereka yang dapat menghilangkan selera atau bahkan keberlangsungan (continuity).[1]
Manusia sebagai sasaran dakwah (mad’u) tidak lepas dari kultur kehidupan yang melingkupinya yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan dakwah. Situasi teologis, kultural dan struktural mad’u (masyarakat) dalam dakwah Islam bahkan selalu memunculkan dinamika dalam dakwah, karena dakwah Islam dilakukan dalam situasi sosial kultural tertentu bukan dalam masyarakat hampa budaya dan hampa sistem. Situasi struktural dan kultural yang dimaksud seperti sistem kekuasaan (al-mala), keadaan masyarakat tertindas (al-mustad’afin), dan penuasa ekonomi (mutrafin).[2]
Apakah sistem kekuasaan yang berlaku bersifat menindas, sehingga masyarakat sebagai sasaran dakwah menjadi lemah, seperti terjadi menjelang kelahiran Islam. Masyarakat tidak berdaya menghadapi penguasa zalim yang mematikan hak-hak warganya, terutama dalam mengikuti serta membangun wilayahnya. Apakah sistem ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang saja, sehingga kemiskinan sulit dihindari melekat pada masyarakat, atau sebaliknya kemiskinan terjadi karena faktor kultural. Situasi dan kondisi demikian merupakan bagian kajian teori medan dakwah.[3]




[1]A. Ilyas Ismail dan Prio Hotman, Filsafat Dakwah: Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 170-171.
[2]Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah: Respons Da’i terhadap Dinamika Kehidupan Beragama di Kaki Ciremai, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 6.
[3]Acep Aripudin, Pengembangan Metode Dakwah: Respons Da’i terhadap Dinamika Kehidupan Beragama di Kaki Ciremai, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 6-7.

Post a Comment

 
Top