Dalam ilmu komunikasi pesan dakwah adalah message, yaitu simbol-simbol. Dalam literatur berbahasa Arab, pesan dakwah disebut maudlu’ al-dakwah. Istilah ini lebih tepat dibandingkan dengan istilah materi dakwah yang diterjemahkan dalam bahasa Arab menjadi mâddah al-dakwah. Sebutan yang terakhir ini dapat menimbulkan kesalahpahaman sebagai logistik dakwah. Istilah pesan dakwah dipandang lebih tepat untuk menjelaskan, isi dakwah berupa kata, gambar, lukisan, dan sebagainya yang diharapkan dapat memberikan pemahaman bahkan perubahan sikap dan perilaku mitra dakwah. Jika dakwah melalui tulisan, maka yang ditulis itulah pesan dakwah. Jika dakwah melalui lisan, maka yang diucapkan pembicara itulah pesan dakwah. Jika melalui tindakan, maka perbuatan baik yang dilakukan itulah pesan dakwah.[1]
Membicarakan pesan (message) dalam proses komunikasi, kita tidak bisa melepaskan diri dari apa yang disebut simbol dan kode, karena pesan yang dikirim komunikator kepada penerima terdiri atas rangkaian simbol dan kode. Sebagai makhluk sosial dan juga sebagai makhluk komunikasi, manusia dalam hidupnya diliputi oleh berbagai macam simbol, baik diciptakan oleh manusia itu sendiri maupun bersifat alami.
Manusia keberadaannya memang memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk lainnya. Selain kemampuan daya pikirnya (super rational), manusia juga memiliki keterampilan berkomunikasi yang lebih indah dan lebih canggih (supersophisticated system of communication), sehingga dalam berkomunikasi mereka bisa mengatasi rintangan jarak dan waktu. Manusia mampu menciptakan simbol-simbol dan memberi arti pada gejala-gejala alam yang ada di sekitarnya, sementara hewan hanya dapat mengandalkan bunyi dan bau secara terbatas.
Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya, seperti radio, TV, internet, dan satelit.
Di dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita tidak dapat membedakan pengertian antara simbol dan kode. Bahkan banyak orang menyamakan kedua konsep itu. Simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek, sementara kode adalah seperangkat simbol yang telah disusun secara sistematis dan teratur sehingga memiliki arti. Sebuah simbol yang tidak memiliki arti bukanlah kode. Kata David K. Berlo (1960).
Lampu pengatur lalu lintas (traffic light) yang dipasang di pinggir jalan misalnya adalah simbol polisi lalu lintas, sedangkan simbol warna yang telah disusun secara teratur menjadi kode bagi pengguna jalan. Begitu juga halnya dengan letusan misalnya, ia adalah simbol dari senjata atau ban mobil yang pecah. Akan tetapi kalau letusan itu berlangsung 21 kali, ia menjadi kode penghormatan kepada tamu Negara. Kode pada dasarnya dapat dibedakan atas dua macam, yakni kode verbal (bahasa) dan kode nonverbal (isyarat).

Pesan Dakwah Verbal
Kode verbal dalam pemakaiannya menggunakan bahasa. Bahasa dapat didefinisikan seperangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti. Bahasa memiliki banyak fungsi, namun sekurang-kurangnya ada tiga fungsi yang erat hubungannya dalam menciptakan komunikasi yang efektif. Pertama, untuk mempelajari tentang dunia sekeliling kita; Kedua, untuk membina hubungan yang baik di antara sesama manusia; Ketiga, untuk menciptakan ikatan-ikatan dalam kehidupan manusia.
Di Negara-negara yang memiliki struktur masyarakat multi etnik seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina, bahasa memegang peranan yang sangat penting dalam membina integrasi nasional. Indonesia misalnya, sebagai bangsa yang memiliki kurang lebih 300 suku dengan memakai lebih dari 550 dialek daerah, dapat dipersatukan melalui pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Pesan Dakwah Verbal yang Membekas pada Jiwa, Qaulan Baligha
Al-Qur’an memberikan tuntunan, bahwa redaksi seruan dakwah berbeda-beda tekanannya, tergantung siapa mad’unya. Surat al-Nisa ayat 63 menjelaskan qaulan baligha yang dapat diterjemahkan dengan perkataan yang membekas pada jiwa. “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (QS. [4]: 63).
Ayat tersebut di atas berkenaan dengan orang munafik yang dihadapan Nabi berpura-pura baik, tetapi di belakang, mereka menyabot dakwah Nabi. Karakteristik orang munafik, seperti diterangkan oleh hadits Nabi adalah berdusta jika berbicara, ingkar bila berjanji dan berkhianat bila diberi kepercayaan. Kepada orang yang karakteristiknya demikian, perkataan yang  lemah lembut tidak akan membekas kedalam jiwanya. Pesan dakwah yang tepat untuk orang munafik bukan yang indah dan lemah lembut tetapi yang membekas, baligh pada jiwa (qaulan baligha).

Pesan Dakwah Verbal yang Lemah Lembut, Qaulan Layyinah
Di samping qaulan baligha, al-Qur’an juga menjelaskan istilah qaulan layyina, seperti yang tersebut dalam surah Thaha, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. [20]: 43-44).
Ayat ini berada dalam rangkaian kisah Nabi Musa dan Fir’aun. Fir’aun adalah seorang raja Mesir Kuno telah lama memerintah sehingga cenderung menjadi tiran. Musa sendiri adalah orang yang dibesarkan di dalam istana Fir’aun sebelum melarikan diri karena terlibat perkelahian yang mengakibatkan tewasnya seorang keluarga raja.    
Berhadapan dengan penguasa yang tiran, al-Qur’an mengajarkan agar dakwah kepada mereka haruslah bersifat sejuk dan lemah lembut, tidak kasar, dan tidak lantang. Perkataan yang lantang kepada penguasa tiran dapat memancing respon yang lebih keras dalam waktu yang spontan, sehingga meluangkan peluang untuk berkomunikasi antara kedua belah pihak, da’i, dan penguasa sebagai mad’u.
Sedangkan perkataan yang lembut, manfaat pertamanya adalah tidak membuat gusar penguasa yang kemudian dijadikan alasan untuk menghentikan komunikasi. Perkataan yang lemah lembut, kalau tidak berhasil menyadarkan, sekurang-kurangnya memberikan waktu untuk berpikir, bisa jadi akan timbul kesadaran.
Jadi, dakwah yang lemah lembut adalah dakwah yang dirasakan oleh mad’u sebagai sentuhan yang halus, orang kasar pun dibuat sulit untuk mendemontrasikan kekasarannya. Terhadap dakwah yang lembut, mad’u yang kasar pun juga menolak, penolakannya tidak diucapkan secara langsung, tetapi menggunakan cara yang halus juga, sehingga  masih memungkinkan ada komunikasi lagi pada kesempatan yang lain.

Pesan Dakwah Verbal yang Ringan, Qaulan Maisura
Istilah qaulan maisura tersebut dalam surah al-Isra ayat 28, “Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.” (QS. [17]: 28). Kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari qaulan ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, yang ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku dan tidak bersayap. Dakwah dengan qaulan maisura artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argumen-argumen logika.
Qaulan maisura perkataan yang ringan ini biasanya relevan bagi awam yang hidupnya masih direpotkan oleh kebutuhan pokok, seperti makan, minum, dan berteduh. Lapisan mad’u dari kelompok ini tidak tertarik kepada argumen logika, dalil-dalil dari al-Qur’an dan Hadits. Bagi mereka, pesan dakwah yang komunikatif adalah jika membantu mereka memecahkan masalah pokok mereka. Seperti yang dikemukakan Ali ibn Abi Thalib, bahasa perbuatan itu lebih jelas dibanding kata-kata, sedikit bicara banyak bekerja, tanpa dalil tapi efeknya terasa. Jadi, pesan dakwah qaulan maisura adalah dakwah yang lebih menunjukkan fakta dibanding kata-kata, sedikit bicara banyak bekerja, tanpa dalil tetapi efeknya terasa.

Pesan Dakwah Verbal yang Mulia, Qaulan Karima
Kalimat qaulan karima disebut dalam al-Qur’an dalam ayat yang mengajarkan etika pergaulan manusia kepada kedua orang tuanya yang sudah tua, seperti yang tersebut dalam surat al-Isra ayat 23. “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang atau keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaannmu, maka sekali-kali janganlah kamu membantah mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. [17]: 23).
Dalam perspektif dakwah, maka term qaulan karima diperlukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut, dalam masyarakat kota barangkali adalah kelompok pensiunan. Seorang da’i dalam berhubungan dengan lapisan mad’u yang masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti orang tua sendiri, yakni hormat dan tidak berkata kasar kepadana.

Pesan Dakwah Nonverbal.
Pesan dakwah nonverbal mengacu pada lambang yang terbuka untuk ditafsirkan. Jadi, bersifat subjektif sebab tidak semua orang mencintai dan memberikan apresiasi terhadap pesan dakwah non verbal. Kode nonverbal biasa disebut bahasa isyarat atau bahasa diam (silent language). Hal menarik kode, nonverbal adalah studi Albert Mahrabian (1971) yang menyimpulkan bahwa tingkat kepercayaan dari pembicaraan orang hanya 7 persen berasal dari bahasa verbal, 38 persen dari vokal suara, dan 55 persen dari ekspresi muka. Ia juga menambahkan bahwa jika terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan seseorang dengan perbuatannya, orang lain cenderung memercayai hal-hal yang bersifat nonverbal.  
Oleh sebab itu, Mark Knapp (1978) menyebut bahwa penggunaan kode nonverbal dalam berkomunikasi memiliki fungsi. Pertama, untuk meyakinkan apa yang diucapkannya (repetition); Kedua, untuk menunjukkan perasaan dan emosi yang tidak bisa diutarakan dengan kata-kata (substitution); Ketiga, menunjukkan jati diri sehingga orang lain bisa mengenalnya (identity); Keempat, untuk menambah atau melengkapi ucapan-ucapan yang dirasakan belum sempurna.
Pemberian arti terhadap kode nonverbal sangan dipengaruhi oleh sistem sosial budaya masyarakat yang menggunakannya. Misalnya meludah di depan orang dipandang oleh beberapa kelompok masyarakat di Asia sebagai perbuatan yang kurang terpuji. Tetapi pada beberapa suku Indian di Amerika diartikan sebagai perhormatan, di Aferika sebagai penghinaan dan pada beberapa suku, di Eropa Timur dianggap sebagai lambang kesialan. Demikian juga halnya dengan kebiasaan mengeluarkan lidah, bagi orang Eropa dan Amerika diartika lelucon atau ejekan, tetapi di beberapa suku tradisional di Papua Nugini dilambangkan sebagai ucapan selamat datang.
Dalam komunikasi dakwah, simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau menandakan sesuatu hal yang lain. Da’i menggunakan simbol-simbol dalam menyampaikan pesan dakwahnya kepada mad’u. Hal ini disebabkan manusia tidak dapat mengakses pemikiran orang lain dan perasaan orang lain dengan cara menyimpulkan melalui kata, keheningan, dan pidato yang panjang, dari anggukan sederhana dan lirikan mata.[2]

Pesan Dakwah Nonverbal Karya Seni
Karya seni memuat nilai keindahan yang tinggi. Jika karya sastra menggunakan komunikasi verbal (diucapkan), karya seni banyak mengutarakan komunikasi nonverbal diperlihatkan. Bagi, pecinta karya seni, pesan dakwah jenis ini lebih banyak membuatnya berpikir tentang Allah SWT dan makhluk-Nya. Lebih dari hanya ketika mendengar ceramah agama. Dia bisa meneteskan air mata ketika melihat sebuah lukisan pemandangan laut yang terhampar luas dengan gelombang yang menggunung dan di kejauhan terlihat seseorang yang bersujud di atas perahu kecil yang sedang terombang-ambing. Sedangkan untuk menjadikan karya seni sebagai pesan dakwah, ada beberapa etika yang harus diperhatikan. Pertama, diupayakan sedemikian rupa agar karya seni tidak ditafsirkan secara salah oleh mitra dakwah. Jika dipandang perlu bisa diberi sedikit komentar. Kedua, karya seni tidak bernuansa pornografi, menghina simbol-simbol agama, melecehkan orang lain, dan menimbulkan dampak-dampak negatif lainnya baik langsung maupun tidak langsung.

Pesan Dakwah Nonverbal Kinesik
Da’i menggunakan gerakan tubuh yang berarti terdiri dari tiga komponen utama, yaitu pesan faisal, gestural, dan postural. Pesan faisal menggunakan raut muka untuk menyampaikan makna tertentu. Pesan gestural menunjukkan sebagian anggota badan, seperti mata dan tangan untuk mengombinasikan sikap merenung di berbagai budaya. Orang Eropa lebih cenderung menatap mata masing-masing selama percakapan dibandingkan dengan orang Amerika Utara, tetapi ada di budaya lain laki-laki tidak menatap mata perempuan, kecuali keluarga, suami dan isterinya. Pesan postural berkenaan dengan keseluruhan anggota badan. Bahasa tubuh adalah istilah umum untuk mengindikasikan komunikasi melalui isyarat, postur, dan sinyal tanda tubuh lain, baik sadar maupun tidak. Bahasa tubuh juga termasuk kebiasaan berpenampilan rapi (grooming). Bahasa tubuh itu mengomonikasikan informasi tidak terucapkan mengenai identitas hubungan dan pikiran seseorang juga suasana hati, motivasi, dan sikap. Bahasa sangat penting dalam komunikasi antarpribadi.[3]
Kinesics ialah kode nonverbal yang ditunjukkan oleh gerakan-gerakan badan. Gerakan-gerakan badan bisa dibedakan atas lima macam berikut. Pertamaemblems ialah isyarat yang berarti langsung pada simbol yang dibuat oleh gerakan badan. Misalnya mengangkat jari V yang artinya victory atau menang, mengangkat jempol berarti yang terbaik untuk orang Indonesia, tetapi jelek bagi orang India. Kedua, Illustrator ialah isyarat yang dibuat dengan gerakan-gerakan badan untuk menjelaskan sesuatu, misalnya besarnya barang atau tinggi rendahnya suatu objek yang dibicarakan. Ketiga, affect displays ialah isyarat yang terjadi karena adanya dorongan emosional sehingga berpengaruh pada ekspresi muka, misalnya tertawa, menangis, tersenyum, sinis, dan sebagainya. Hampir semua bangsa di dunia melihat perilaku tertawa dan senyum sebagai lambang kebahagiaan, sedangkan menangis dilambangkan sebagai tanda kesedihan. Keempat, regulator ialah gerakan-gerakan tubuh yang terjadi pada daerah kepala, misalnya mengangguk tanda setuju atau menggeleng tanda menolak. Kelima, adaptory ialah gerakan badan yang dilakukan sebagai tanda kejengkelan. Misalnya menggerutu, mengepalkan tinju ke atas meja dan sebagainya.

Gerakan Mata (Eye Gaze)
Dari berbagai studi yang pernah dilakukan oleh para ahli psikologi tentang gerakan mata, disimpulkan bahwa bila seorang tertarik pada suatu objek tertentu, maka pandangannya akan terarah pada objek itu tanpa putus dalam waktu yang relatif lama, dengan bola mata cenderung menjadi besar.
Sentuhan (Touching)
Kinesthetic
Kinesthetic ialah isyarat yang ditunjukkan dengan bergandengan tangan satu sama lain, sebagai simbol keakraban atau kemesraan. Kedua, sociofugal iala isyarat yang ditunjukkan dengan jabat tangan atau saling merangkul. Umumnya orang Amerika dan Asia Timur dalam menunjukkan persahabatan ditandai dengan jabat tangan, sedangkan orang Arab dan Asia Selatan menunjukkan persahabatan lewat sentuhan pundak dengan pundak atau berpelukan. (3) Thermal ialah isyarat yang ditunjukkan dengan sentuhan badan yang terlalu emosional sebagai tanda persahabatan yang begitu intim. Misalnya menepuk punggung karena sudah lama tidak bertemu.

Paralanguage
Diam
Berbeda dengan tekanan suara, sikap diam juga merupakan kode nonverbal yang mempunyai arti. Max Picard menyatakan bahwa diam tidak semata-mata mengandung arti bersikap negatif, tetapi bisa juga melambangkan sikap positif. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap berdiam diri sangat sulit diterka, apakah orang itu malu, cemas atau marah. Banyak orang mengambil sikap diam karena tidak ingin menyatakan sesuatu yang menyakitkan orang lain, misalnya menyatakan tidak. Namun dengan bersikap diam, juga dapat menyebabkan orang bersikap ragu. Oleh karena itu, diam tidak selamanya berarti menolak sesuatu, tetapi juga tidak berarti menerima. Mengambil sikap diam karena ingin menyimpan kerahasiaan sesuatu.




[1]Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), h. 318-319.
[2]Armawati Arbi, Psikologi Komunikasi dan Tabligh, (Jakarta: Hamzah, 2012), h. 263.
[3]Armawati Arbi, Psikologi Komunikasi dan Tabligh, (Jakarta: Hamzah, 2012), h. 265.

Post a Comment

 
Top