Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS.Luqman:18)

 ‘Aidh al-Qarni dalam karyanya ‘Alâ Mâidati Al-Qur’an (Nikmatnya hidangan al-Qur’an), mengisahkan tentang kegelisahan Khalifah Harun ar-Rasyid, kemudian beliau meminta pengawalnya untuk mengundang seorang ahli hikmah. Sesampainya di istana, ahli hikmah  tersebut disuguhi hidangan dan minuman yang istimewa.
Selang beberapa saat kemudian terjadilah bercakapan antara Khalifah Harun ar-Rasyid dengan ahli hikmah tersebut. “Wahai ahli hikmah, saat ini saya sedang gelisah. Mohon nasihat agar pikiran saya jernih, jiwa saya tenang, dan jasmani saya sehat.” Ungkap Khalifah.
“Sebelum saya menyampaikan suatu nasehat saya berterima kasih atas jamuan ini. Bolehkah saya bertanya sesuatu kepada Tuan,” Tanya Ahli hikmah.  
“Silakan,” jawab Khalifah Harun.
“Begini, Tuan Khalifah. Segelas air putih ini kira-kira berapa harganya?”
“Harga segelas air putih itu murah sekali, hanya beberapa dirham. Kalau Anda mau, nanti saya kirim air yang banyak ke rumah Anda. Bila perlu, sebanyak air di kolam istana.” Jawab Harun ar-Rasyid.
 “Terima kasih atas kemurahan hati, Tuan Khalifah. Kalau diperkenankan saya ingin bertanya lagi. Apakah Baginda percaya bahwa Allah Maha Kuasa?”
Tentu saya percaya Allah Maha Kuasa,” Jawab Khalifah Harun.
“Begini, Baginda. Seandainya Allah menjadikan tahun ini musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga kerajaan ini dan kerajaan-kerajaan yang lain kekeringan- hanya tersisa satu gelas air ini saja yang bisa diminum. Kira-kira, Baginda mau membeli segelas air ini dengan harga berapa?” Ungkap ahli hikmah.
Suasana hening sejenak. Harun ar-Rasyid mengerutkan keningnya untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan sang ulama- pertanyaan yang baginya sungguh aneh. Namun, dia percaya tidak mungkin sang ahli hikmah akan sembarangan bertanya, pasti ada hikmah di balik itu semua. Lalu sang Khalifah pun menjawab dengan mantap.
“Tuan ahli hikmah, kalau memang itu yang dikehendaki Allah, dan Allah Maha Kuasa untuk melakukan itu semua; maka demi mempertahankan hidup hukumnya wajib, saya akan membeli segelas air putih itu dengan seluruh kerajaan saya beserta isinya. Harta bisa dicari, asalkan kita masih hidup.”
Sang ahli hikmah mengangguk pelan tanpa suara, menunjukkan dia benar-benar mengerti bahwa Khalifah Harun bersungguh-sungguh dengan jawabannya. Dengan suara yang begitu tenang dan lembut, sang ulama melanjutkan nasihatnya, “Baginda. Kalau memang itu yang akan Baginda lakukan; maka ingatlah, ternyata seluruh harta kekayaan Baginda, kerajaaan beserta isinya, hanya seharga segelas air putih ini. Betapa Allah Maha Kaya, sedangkan kita adalah makhluknya yang begitu dhaif dan lemah.”
Suasana kembali hening, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Tiba-tiba, air mata menetes membasahi pipi Khalifah Harun ar-Rasyid. Sambil menangis, Khalifah berkata , “Terima kasih atas nasihatnya Tuan ahli hikmah.”
Seperti Khalifah Harun ar-Rasyid, mungkin terkadang kita lupa bahwa seluruh nikmat yang kita terima adalah anugerah Allah. Kita mengira bahwa nikmat itu akan kekal selamanya. Padahal semua yang kita miliki saat ini, cepat atau lambat akan kita tinggalkan. Ketika badan terbujur kaku, tentu pada saat itu tidak ada lagi yang bisa kita banggakan dan sombongkan.
Al-Ghazali menganalisa sebab-sebab kesombongan dan membatasinya menjadi tujuh sebab yaitu:

a. Ilmu
Sebagian orang yang berilmu merasa dirinya memiliki kesempurnaan ilmu, sehingga ia menganggap orang lain bodoh dan tidak berguna, lalu ia bersikap sombong terhadap mereka.  Seorang penyair pernah berkata : Katakan pada orang yang mengaku memiliki ilmu melimpah, “Kau tahu satu hal namun banyak hal yang tidak kau ketahui.”
Bukankah Iblis terusir dari surga karena merasa paling mulia dan berilmu dari makhluk Allah lainnya. Keengganan Iblis melaksanan perintah Allah untuk bersujud kepada Adam- merupakan bentuk keangkuhannya. Maka Iblis dengan keangkuhannya harus membayar mahal dengan dilemparkannya dari surga selama-lamanya.
Umar bin Khaththab  memberi nasihat, “Jangan pelajari suatu ilmu karena tiga tujuan dan jangan pula meninggalkan ilmu karena tiga tujuan. Yakni, jangan pelajari ilmu dengan tujuan untuk berdebat, membanggakan diri dan pamer. Jangan tinggalkan ilmu (tidak mau belajar) karena malu mempelajarinya, merasa cukup berilmu dan pasrah karena kebodohan.”
Sedangkan Ahmad bin Muhammad bin Athaillah berpesan, “Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memancarkan cahaya di dalam dada dan menyingkap katup hati.” Ilmu harus dapat membentuk diri orang yang berilmu dengan akhlak dan jiwa mulia, serta dapat membentuk anggota masyarakat sesuai dengan tuntunan Ilahi.
Hakikat ilmu adalah yang membawa seseorang mengenal Tuhannya dan timbulnya rasa takut kepada Allah. Yang dimaksud rasa takut adalah mengamalkan ilmu yang dianugerahkan Allah untuk menghambakan diri kepada-Nya sebagai ciri-ciri orang berilmu.
Sebagai contoh beberapa orang yang hafal ribuan hadits bercerita, “Kami melihat Imam Ahmad bin Hanbal  turun ke pasar Baghdad dan membeli tali pengikat kayu bakar lalu memikulnya. Tatkala orang tahu, para penjual meninggalkan jualannya, para pedagang meninggalkan dagangannya dan orang yang berlalu berhenti untuk memberi salam kepadanya. Mereka berkata, ‘Kami bawakan kayu bakarmu.’
Tangannya pun bergetar, mukanya memerah dan matanya menangis. Dia berkata, “Kita adalah kaum miskin, kalaulah bukan karena Allah niscaya terungkap aib kita.” Abdullah, putra Imam Ahmad bercerita, “Terompah ayahku dipakainya selama delapan belas tahun. Setiap kali berlubang, dia sendiri yang menambalnya, sedangkan dia adalah imam dunia.”
Betapa rendah hati beliau, padahal beliau hafal Al-Qur’an dan ribuan hadits. Imam Ahmad juga menulis al-Musnad dari hafalannya- empat ribu hadits- termasuk salah satu musnad terbesar. Imam Syafi‘i, guru beliau pun pernah berkata, “Aku keluar dari Baghdad dan penduduknya waktu itu dua juta jiwa. Demi Allah, aku tidak menemui orang paling tahu tentang Allah, paling zuhud, paling alim, dan paling mencintaiku selain Ahmad bin Hanbal.”
Ibnu Athaillah berpesan, “Orang yang menghormatimu, sebenarnya ia hanya menghormati keindahan tutup yang diberikan Allah untuk (menutupi aib)-mu. Maka, yang wajib dipuji adalah Dzat yang menutupi (aib)-mu.” Manusia itu tempat salah dan aib. Apabila ada orang memuji kita, itu bukanlah karena kehormatan yang ada pada diri kita, akan tetapi karena Allah menutupi aib kita dengan menampakkan kebaikan kita. Itu semua berkat penutup yang sangat indah dari Allah. Karunia Allah dan penutup indah ini hendaklah disyukuri, bukan untuk disombongkan.

b. Amal dan ibadah.
Semua manusia tidak bebas dari kesombongan. Orang yang sombong merasa dirinya lebih baik dan lebih mulia daripada yang lain di hadapan Allah. Dia memandang orang lain dalam keadaan hancur dan memandang dirinya selamat. Jika seseorang menyakiti atau berprasangka buruk, maka ia berkeyakinan bahwa akan murka kepadanya dan menyiksanya sebagai pernghormatan atas dirinya.

c. Kekayaan dan keturunan.  
Mungkin sebagian orang merasa dirinya memiliki keindahan jasmani, berasal dari keturunan ningrat, dan memiliki kekayaan berlimpah- Seringkali menganggap dirinya lebih baik dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Terkadang ia bersikap sombong terhadap orang lain dan enggan untuk bergaul dan berkomunikasi dengan mereka.
Padahal dihadapan Allah kita semua sama, yang membedakan kita dengan orang lain adalah sejauhmana ketakwaan kita kepada Allah. Sebagaimana yang terdapat dalam firmannya bahwa orang yang paling mulia disisi-Nya adalah orang yang paling bertakwa. Sebagai contoh Iblis merasa dirinya lebih mulia dari Adam karena terbuat dari api, sedangkan Adam terbuat dari tanah. Kesombongan akan asal dirinya membuat iblis membangkang perintah Allah untuk sujud/hormat kepada Adam.  

d. Keindahan Jasmani.
Sebagian orang bangga dengan dirinya sendiri. Padahal seharusnya kita tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat berasal dari Allah. Jika kita memperoleh keberhasilan atau pujian dari orang lain, janganlah menyombongkan diri. Sebaliknya ucapkanlah “Alhamdulillah” karena segala puji itu hanya untuk Allah.

e. Harta.  
Harta bisa menjadikan diri kita merasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri. Harta juga yang membuat kita pamer kepada orang lain, khususnya kepada orang yang tidak sekaya kita, apalagi terhadap orang-orang miskin. Qorun merasa bahwa harta kekayaannya adalah hasil usahanya sendiri. Pada hakekatnya semua kelebihan yang kita miliki adalah karunia dari Allah. Ini adalah ujian apakah kita bisa memanfaatkan kelebihan itu untuk kebaikan dan mensyukurinya atau malah menjadi kufur atas karunia Allah. Qarun adalah salah satu contoh orang yang diberi karunia kemudian menjadi kufur karena menganggap bahwa kekayaan yang ia miliki adalah hasil usahanya sendiri.

f. Kekuatan.
Orang-orang yang merasa dirinya kuat bersikap sombong terhadap orang yang lemah. Sebagai contoh Raja Namrud yang hidup pada zaman nabi Ibrahim.  Raja Namrud menganggap dirinya Tuhan karena memiliki kekayaan dan kekuatan yang hebat. Tetapi Raja Namrud tidak bisa berbuat apa-apa ketika Ibrahim meminta Matahari diterbitkan dari Barat.
Raja Namrud mati lantaran telinganya kemasukan serangga, binatang yang kecil dan sepele. Oleh karena itulah Allah mengingatkan kita dalam firmannya, “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Al-Israa’ [17] : 37)   

g. Kesombongan karena memiliki banyak pengikut, pendukung, keluarga, dan kerabat.
Terkadang kedudukan tinggi, kekuatan, dan kemuliaan- memungkinkan seseorang untuk berlaku sombong dan takabur. Sebut saja Fir’aun yang kisahnya diabadikan dalam al-Qur’an. Fir’aun yang semula adalah manusia biasa tetapi karena kedudukan yang perolehnya memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan Alam Semesta. Tetapi faktanya Fir’aun adalah manusia biasa yang akhirnya tenggelam di laut merah.
Oleh karena itulah, Allah melarang kita untuk berlaku  sombong: Allah mengingatkan kita, “Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS, Luqman [31]:18), Ketika malaikat maut menjemput tak ada yang bisa menghalanginya untuk mencabut nyawa kita. Kekuasaan, harta, sanak kerabat, dan pengikut setia tak akan bisa berbuat apa-apa. Kecerdasan dan ketrampilan kita di dunia pun tak akan ada gunanya. Jadi sikap sombong adalah sesuatu yang tidak perlu.

Post a Comment

 
Top