Sahabat, pernahkah terlintas dalam pikiran kita- bahwa manusia-manusia mungil yang kita jumpai setiap saat, mungkin ia adik, anak, keponakan, atau bahkan cucu kita. Mereka adalah manusia-manusia dewasa di masa depan. Ditangan merekalah baik-buruknya agama, moral, dan kemajuan bangsa ini. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita mempersiapkan mereka menjadi manusia-manusia tangguh kedepan. Terlebih lagi, tantangan yang akan mereka hadapi jauh lebih sulit dari masa kita saat ini.
Reza Pahlevi, MA
Tuhan sungguh Maha Agung dan Kuasa.
Dia menciptakan setiap anak terlahir dengan potensi yang beraneka-ragam;
memiliki kelebihan yang unik, serta bakat dan minat yang antara yang satu
dengan yang lain berbeda-beda. Seperti itulah yang saya rasakan ketika saya
masih anak-anak. Ada sahabat saya yang begitu pandai berenang di sungai musi,
memanjat beraneka jenis pohon dengan cekatan, ada pula yang berbakat dalam menari,
menyanyi, bermain masak-masakan, bermain sandiawara (ada yang pura-pura menjadi
ayah, ibu, anak, dll.), dan ada juga yang pandai dalam belajar- seperti belajar
matematika, sejarah, ilmu pengetahuan alam dan sosial, bahasa, dan lain
sebagainya.
Dulu saya menganggap realitas
semacam ini- datar-datar saja, tidak ada sesuatu yang begitu istimewa dibalik
kisah keseharian anak-anak kecil seusia saya pada waktu itu- dan tentunya, ini
juga menjadi kisah anak-anak Sumsel kebanyakan pada waktu itu dan saat ini. Belakangan
setelah mendengar dan membaca teori
tentang multiple intelligence yang
diperkenalkan Psikologi Harvard Howard Gardner. Saya baru menyadari bahwa kegiatan
apa saja- yang menjadi hobi seseorang yang dimulai sejak kecil, itu bisa
dikategorikan sebagai bagian atau bentuk kecerdasan yang dimiliki seseorang.
Beruntung saat ini sudah mulai bermunculan
sekolah-sekolah yang mengembangkan aspek-aspek multiple intelligence (kecerdasan majemuk) dalam kurikulumnya,
termasuk dalam kurikulum PAUD. Aspek-aspek multiple
intelligence itu meliputi kecerdasan linguistik (bahasa), matematika-logis,
visual spasial (membuat berbagai macam coretan), musik (menyanyikan lagu-lagu
sederhana), kinestetik (kecerdasan fisik), interpersonal (bersosialiasasi
dengan orang lain), natural (peduli terhadap lingkungan), dan kecerdasan
spiritual.
Tetapi sayangnya, pendekatan multiple intelligence dalam PAUD belum
teraktualisasi secara baik, sehingga begitu banyak kecerdasan yang dimiliki
anak-anak Indonesia hilang di telan zaman, karena ketidak-mengertian, masyarakat,
para pendidik, dan orang tua dalam membantu anak-anak itu mengaktualisasikan
bakat unik mereka masing-masing. Padahal, menurut naskah akademik yang
diterbitkan departemen pendidikan (2007), pada masa-masa anak-anak itulah-
semua potensi anak berkembang sangat cepat. Fakta yang ditemukan oleh
ahli-ahlineurologi, menyatakan bahwa sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia
telah terjadi ketika usia 4 tahun dan 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun,
dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak berusia 8 sampai 18 tahun.
Pertumbuhan fungsional sel-sel syaraf tersebut membutuhkan berbagai situasi
pendidikan yang mendukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat
maupun sekolah. Para ahli pendidikan sepakat bahwa periode keemasan tersebut
hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia. Hal ini
menunjukkan bahwa betapa meruginya suatu keluarga, masyarakat, dan bangsa jika
mengabaikan masa-masa penting yang berlangsung pada anak usia dini.
Pada masa usia dini inilah- berbagai
periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode
akhir perkembangannya terbentuk. Salah satu periode yang menjadi ciri utama masa
usia dini adalah the golden ages (periode
keemasan). Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan periode
keemasan pada masa usia dini, di mana semua potensi anak berkembang paling
cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa
eksplorasi, masa identifikasi, imitasi, masa peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 (masa membangkang tahap
1). (departemen pendidikan, 1: 2007)
Sebagai komitmen dan keseriusan
antar bangsa terhadap pendidikan anak usia dini telah dicapai berbagai momentum
dan kesepakatan penting yang telah digalang secara internasional. Di antaranya adalah
Komitmen Jomtien Thailand (1990), “Pendidikan untuk semua orang, sejak lahir
sampai menjelang ajal.” Deklarasi Dakkar
yang diantaranya menyepakati bahwa perlunya upaya memperluas dan memperbaiki
keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak
yang sangat rawan dan kurang beruntung. Adapun komitmen antara bangsa secara
internasional lainnya adalah kesepakatan antar negara yang tergabung dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyepakati ”Dunia yang layak bagi anak 2002”
atau dikenal dengan “world fit for
children 2002.” Beberapa kesepakatan yang diperoleh adalah (1) mencanangkan
kehidupan yang sehat, (2) memberikan pendidikan yang berkualitas, (3)
memberikan perlindungan terhadap penganiayaan, eksploitasi, dan kekerasan.
Walapun berbagai upaya secara
konseptual maupun praktis telah diupayakan dalam membangun anak usia dini namun
masih banyak anak usia dini di Indonesia yang belum terlayani kebutuhannya pada
bidang pendidikan (sensus BPS terbaru 2005 mencapai 26 juta). Pada sisi lain,
kelembagaan pendidikan anak usia dini yang ada baru dapat menampung sebesar 27%
Angka Partisipasi Kasar (APK). Hal ini diperburuk dengan masih rendahnya
kualitas penyelenggaraan lembaga pendidikan anak usia dini yang dilihat dari
aspek standar program yang diberikan, proses pembelajaran yang belum mengakomodasi
kebutuhan anak dan kualitas serta kualifikasi tenaga pendidik anak usia dini
yang masih tergolong rendah.
Post a Comment