Daya inderawi menjalankan fungsi penginderaan dan persepsi sensorik. Ibnu
Sina mendefenisikan persepsi seperti kebanyakan filosof Muslim yang terpengaruh
ide-ide dari Aristoteles. Menurut Ibnu Sina, persepsi adalah penerimaan
perseptor atas gambaran perseptual, dan ia mendefenisikan pengindaraan sebagai
proses penerimaan daya sensorik terhadap gambaran inderawi. Oleh karena itu,
daya sensorik seperti objek inderawi potensial. Hanya saja, jika daya sensorik
terpengaruh olehnya, maka ia berubah dari potensi menjadi aksi dan menjadi
mirip dengannya secara aktual.
Indera tidak hanya sebagai alat persepsi, tetapi juga sebagai alat
kehidupan. Sebagian indera bersifat primer dan lazim dalam mempertahankan
kehidupan; dan sebagian lagi sebagai kesempurnaan yang mungkin tidak dibutuhkan
hewan dalam hidupnya, tetapi ia memerlukannya dalam memperoleh kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina, ketika hikmah Ilahiah meniscayakan setiap hewan yang
bergerak dengan keinginan tersusun dari empat unsur dan merasa tidak aman dari
bahaya ruang ketika bergerak, maka ia didukung dengan daya sentuh, sehingga ia
dapat melarikan diri dari tempat yang tidak memerlukan makan, maka makanannya
ia peroleh dengan suatu keinginan. Ada makanan yang sesuai dan ada pula yang
tidak sesuai dengan dirinya, itu sebabnya ia didukung dengan perasa.
Kedua daya ini sangat penting dan bermanfaat dalam kehidupan, sedangkan
yang lain tidak terlalu penting. Daya lain setelah daya perasa yang dapat
memastikan kebutuhannya adalah daya penciuman, sebab bau-bauan dapat
menunjukkan secara kuat pada hewan makanan yang sesuai bagi dirinya. Hewan
harus mendapatkan makanan, dan makanan tidak akan pernah ia peroleh, kecuali
dengan berusaha. Oleh karena itu, Tuhan kemudian menciptakan daya penciuman
pada sebagian besar hewan.
Daya berikutnya setelah daya penciuman adalah penglihatan. Manfaatnya
adalah bahwa ketika hewan yang bergerak atas dasar keinginan ke berbagai tempat
seperti tempat api, puncak gunung, dan permukaan laut dapat menimbulkan bahaya
bagi dirinya, maka Tuhan menciptakan daya pandang pada sebagian besar hewan.
Daya lain yang mendukung manfaat daya pandang adalah daya mengengar. Manfaatnya
adalah bahwa segala sesuatu, baik yang berbahaya maupun yang bermanfaat dapat
dikenal melalui suaranya yang khas. Itu sebabnya, Tuhan menciptakan daya
mendengar pada sebagian besar hewan. Manfaat daya ini bagi hewan yang rasional
melampaui hewan-hewan lain. Pendapat Ibnu Sina tentang manfaat indera di atasi
mirip dengan pendapat Aristoteles.
1.
Indera Lahir
Menurut Ibnu Sina, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya,
penginderaan ada dua macam, yaitu penginderaan lahir dan penginderaan batin.
Penginderaan lahir berlangsung melalui panca indera lahir yaitu:
a.
Penglihatan
Dalam beberapa buku semisal an-Najah, Ahwal an-Nafs an-Nathiqah, dan
Mabhats ‘an al-Quwa an-Nafsaniyah, Ibnu Sina mengatakan, “Sesungguhnya mata
merupakan suatu daya yang sistematis di dalam syaraf bagian dalam yang
mempersepsi gambar-gambar yang dapat dilihat dan memiliki warna yang memantul
di dalam kornea yang terdapat di bola mata. Dalam hal ini, Ibnu Sina
dipengaruhi oleh pendapat Aristoteles.
Dari defenisi tentang indera mata ini, dapat dipahami bahwa pusat
penglihatan terdapat di dalam kornea yang terdapat di bola mata. Dan ini
bukanlah pendapat Ibnu Sina yang sebenarnya, sebab di dalam buku as-Syifa dia
mengatakan, “Sesungguhnya objek pandangan memantul pertama kali di dalam
kornea, Cuma penglihatan sebenarnya tidak berlangsung di kornea. Pantulan dua
objek gambar yang saling bertaut di kedua kornea yang terdapat di bola mata
dengan perantara spirit yang terdapat di kedua syaraf mata sampai pada titik
temu keduanya itulah yang memantulkan satu gambar pada bagian yang mengandung
daya penglihatan.
Jadi, pusat penglihatan dalam pandangan Ibnu Sina sebagaimana yang terdapat
di dalam buku asy-Syifa adalah titik pertemuan dua syaraf mata. Pendapat ini
tidak sesuai dengan pendapat ilmu kodekteran modern yang meletakkan pusat
penglihatan di bagian belakang otak.
b.
Pendengaran
Ibnu Sina berpendapat bahwa indera pendengaran adalah daya yang tersusun di
dalam syaraf yang terdistribusi di permukaan gendang telinga yang ada dalam
telinga. Jika dua benda berbenturan, maka tekanan yang bersumber dari benturan
keduanya menimbulkan gelombang udara yang sampai ke udara yang terdapat bagian
dalam gendang telinga dan menggerakkannya dengan gerakan yang sama. Gerakan
tersebut lalu sampai ke syaraf yang ada di permukaan gendang telinga sehingga
terjadi proses pendengaran.
Pendapat Ibnu Sina tentang pusat indera pendengaran tadi tidak sama dengan
fakta ilmiah di bidang ilmu kedokteran dan fisiologi modern yang menjelaskan
bahwa pengaruh gelombang udara sampai kebagian kornea yang ada di bagian ujung
telinga dalam. Kemudian terjadi perubahan kimiawi yang mempengaruhi ujung
syaraf pendengaran yang terbesar di sekitarnya, sehingga getaran syaraf
berpindah melalui syaraf-syaraf pendengaran ke otak yang kemudian menimbulkan
pendengaran.
c. Penciuman
Indera penciuman adalah daya yang tersusun pada dua tonjolan bagian depan
otak yang mirip puting payudara yang terdapat di bagian atas lubang hidung.
Indera penciuman memperspesi bau yang bersumber dari fisik dan dibawa oleh
udara yang dihirup. Menurut Ibnu Sina, pusat penciuman adalah bagian atas
lubang hidung dan bukan di otak, sebagaimana yang menjadi ketetepan saat ini di
bidang fisiologi modern.
Dalam buku an-Najah, Ahwal an-Nafs an-Nathiqah, dan asy-Syifa, Ibnu Sina
agaknya ragu-ragu di antara dua pendapat dalam menjelaskan proses terjadinya
penciuman. Pendapat pertama adalah bahwa penciuman terjadi akibat menyebarnya
bau dari satu benda tertentu dan bercampur dengan udara yang dihirup. Sedangkan
pendapat kedua adalah bahwa bau benda menyebar di udara atau, dengan kata lain,
udara berubah menjadi bau benda. Tetapi dalam buku Mabhats ‘an al-Quwa
an-Nafsaniyah, dia hanya menyebutkan pendapat kedua saja. Pendapat pertama yang
kami tunjukkan tadi adalah pendapat yang sama dengan pendapat para ahli di
bidang fisiologi dan psikologi.
d.
Pengecapan
Ibnu Sina menyebutkan tentang indera pengecap dalam beberapa bukunya.
Menurutnya, pengecap adalah daya yang tersusun di sayaraf dan tersebar di ujung
lidah. Pengecap mempersepsi rasa yang masuk dari berbagai makanan yang
bercampur dengan kelembaban ludah yang ada di dalamnya, lalu mengubahnya. Ibnu
Sina dalam bukunya al-Qanun fi ath-Thib menyebutkan, “Sesungguhnya alat indera
pengecap yang ada di dalam buku ini merupakan defenisi yang sama dengan yang
diajukan oleh bidang fisiologi dan psikologi modern. Ibnu Sina dianggap orang
yang paling dekat dengan ilmu modern dalam bidang ini dibanding ilmuwan-ilmuwan
kuno lain pada umumnya.
Dalam buku asy-Syifa, Ibnu Sina menjelaskan peran ludah pada pengecapan.
Ibnu Sina mempertanyakan, apakah ludah berperan sebagai perantara? –yaitu,
melalui proses bercampurnya ludah dengan bagian-bagian yang memiliki rasa
sehingga rasa itu sampai ke syaraf indera pengecap, lalu indera pengecap
menginderanya- atau apakah ludah berubah menjadi rasa tanpa terjadi proses
percampuran? Ibnu Sina ragu-ragu dengan dua pendapat ini. Itu sebabnya, dia
menganut keduanya secara bersama-sama.
Ibnu Sina berkata, “Sesungguhnya ludah melakukan penyesuaian dan bercampur
secara bersamaan. Tetapi dalam buku-bukunya yang lain, seperti an-Najah, Ahwal
an-Nafs an-Nathiqah, dan Mabhats ‘an al-Quwa an-Nafsaniyah, Ibnu Sina
berpendapat bahwa pengecapan terjadi karena proses perubahan ludah menjadi
rasa.
e.
Perabaan
Menurut Ibnu Sina, indera peraba merupakan daya yang terbesar di seluruh
kulit badan, daging, dan syaraf-syaraf yang tersebar di keduanya. Indera peraba
menangkap sesuatu yang dapat disentuh. Ibnu Sina berbeda pendapat dengan
Aristoteles yang berpendapat bahwa sesungguhnya alat indera peraba adalah hati,
sedangkan daging merupakan perantara perabaan sebagaimana udara yang menjadi
perantara bagi penglihatan.
Dari hal itu, terlihat kekurangan pengetahuan Ibnu Sina tentang organ-organ
syaraf dan kekurangan alat bantu dalam melakukan pengamatan, sehingga dia tidak
dapat membedakan antara kulit badan, daging dan syaraf. Ibnu Sina berkata,
“Sesungguhnya semuanya merupakan alat indera peraba.” Sementara yang popular
saat ini, alat indera peraba merupakan ujung syaraf yang tersebar di kulit
badan.
Pada saat membicarakan tentang alat peraba, Ibnu Sina menunjukkan suatu
fakta ilmiah yang belum terungkap kecuali pada masa modern, yaitu ketika dia
mengatakan, “Daya ini bukan merupakan satu macam, tetapi empat jenis daya yang
tersebar di seluruh kulit.
Dengan demikian, dia menunjukkan- sebagaimana Aristoteles sebelumnya-
tentang kemungkinan adanya beberapa indera peraba, dan bukan satu peraba, yang
masing-masing memiliki perabaan tertentu, yaitu panas, dingin, lembab, kering,
keras, lembut, kasar dan licin. Penelitian-penelitian di bidang fisiologi
modern menetapkan adanya beberapa alat indera di kulit yang masing-masing
berkaitan dengan penginderaan tertentu. Penginderaan kulit ini adalah tekanan,
panas, dingin, dan rasa sakit.
Ibnu Sina berpendapat tentang adanya satu macam penginderaan yang terjadi
pada bagian-bagian dalam dari tubuh, yang sebenarnya merupakan semacam perebaan. Penginderaan ini
membuat kita merasakan berbagai penyakit yang melanda bagian-bagian tubuh yang
tidak memiliki indera, semisal jantung, hati dan limpa melalui selaput syaraf
yang melingkupinya. Penelitian-penelitian di bidang fisiologi modern
menyimpulkan adanya rabaan internal yang terjadi di bagian-bagian dalam tubuh,
sebagaimana pendapat Ibnu Sina sebelumnya.
2.
Indera Internal
Sesungguhnya alat-alat indera eksternal yang pernah kita bicarakan
sebelumnya mempersepsi stimulus inderawi tertentu, seperti warna, suara, rasa,
bau, atau kualitas indera rabaan. Selanjutnya stimulus inderawi ini mengalir ke
indera internal, yaitu indera kolektif di mana stimulus-stimulus inderawi ini
berkumpul dalam proses persepsi sensorik yang sempurna terhadap obyek inderawi.
Jika stimulus inderawi hilang, maka gambarnya bertahan di indera batin yang
lain, yaitu daya konsepsi yang dapat me-recall dan mengingatnya kembali.
Ada satu indera internal lain, yaitu daya fantasi yang merespon obyek-obyek
inderawi yang tersimpan di dalam daya konsepsi, sehingga menyatu satu sama lain
atau terpisah satu sama lain dalam proses fantasi, mimpi dan kreasi. Ada juga
indera internal lainnya, yaitu waham atau daya waham yang mempersepsi berbagai
makna non-inderawi dari berbagai stimulus inderawi eksternal, semisal persepsi
waham tadi tersimpan di dalam indera internal lain yang disebut memori.
Selain itu, di antara indera internal ada yang menangkap stimulus indewasi,
ada yang menangkap berbagai makna dari stimulus inderawi, ada yang menangkap
berbagai makna dari stimulus inderawi, ada yang mempersepsi dan bereaksi secara
bersamaan, dan ada yang mempersepsi tetapi tidak bereaksi. Perbedaan antara
persepsi stimulus fisik dan stimulus makna adalah bahwa stimulus fisik
dipersepsi oleh indera lahir dan batin secara bersama-sama, tetapi indera lahir
mempersepsinya terlebih dahulu baru kemudian dikirim ke indera batin. Misalnya,
kambing mempersepsi gambar serigala dengan alat indera lahirnya atau
mempersepsi bentuknya, warnanya, dan suaranya, kemudian mengirim gambar
tersebut ke indera kolektif, dimana sensorik inderawi terjadi dengan sempurna.
Sedangkan makna dipersepsi oleh indera batin dari stimulus inderawi tanpa
dipersepsi terlebih dahulu oleh indera lahir, seperti daya waham pada kambing
yang mempersepsi makna permusuhan pada serigala.
Berkaitan dengan perbedaan antara persepsi yang disertai aksi dan persepsi
tanpa disertai akis, maka yang pertama (penyebab yang disertai aksi) terlihat
jelas dari fungsi daya fantasi. Sebab, daya fantasi menggabungkan gambar-gambar
dari stimulus inderawi dan berbagai makna satu sama lain serta memisahkan satu
sama lain, sehingga dengan demikian terjadi suatu persepsi dan aksi terhadap
sesuatu yang dipersepsi. Sedangkan persepsi tanpa aksi adalah jika gambar atau
makna saja yang tergambar di dalam daya indera batin tanpa terjadi padakeduanya
aksi atau tindakan. Oleh karena itu, daya konsepsi menyimpan gambar-gambar
inderawi dan memori menyimpan makna-makna yang bersumber dari stimulus
inderawi. Keduanya tidak memiliki aksi apapun terhadap apa yang disimpannya.
Ibnu Sina
berkata, “Sesungguhnya wujud indera batin merupakan sesuatu yang penting bagi
kesempurnaan hidup dan kesempurnaan pangetahuan. Maka, pengetahuan yang
diberikan indera lahir kepada kita tidak cukup bagi daya indera dalam
memberikan kebutuhan materi yang lazim untuk melaksanakan fungsi persepsi. Hal
itu karena setiap indera mempersepsi stimulus inderawi yang tertentu saja dan
tidak dapat membedakan antara stimulusnya dengan stimulus inderawi lainnya.
Agar pengetahuan terjadi dan tujuan tercapai, yaitu perolehan kesempurnaan,
maka penting untuk mengumpulkan berbagai stimulus inderawi pada satu daya yang
dapat berhukum atasnya dan membedakannya. Ibnu Sina memandang bahwa hal itu
bukan hanya sesuatu yang primer untuk memperoleh pengetahuan, tetapi penting
juga untuk keberlangsungan hidup. Jika hewan tidak dapat mempersepsi sesuatu
sebagai sesuatu yang manis, maka ia tidak mungkin memakannya ketika melihatnya.
Sebaliknya, jika hewan tidak tahu bahwa sesuatu itu menyakitkan, maka ia tidak
akan pernah menjauhinya ketik melihatnya. Ibnu Sina berkata, “Seandainya pada
diri hewan tidak ada sesuautu yang menjadi tempat berkumpulnya berbagai
gambaran inderawi, maka ia tidak akan bisa melewati kehidupan dan penciuman
tidak akan pernah menjadi peringatan terhadap bentuk penderitaan, sehingga ia dapat
melarikan diri darinya. Oleh karena tiu, gambaran-gambaran itu pasti memiliki
satu tempat berkumpul dari batin.
Daya itu adalah daya koleksif, dan ia menjadi pusat segala indera. Semua
stimulus inderawi berkumpul di dalamnya. Selanjutnya, Ibnu Sina mengatakan,
“Maka yang penting bagi kesempurnaan hidup dan kesempurnaan pengetahuan adalah
persepsi semua gambaran inderawi di kedalaman stimulus inderawi itu sendiri.
Sebab, hewan tidak cukup untuk melihat sesuatu yang bermanfaat, lalu
mengejarnya. Dan penting juga ia mengkonsepsinya pada saat tidak ada stimulus
agar ia berusaha memperolehnya. Jika tidak, maka sesungguhnya hewan itu enggan
untuk bergerak pada saat tidak ada stimulus inderawi. Jadi, ada suatu daya yang
menyimpan berbagai gambaran inderawi ketika sedang tidak ada, yaitu fantasi
atau konsepsi.
Agaknya, proses mengingat, berfantasi, bermimpi, dan mempsepsi semua makna
parsial yang bersumber dari persepsi stimulus inderawi eksternal menurut Ibnu
Sina- sebagaimana menurut al-Farabi dan filosof Muslim pada umumnya- merupakan
proses-proses yang termasuk dalam bagian persepsi inderawi. Semua itu bukanlah
proses rasional, sebagaimana digambarkan para psikolog modern. Hal itu
disebabkan karena Ibnu Sina dan filosof Muslim pada umumnya menganggap semua
proses sensorik yang mencakup stimulus inderawi eksternal adalah proses yang
bersifat inderawi. Proses itu terjadi pada hewan dan manusia, sedangkan akal
berfungsi mempersepsi stimulus-stimulus rasional yang bersifat
universal-abstrak. Proses itu hanya ada pada manusia saja tanpa pada makhluk
yang lain. Jelas sekali, Ibnu Sina dan filosof Muslim pada umumnya terpengaruh
oleh pemikiran-pemikiran Aristoteles tentang topik ini.
Post a Comment