Untuk file dalam format pdf silakan download disini Download
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama dakwah[1],
artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan
kegiatan dakwah.[2]
Kegiatan penyebaran dakwah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran
Islam. Bahkan dakwah merupakan kewajiban pokok bagi setiap muslim melaksanakan amar ma’ruf dan nahyi munkar merupakan dalil baku dalam agama Islam. Bahkan dakwah
merupakan kewajiban utama bagi setiap muslim dalam rangka melaksanakan amar
ma’ruf nahyi munkar, karena perintah berjuang untuk menegakkan kebenaran sudah
menjadi prinsip yang jelas dalam Islam.[3]
Oleh karena itu, Islam tidak menganut
adanya hierarki religius, setiap muslim bertanggung jawab atas perbuatannya
sendiri di hadapan Allah. Namun demikian, karena ajaran Islam bersifat
universal dan ditujukan kepada seluruh umat manusia, kaum muslim memiliki
kewajiban untuk memastikan bahwa ajarannya sampai kepada seluruh manusia di
sepanjang sejarah.[4]
Dakwah berintikan pada pengertian
mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari keburukan.
Ajakan tersebut dilakukan dengan cara yang lemah lembut dan menyejukkan, ajakan
dilakukan dengan tujuan tegaknya agama Islam dan berjalannya sistem Islam dalam
kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Dakwah juga bertujuan untuk
menghidupkan atau memberdayakan, sehingga masyarakat memperoleh momentum
meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan, menimbulkan suasana yang kondusif
bagi tegaknya nilai-nilai agama Islam.[5]
Allah SWT berfirman:
$pkr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7ÉftGó$# ¬! ÉAqߧ=Ï9ur #sÎ) öNä.$tãy $yJÏ9 öNà6Íøtä ( (#þqßJn=ôã$#ur cr& ©!$# ãAqçts ú÷üt/ ÏäöyJø9$# ¾ÏmÎ7ù=s%ur ÿ¼çm¯Rr&ur Ïmøs9Î) crç|³øtéB ÇËÍÈ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu, ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan
hatinya dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.
(QS. al-Anfal [8]: 24)
Salah satu
tujuan utama dakwah adalah perubahan perlahan masyarakat serta tranformasi
kontinu masyarakat untuk makin mendekatkan diri mereka ke jalan yang lurus.
Karena Islam mengajarkan dan membimbing orang untuk tidak menjadi shaleh dan
benar sendiri saja, tetapi juga berusaha untuk memperbaiki orang lain.[6]
Dalam al-Qur’an dinyatakan:
ô`tBur ß`|¡ômr& Zwöqs% `£JÏiB !%tæy n<Î) «!$# @ÏJtãur $[sÎ=»|¹ tA$s%ur ÓÍ_¯RÎ) z`ÏB tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# ÇÌÌÈ
Dan siapakah yang lebih indah
perkataan-(nya) dari orang yang menyeru ke jalan Allah, mengerjakan amal
kebaikan dan berkata, “Aku tergolong orang yang berserah diri?”
(QS. Fushshilat [41]: 33)
Berkembangnya Islam ke seluruh penjuru
dunia dan menjadi keyakinan berbagai bangsa, merupakan buah dari upaya dakwah
yang tidak kenal henti dari para juru dakwah yang menyampaikan ajaran Islam dan
menyerukan kepada umat manusia agar masuk Islam. Maka dibutuhkan rumusan
strategi dan metode dakwah sesuai dengan kondisi masyarakat[7]
negara yang dihadapi oleh para juru dakwah.[8]
Dengan kata lain, pesan dakwah Islam perlu dirancang sesuai untuk masing-masing
kelompok orang.
Dinamika
kehidupan masyarakat terus berkembang, maka aktivitas dakwah haruslah dinamis,
inovatif, dan kreatif. Letak dinamika dan kreativitas dakwah, bukan hanya pada
materi yang harus selalu relevan dengan kebutuhan masyarakat (mad’u), tetapi
juga pada teori, metodologi, dan media yang dipergunakan. Selain itu, dakwah
juga perlu menggunakan pijakan berbagai teori, baik teori komunikasi,
psikologi, maupun teori sosiologi.
Terlebih
lagi, fenomena dakwah Islam merupakan tantangan besar dan berliku. Seperti
bagaimana menjelaskan dan menganalisa prinsip-prinsip Islam yang universal-
dinyatakan dalam konteks sosial yang berbeda-beda. Ekspresi Islam yang beragam
itu menunjukkan bahwa ada proses dialog yang terus-menerus antara Islam yang
normatif dan Islam yang dinamis.[9]
Nabi
Muhammad Saw, telah memberikan kerangka berpikir sebagai prinsip sistem dan
metodologi dakwah secara empiris dengan sabdanya: Khatibu al-nas ‘ala qadri ‘uqulihim. Berdakwah sesuai dengan
tingkatan berpikir mad’u. Cara berpikir terefleksi dan tercermin dalam sistem
kehidupan manusia: caya berkeyakinan, berbudaya, bermasyarakat, dan
berperadaban.[10]
Pemahaman
terhadap realitas mad’u tidak hanya mengenai profil mereka yang sebenarnya
tetapi juga pemahaman terhadap formulasi doktrin Islam yang benar dan metode
penyampaian yang tepat serta faktor lainnya, maka masalah dakwah menjadi
kompleks. Perumusan hasil pemahamannya secara komprehensip dan utuh sampai
menemukan teori, strategi, metodologi dan teknik dakwah yang akurat dan relevan
dengan profil mad’u, maka diperlukan pendekatan dakwah secara keilmuan bukan
sekadar sebagai kegiatan. Hal ini dimaksudkan agar doktrin-doktrin Islam
tentang dakwah dapat diformulasikan menjadi teori keilmuan dakwah sehingga
masalah dakwah yang kompleks dapat dikenali variabelnya dan disistematisasikan
untuk keperluan analisa fenomena dakwah.[11]
Oleh karena itu, memahami arus
mendasar dalam masyarakat tertentu merupakan modal dalam mengkomunikasian
pesan-pesan Islam. Sering kali kurangnya atau tidak memadainya informasi
tentang penerima dakwah membuat kerja dakwah tidak memuaskan. Kisah sukses para
da’i awal bermula dari kebijakan mereka untuk tidak menghancurkan kebudayaan
asli dan menggantikannya dengan kebudayaan Arab. Hal ini karena keragaman
budaya merupakan salah satu kekuatan dasar Islam. Para da’i awal tidak hanya
menghormati kebudayaan lain tetapi juga mencari cara untuk memperkuatnya. Dalam
hal ini jelas bahwa penyebaran Islam di Asia Tenggara, misalnya, disebabkan
oleh kemampuan para da’i untuk menghormati norma-norma budaya lokal selama
budaya tersebut tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Oleh karena itu,
adalah penting bagi para da’i Islam yang baru untuk belajar dari sejarah para
pendahulu mereka yang mendasarkan dakwah mereka pada titik persamaan ketimbang
perbedaan.[12]
Perkembangan agama Islam di Palembang
ditinjau dari segi sejarah tidak lepas dari kegiatan usaha-usaha dakwah.
Pertumbuhan agama Islam di wilayah ini berkembang melalui kontak dagang di
samping budaya Palembang sendiri yang terbuka untuk itu. Kota Palembang
didirikan pada tanggal 17 bulan Juni tahun 683, penanggalan ini berdasarkan
bunyi tulisan dan perhitungan dari penanggalan tahun Caka, yang terdapat pada
prasasti yang ditemukan di Bukit Kampung 35 Ilir Kecamatan Ilir Barat II
sekarang. Tanggal tersebut, merupakan hasil diskusi penelitian, ditetapkan
sebagai hari lahir kotamadya Palembang tanggal 6 Mei 1972 No. 57/Um/Wk/72.[13]
Kota Palembang merupakan wilayah utama
kerajaan Sriwijaya[14]
yang berkuasa dari tahun 683 M sampai kira-kira tahun 1371 M. Catatan mengenai
waktu berakhirnya kerajaan Sriwijaya bermacam-macam, yang pasti adalah bahwa
kerajaan Sriwijaya terletak di Palembang[15]
dan sekitarnya, setelah runtuhnya, mengalami daerah taklukan dari kerajaan
Majapahit di Jawa pada pertengahan abad ke-15 M. Kerajaan Majapahit ini
berkuasa dari tahun 1292/1293 M sampai tahun 1527 M. Penguasa-penguasa
Majapahit atas Palembang bergelar Adipati Ing Palembang.[16]
Palembang sudah sejak zaman kuno
(setidak-tidaknya sejak permulaan tarikh Masehi) menjadi tempat singgah para
pedagang yang berlayar di Selat Malaka, baik yang akan pergi ke negeri Cina dan
daerah Asia Timur lainnya maupun yang akan melewati jalur barat ke India dan
negeri Arab serta terus ke Eropa. Selain para pedagang, para penziarah pun
banyak menggunakan jalur ini. Menurut sebuah catatan sejarah Cina yang ditulis
oleh It’tsing, ketika ia berlayar ke India dan akan kembali ke negeri Cina
tertahan di Palembang. Di sana ia membuat catatan tentang kota dan penduduknya.
Berdasarkan pendapat Sayid Naguib al-Alatas, kedua tempat di tepi Selat Malaka
pada permulaan Hijriah atau abad ke-7 M menjadi tempat singgah para musafir
yang beragama Islam dan diterima dengan baik oleh penguasa setempat yang belum
beragama Islam ialah Palembang dan Kedah. Dengan demikian jika mengikuti
pendapat tadi maka pada permulaan Hijriyah atau abad ke-7 M di Palembang sudah
ada masyarakat Islam yang oleh penguasa setempat (raja Sriwijaya) telah
diterima dengan baik dan dapat menjalankan ibadahnya menurut agama Islam.[17]
Sejak berdirinya, kerajaan, bercorak
Islam di wilayah Sumatera bagian selatan. Baru mulai berkembang beberapa abad
kemudian yakni sekitar akhir abad ke-15 M. Namun demikian, Palembang dengan
kerajaan yang masih beragama Hindu pada awal abad ke-16 M telah terdapat
keluarga raja Palembang yang beragama Islam. Berita dari sumber babab
memberikan keterangan yang cukup terperinci tentang peranan kerajaan Palembang
yang membina yang kemudian menjadi pengembang kerajaan Islam. Kedua tokoh
tersebut ialah Raden Patah dan Raden Husen (Adipati Terung). Sumber babad yang
menyebutkan tentang peranan Raden Patah sebagai raja Islam yang di Jawa dan
pendiri Kerajaan Demak, menyebutkan pula babad Tanah Purwaka Caruban Nagari[18]
dan Nagarakertabumi.[19]
Dia adalah keturunan dari raja Majapahit, yang di didik dan dibesarkan di
Palembang dan kemudian oleh raja Majapahit diberi nama Kertabumi. Dia diberi
tanah bernama Glagah Wangi. Dari tempat inilah ia kemudian atas bantuan wali
songo mendirikan kerajaan Demak.[20]
Bertitik-tolak dari tahun kematian
Raja Kertabumi yang terkenal dalam legenda Jawa dengan candrasangkala sirna
hilang kertaning bhumi (1400 Caka atau 1478 M), dapat pula ditafsirkan bahwa
Kertabumi wafat pada tahun 1400 Caka atau 1476 M. Pada tahun wafatnya itu
kerajaan Demak sudah berdiri. Dengan demikian kerajaan Palembang pada tahap
awal di bawah asuhan Ario Damar atau Ario Dilah (Ario Abdillah) telah banyak
berperan dalam mendidik dan membesarkan raja Islam yang kemudian menjadi
pendiri kerajaan Demak yakni Raden Patah.[21]
Maka dapat kita diurut di sini bahwa
ada dua peranan besar daerah Palembang dan Sumatera Selatan. Pada tahap pertama
ketika kerajaan Sriwijaya masih berdiri kokoh, mereka telah menerima kehadiran
orang-orang Islam untuk bermukim di pelabuhan Palembang dengan memberikan
kesempatan kepada mereka menganut dan menjalankan ibadah Islam. Kejadian ini
menurut Al-Atas ialah pada permulaan abad ke-7 M. Pada tahap kedua ketika
kerajaan Palembang sudah bercorak Islam, mereka telah membina seorang calon
raja dan penguasa Islam yang pertama di Jawa yakni Raden Patah di bawah asuhan
Ario Dilah. Dari Ario Dilah inilah kemudian lahir dan menjadi penerus raja-raja
Islam di Palembang. Bukti-bukti peninggalan arkeologi berupa makam-makam
raja-raja Palembang memberikan indikasi eratnya kaitan budaya Palembang dan
Demak karena tipologi maesan (nisan) raja-raja Palembang Geding Suro, Ratu
Sinuhun dan Lemah Abang bentuk dan corak pola hiasnya sama dengan makam dan
maesan raja-raja Demak di kompleks makam raja-raja Demak dekat masjid Agung
Demak.[22]
Para Sultan Palembang mempunyai minat
khusus pada agama, dan mereka mendorong tumbuhnya pengetahuan dan keilmuan
Islam di bawah patronase mereka. Para Sultan itu tampaknya melakukan
usaha-usaha tertentu untuk menarik para ulama Arab agar sekali lagi menetap di
wilayah mereka. Akibatnya, para imigran Arab, terutama dari Hadhramawt, mulai
berdatangan ke Palembang dalam jumlah yang semakin bertambah sejak abad ke
tujuh belas. Dan menjelang pertengahan abad itu, beberapa ulama Arab berhasil
mencapai kedudukan menonjol di istana Kesultanan Palembang. Pada 1168/1754-5
seorang Sayyid Aydarus diriwayatkan menikahi saudara perempuan Sultan Mahmud, dan beberapa sayyid yang tak
dikenal namanya memegang kendali pos-pos keagamaan di Kesultanan: mereka menjadi
“dai-dai senior,” dan salah seorang sayyid itu disebut “Tuan Besar.”[23]
Kesultanan Palembang mempunyai arti
tersendiri bagi masyarakat Palembang dan daerah sekitarnya, karena
keturunan-keturunannya itu pulalah yang giat menyebarkan agama ke daerah Uluan,
bahkan memberikan kebebasan kepada setiap pedagang yang akan menyebarkan agama
sambil berdagang. Para da’i yang terkenal di masyarakat perkotaan maupun
pedusunan di antaranya; Haji Hasan atau Haji Sepuh Djambi, Kyai Merogan Haji
Abdulhamid dan Kyai Delamat di Kabupaten Musi Banyuasin, Mudjang Djawe
Gelar Mangkubumi, Panghulu Haji Pidin di
Kabupaten Musi Rawas; Syeikh Mahmud Syaid Ratu, Syeikh Alam Raja Kuasa Kute
Telang Gumiling Ayeh Lematang, Syeikh Angkasa Ibrachim Human Ayek Lematang,
Achmad Sabirin Anom Suro, Raden Pallawa Syeikh Djalil dan Achmad Muhammad di
Kabupaten Liot; Anak Bungsu dan Nur Qadim (Puyang Awak) yang berlokasi di
Praudipe di daerah Pagaralam/Lahat; Puyang Sekampung di daerah Ogan Komering
Ilir; Tuan Sarah, Nuchada Sulaiman, Qori dan Syaid Hasan di daerah Bangka
Belitung.[24]
Sedangkan salah seorang da’i yang
disebutkan di atas, Kyai Merogan Haji Abdulhamid adalah da’i terkemuka yang
berdakwah di daerah Kecamatan Kertapati Palembang. Di tempat ini, Kyai Merogan
Haji Abdulhamid membangun sebuah mesjid yang terletak di daerah Karang Birahi
di sudut pertemuan Sungai Ogan dan Sungai Musi. Arsitekturnya mengikuti Mesjid
Agung. Mesjid ini waktu diwakafkan dilengkapi dengan ala-alat seperti lampu stolop[25],
lampu kandil, lampu satron[26]
dan berbagai perlengkapan lainnya. Mesjid ini tampaknya merupakan mesjid
pertama yang dibangun di daerah Seberang Ulu.[27]
Sebagaimana dilaporkan oleh Alkemade
bahwa ibukota Palembang dibagi dua oleh Sungai Musi. Perkampungan penduduk
dibagi atas Seberang Ilir dan Seberang Ulu. Perkampungan di Seberang Ilir terdiri
dari Kampung Seberang Ilir 1 sampai 36 (tetapi tidak ada Kampung Seberang Ilir
7, 12, 20 dan 33) dan untuk Seberang Ulu terdiri dari Kampung Seberang Ulu dan
Mesjid Agung Palembang terletak di Kampung 19 Ilir.[28]
Mesjid Muara Ogan ini diperkirakan
dibangun tahun 1871 oleh Masagus Haji Abdul Hamid dan baru diwakafkan pada 6
Syawal 1310 H (23 April 1893). Ini berarti pada mulanya mesjid ini milik
pribadi dan digunakan untuk sembahyang dan belajar agama/mengaji bagi keluarga
dan masyarakat sekitarnya. Lebih-lebih lagi Masagus Haji Abdul Hamid dikenal
masyarakat sebagai seorang ulama, tentunya mempunyai banyak murid. Ketika
anggota jamaahnya menjadi makin bertambah terus sehingga mesjid tersebut perlu
ditingkatkan menjadi Mesjid Jamik (mesjid yang menyelenggarakan shalat Jum’at).
Kapan mesjid Muara Ogan menjadi Mesjid Jamik, tidak ditemukan catatan yang
pasti.[29]
Kiai Muara Ogan nama aslinya adalah Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin
Masagus Haji Mahmud Alias Kanang, menurut sejarah beliau lahir di fajar hari
tahun 1227 H bersamaan dengan tahun 1811 M. Beliau lahir di kampung Karang
Berahi (sekarang Kelurahan Kertapati). Oleh karena beliau berdomisili di tepi
sungai Musi dipertemuan antara sungai Ogan dan sungai Musi tepatnya di muara
sungai Ogan beliau lebih dikenal dengan sebutan Kiai Muara Ogan atau Kiai
Marogan atau Kiai Merogan. Nama ini juga dipakai sebagai nama jalan dari
Simpang Empat jembatan sungai Ogan Kertapati 1 Ulu sampai kearah Simpang Empat
Kemang Agung arah jembatan Musi II Palembang.
Ayah Kiai Muara Ogan juga seorang ulama, merupakan salah seorang murid dari
Syekh Abdusshomad Al Falembani sedangkan ibunya bernama Verawati seorang wanita
Siam (Cina). Kiai Muara Ogan mempunyai seorang adik laki-laki yang bernama Kiai
Masagus Haji Abdul Aziz lebih dikenal sebagai Kiai Mudo, karena usianya lebih
muda dari Kiai Muara Ogan. Kiai Muara Ogan merupakan keturunan dari Maulana
Malik Ibrahim dan Raden Fatah, dua orang diantara Wali Songo yang terkenal.
Kiai Muara Ogan wafat malam Rabu tanggal 17 Rajab 1319 H. bersamaan
tanggal 31 Oktober 1901 M. dan dimakamkan dihalaman sebelah Selatan Masjid
beliau dalam usia lebih kurang 90 tahun, dan sampai sekarang makam beliau ini
masih ramai diziarahi orang dari berbagai kalangan baik dari dalam kota maupun
dari luar kota Palembang, lebih-lebih pada hari Minggu dan hari Jum’at.
Dalam hal perjuangan telah diakui oleh banyak kalangan, tidak saja dari
masyarakat kota Palembang tetapi juga luar Palembang mengakui eksistensi
perjuangan beliau seperti masyarakat Pemulutan, Pedu, Jejawi, Batun, Lingkis
sampai ke hulu sungai Rotan dan lain-lain umumnya masyarakat Batang hari
Sembilan. Selain mengajarkan agama Islam, beliau juga mendirikan dan
memperbaiki masjid-masjid didaerah tempat beliau berdakwah. Seperti di dusun
Pedu, dusun Pemulutan Ulu, Ogan Komering Ilir dan sebagainya.
Sosok Kiai Muara Ogan adalah seorang Ulama yang pantas menjadi teladan para
da’i dan ulama masa kini karena beliau berjuang, berdakwah, mengajarkan agama
Islam, membangun masjid adalah dengan biaya sendiri karena beliau juga seorang
pengusaha kayu (swamill) yang sukses dimasa itu disamping juga beliau mendalami
ilmu Fiqih, ilmu Falaq, ilmu Tasawuf dan tarekat Samaniyah.
Sepeninggal Kyai Merogan Haji
Abdulhamid estapet dakwah di kecamatan kertapati Palembang dilanjutkan oleh
anak cucunya. Dengan memusatkan kegiatan dakwah di masjid Muara Ogan. Kegiatan
dakwah tersebut saat ini membidangi berbagai macam kegiatan dakwah di antaranya
pendiri Yayasan Kiai Merogan, Rumah Tahfidz Terapung. Rumah Tahfidz Terapung Kiai
Marogan (RT2KM) merupakan pesantren mikro berbasis masjid yang bergerak dalam
pendidikan Qur'an. Ide dasar pendirian RT2KM untuk memakmurkan masjid Kiai
Marogan. Peresmian RT2KM pd bulan Rajab 1431 H oleh ust.KH.Yusuf Mansur.
Rumah
Tahfidz Kiai Marogan merupakan suatu bentuk pesantren mikro berbasis masjid
yang bergerak dalam pendidikan tahfidz (hapalan) al-Qur’an, dimana pusat
pembelajaran tahfidz-nya diadakan di masjid Kyai Marogan. Ide dasar
pendirian lembaga ini, memang, untuk memakmurkan masjid dan musholla, yaitu
dengan kegiatan tahfidz al-Qur’an. Program Rumah Tahfidz Kiai Marogan (RTKM)
digulirkan untuk mendukung program Gerakan Seribu Satu Masjid (GESSID) yang
pernah dicanangkan Walikota Palembang beberapa tahun yang lalu, sebuah
cita-cita untuk menjadikan Palembang kota religius.
Dengan
konsep pesantren berbasis masjid ala rumah tahfidz, diharapkan keberadaan 776
Masjid yang berada di kota Palembang menjadi lebih makmur dengan kegiatan
pembelajaran al-Quran yang intensif. Bukan hanya diisi dengan kegiatan
seremonial Peringatan Hari Besar Islam.
Masjid Kyai
Marogan merupakan masjid tua yang bersejarah, buah peninggalan Masagus KH.
Abdul Hamid alias Kiai Marogan, sosok ulama legendaris pelopor dakwah Islam di
Bumi Kesultanan Palembang Daarussalam. Kyai Marogan masih dikenang masyarakat
Sumatera Selatan sampai sekarang. Hampir tiap hari, tak kurang 500 orang
peziarah mengunjungi makam tersebut dari berbagai daerah.
Letak
masjid ini memang sangat strategis. Dapat ditempuh melalui jalan darat dan
laut. Dari jalan darat masuk melalui Stasiun Kereta Api Kertapati. Tetapi
masyarakat lebih senang ke masjid ini dari arah sungai, menggunakan
transportasi sungai seperti Kapal, speed boat, perahu mesin, perahu
dayung. Letak masjid ini persis menghadap ke tepi sungai Musi dan muara sungai
Ogan. Julukan Kyai Marogan pun diambil dari kata Muara Ogan atau muara sungai
Ogan. Dari tepi sungai, bangunan masjid ini tampak anggun sedap dipandang mata.
Jantung
kota Palembang memang terletak di tepi sungai, tepatnya di Benteng Kuto Besak,
Jembatan Ampera. Visi dari Pemkot sendiri ingin mengembalikan sungai Musi
sebagai denyut nadi kota Palembang. Sebagai sungai terpanjang, Sungai Musi,
dapat menjangkau daerah-daerah se-Sumatera Selatan.
Selain
kawasan wisata ziarah, masjid ini merupakan pusat kegiatan dakwah bagi umat
Islam di Palembang dan sekitarnya. Pelbagai pengajian digelar di masjid ini;
mulai pengajian rutin fiqih, pengajian mingguan thariqah Sammaniyah, pengajian
bulanan Majelis Dhuha Nasional, hingga pengajian al-Quran yang diadakan Rumah
Tahfidz.
Salah satu dimensi dakwah yang banyak
terabaikan adalah pengembangan masyarakat. Umat Islam masa kini telah berjumlah
lebih dari satu miliar orang yang diharapkan akan terus bertambah dalam tiga
dekade mendatang. Banyak bagian dari dunia Muslim terdapat di wilayah yang
tertinggal secara teknologi. Mereka membutuhkan kerja sama mendesak untuk
membantu di bidang pengembangan masyarakat. Pembangunan seperti itu mencakup
dan tidak terbatas pada lapangan kerja bagi lapangan bagi kalangan muda
berpendidikan, kerampilan yang tidak bisa dikaryakan, kemiskinan, buta huruf,
rendahnya tingkat kesehatan, rendahnya kualitas fasilitas sanitasi, sumber daya
alam yang tidak dilestarikan, penyalahgunaan obat, korupsi, dan lain-lain.
Untuk menanggulangi masalah-masalah ini, kerja dakwah menjadi wajib.[30]
Perkembangan Islam di Palembang adalah
salah satu potret dari perkembangan dakwah Islam di bumi nusantara Indonesia. Di
mana Islam menduduki posisi terhormat di semua kalangan dan dapat bersanding
baik dengan agama-agama lain yang ada di Palembang. Berdasarkan fenomena
tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara akademis ilmiah
bagaimana perkembangan dakwah di Palembang dan faktor apa saja yang menjadi
pemicu dan penghambat dakwah di Palembang. Langkah ini sekaligus juga dapat
memperkenalkan dinamika dan perkembangan Islam di Palembang kepada seluruh
masyarakat Islam dan masyarakat dunia pada umumnya.
B. Pembatasan dan Perumusan
Masalah
Mengingat masalah yang dikaji terlalu
luas, maka harus dibatasi karena tidak mungkin dipaparkan secara keseluruhan. Secara
garis besar, penelitian ingin mengungkap mengenai tiga hal besar. Pertama, Islam sebagai agama dakwah
memiliki makna bahwa selama ada islam selama itu juga dakwah berlangsung. Terkait
hal itu, penelitian ini berusaha memahami bagaimana proses penyebaran dakwah
yang berlangsung di kecamatan Kertapati Palembang.
Kedua, menyangkut strategi
dan pendekatan yang dilakukan para da’i, ulama, dan tokoh masyarakat dalam
upaya mengembangkan dakwah islam di kecamatan Kertapati Palembang.
Ketiga, faktor-faktor apa
saja yang menjadi penghambat dan pemicu dakwah dikecamatan Kertapati Palembang.
Permasalahan ini akan mengungkapkan bagaimana para da’i berusaha mengatasi
hambatan dakwah di kecamatan Kertapati Palembang dan apa faktor-faktor yang
menjadi keberhasilannya dalam berdakwahnya.
Dengan membatasi kajian pada bagaimana
proses penyebaran dan perkembangan dakwah Islam di Kecamaatan Kertapati Palembang.
Dengan demikian, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini akan difokuskan
pada proses penyebaran dan perkembangan dakwah, dan faktor-faktor apa saja yang
menjadi pemicu dan penghambat dakwah di kecamatan kertapati Palembang.
Berdasarkan identifikasi dan
pembatasan masalah di atas, peneliti merumuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimana penyebaran dan perkembangan dakwah di kecamatan kertapati
Palembang?
2.
Faktor-faktor apa saja yang menjadi pemicu dan penghambat kegiatan dakwah
di kecamatan kertapati Palembang?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di
atas, penelitian ini bertujuan untuk:
- Mendeskripsikan proses penyebaran dan
perkembangan dakwah di kecamatan kertapati Palembang.
- Menjelaskan faktor-faktor yang menjadi pemicu dan penghambat dakwah di kecamatan kertapati Palembang.
D. Signifikansi Penelitian
- Memberikan penjelasan secara ilmiah bagaimana
proses penyebaran dan perkembangan dakwah di kecamatan kertapati Palembang.
- Memberikan temuan teoritis dan praktis yang
berguna bagi kelanjutan dakwah di kecamatan kertapati Palembang.
- Secara praktis penelitian ini diharapkan
memiliki manfaat dan signifikansi, antara lain: menjadi inspirasi bagi
para da’i dan da’iyah dalam menjalankan kegiatan dakwahnya.
- Mendorong umat Islam baik secara individu maupun masyarakat untuk menyebarkan agama Islam khusus di kecamatan Kertapati Palembang.
E.
Penelitan dan Kajian Islam di Palembang yang Relevan
Berbagai kajian yang dilakukan oleh
para ahli ilmu sosial yang menjelaskaan tentang tumbuh kembangnya agama Islam
di palembang di antaranya:
Buku, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Taufik Abdullah
dkk, 1986) membahas aktivitas yang berkaitan dengan masuk dan berkembangnya
Islam di wilayah Palembang dan sekitarnya serta daerah-daerah lainnya yang ada
di wilayah sumatera selatan sekarang.
Disertasi, Sistem Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama
Masa Kesultanan dan Kolonial di Palembang, (Husni Rahim)- buku ini membahas
tentang sistem otoritas dan administrasi Islam di Palembang, yang menjadikan
sistem kewenangan agama sebagai fokus utama. Meskipun begitu, studi ini dengan
mendalam mempelajari corak dan dinamika hubungan antara komunikasi ummat,
kewenangan agama, yang pluralistik, dengan sistem kekuasaan politik.
Dari karya-karya di atas dapat diambil
pelajaran bahwa komunikasi insani merupakan gejala yang hampir selalu
melibatkan manusia. Sebagai aktor komunikasi, baik perannya sebagai komunikator
maupun komunikan, manusia merupakan sosok dengan muatan nilai. Sesuatu nilai
yang dianut manusia dapat bersumber dari budaya, tradisi, norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat, atau bahkan agama dan kepercayaan. Latar belakang
inilah yang kemudian ikut mempengaruhi faktor persepsi ketika seseorang
memaknai simbol yang diterima sekaligus merumuskan pesan yang akan disampaikan.
Oleh karena itu, pesan dalam komunikasi selalu sarat nilai dan memerlukan suatu
sistem yang sistematis.
F.
Metodologi Kajian dan Langkah-langkah Penelitian
Dilihat dari objek kajian dan
orientasi yang hendak dicapai, kajian ini merupakan kajian lapangan (field research) yang menggunakan metode
kualitatif.[31]
Kajian ini memusatkan perhatiannya pada sumber-sumber data lapangan. Data
kepustakaan tetap membantu dalam memperkaya bobot kajian.
Untuk memperkaya dan mempertajam
analisis, peneliti akan mengangkat pandangan orang-orang yang terlibat langsung
dalam kegiatan dakwah di kecamatan kertapati Palembang, yang sudah barang tentu
memahami dan mengetahui aktivitas dakwah di kecamatan kertapati Palembang.
Sumber utama dalam kajian ini adalah
data yang dikumpulkan dari hasil wawancara dan observasi pada masyarakat Islam
di Palembang dan untuk memperkuat hasil tersebut, data juga didukung oleh
daftar pustaka yang ditulis oleh tokoh-tokoh representatif tentang kawasan
Palembang.
Teknik pengamatan berperan serta adalah
stretegi lapangan yang secara simultan memadukan analisis dokumen, wawancara
dengan responden dan informan, partisipasi dan observasi secara langsung serta
intropeksi. Sebagai salah satu teknik pengumpulan data.
Kajian ini juga menggunakan wawancara
mendalam sebagai salah satu teknik pengumpulan data. Dalam hal ini informan
yang diwawancarai meliputi pengurus Rumah Tahfidz Kiaimerogan Kertapati
Palembang, juga informan yang penulis acak dari masyarakat setempat yang
dianggap menguasai seputar tema pokok kajian.
Sedangkan dokumen tentang dinamika
perkembangan Islam di kecamatan kertapati Palembang dapat diperoleh di
koleksi-koleksi di kantor-kantor pemerintahan terutama departemen yang
menangani urusan sosial kemasyarakatan, begitu juga dapat ditemukan di perpustakaan
yang mengoleksi tentang sejarah perkembangan Islam di Palembang. Dokumen dalam
konteks kajian ini diperlukan terutama untuk memperkaya landasan teoritis yang
berkaitan dengan tema kajian ini.
Teknik analisa data yang digunakan
dalam kajian ini mengikuti tiga tahap analisa data yaitu reduksi data, display
data dan penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Pertama, reduksi data, Data atau informasi yang
ada dikelompokkan sesuai dengan topik permasalahan kajian.
Kedua, penyajian (display) data. Setelah data direduksi, tersusun secara sistematis
dan terkelompokkan berdasarkan jenis dan polanya, selanjutnya di susun dalam
bentuk narasi-narasi sehingga berbentuk rangkaian informasi yang bermakna
sesuai dengan permasalahan kajian.
Ketiga, pengambilan kesimpulan dan
verifikasi. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil reduksi dan penyajian data.
Setelah mendapatkan kesimpulan langkah selanjutnya adalah verifikasi dengan
cara mencari data baru yang lebih
mendalam untuk mendukung kesimpulan yang sudah didapatkan.
Tahap ini dimaksudkan untuk
menghindari kesalahan interpretasi dari hasil wawancara dengan sejumlah subyek
kajian yang dapat mengaburkan makna persoalannya dari fokus kajian-kajian ini.
Pendekatan sejarah sangat terkait
dengan kajian tesis ini, sebab analisa sejarah (historical analysys) penting dihadirkan untuk melihat bagaimana
kondisi obyektif masyarakat Islam di Palembang dalam konteks mereka memahami
agama dan budaya Islam yang dibawa oleh para da’i.
Secara garis besar bahwa untuk sejarah
diperlukan langkah atau cara yang disebut metode sejarah (historical method), yaitu prosedur kerja sejarawan secara ilmiah,
melalui empat langkah. Pertama, heuristic,
yaitu kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau atau sumber-sumber sejarah.
Kedua, kritik sejarah, yaitu menyelidiki apakah jejak-jejak atau sumber-sumber
tersebut sejati atau sah, baik bentuk, maupun isinya (kritik eksternal dan
internal). Ketiga, interpretasi, yaitu menetapkan makna dan saling hubungan
antara data atau sumber dengan fakta
tersebut. Keempat, historiografi, yaitu penulisan ceritah sejarah itu sendiri
yang diperoleh dari analisis fakta-fakta sejarah. Pekerjaan ini merupakan
langkah terakhir.[32]
Sedangkan pendekatan yang dipakai
dalam penelitian ini adalah sejarah sosial (social
history). Sejarah sosial digunakan karena studi sejarah tidak terbatas pada
pengkajian masalah yang informatif tentang apa, siapa, di mana dan bagaimana,
tetapi ingin melacak berbagai struktur masyarakat, pola kelakukan, kecendrungan
proses dalam berbagai bidang, dan lain-lain.
Penelitian ini juga menggunakan
pendekatan sosiologi[33]
agama. Sosiologi agama berusaha untuk memahami kekuatan-kekuatan dasar yang
berada yang berada dibelakang tata kelakuan sosial. Masalah sosial merupakan
akibat dari interaksi sosial antar individu, antara individu dengan kelompok,
atau antar kelompok itu sendiri. Sosiologi agama merupakan suatu ilmu yang
menelaah dan menganalisis kehidupan bersama manusia serta akibat-akibatnya yang
mungkin dilanjutkan dengan suatu proyeksi. Agama sebagai suatu lingkup
sosiologi[34]
berintikan pada ideologi, doktrin, konsep, dan aplikasi, sehingga sudah
sewajarhnya apabila tumbuh pengkhususan dalam wujud sosiologi agama.[35]
G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam tesis ini disajikan
dalam 6 (enam) bab yang masing-masing bab terdiri dari sub-sub bahasan saling
berkaitan. Setelah memaparkan bab pertama, yang berisi tentang paparan umum dan
normatif tesis ini, pada bab dua membahas pengertian dakwah, proses penyebaran
dan perkembangan masyarakat Islam. Tulisan pada bab ini akan membahas mengenai
pengertian, tujuan, dan metode pendekatan dakwah. Selain itu, juga membahas
mengenai konsep pengembangan masyarakat Islam.
Bab ketiga penulis menjelaskan tentang
konteks sosial historis islamisasi awal di Palembang, proses masuknya islam
dalam tinjauan sejarah, dan kedatangan dan penerimaan Islam. Selain itu, juga
membahas mengenai mengenai sejarah berdirinya masjid Kyai Muara Ogan sebagai
salah satu tempat penyebaran agama Islam di Kecamatan Kertapati Palembang.
Bab keempat, mengemukakan tentang
kondisi geografis dan demografi Kecamatan Kertapati Palembang dan Warganya. Struktur
Pemerintahan Kecamatan Kertapati dan Perangkat-perangkatnya. Serta struktur masyarakat
Kecamatan Kertapati Palembang, dan pola hidup masyarakat kecamatan kertapati
Palembang
Bab kelima, penjelasan bagaimana
proses penyebaran dan perkembangan dakwah Islamiyah di Kecamatan Kertapati
Palembang. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pemicu penyebaran
dakwah Islam. Pandangan tokoh, ulama, aparat, dan masyarakat mengenai geliat
dakwah. Prospek Masa Depan Islam di Palembang.
Bab
keenam, menguraikan hasil penelitian berdasarkan yang telah ditetapkan
sebelumnya, serta rekomendasi penelitian.
BAB I : Signifikansi Studi Islam di
Kecamatan Kertapati Palembang
Kajian Islam Palembang
BAB II : Dakwah dan Perkembangan
Masyarakat Masyarakat Islam
A. Pengertian Dakwah
B. Tujuan Dakwah
C. Metode Pendekatan Dakwah
D. Pengertian Pengembangan
Masyarakat Islam
E. Konsep Dakwah dalam
Pengembangan Masyarakat
Bab III : Konteks Sosial Historis
Islamisasi Awal di Palembang
A. Proses Masuknya Islam di
Palembang dalam Tinjauan Sejarah
B. Kedatangan dan Penerimaan
Islam di Palembang
C. Masjid Kyai Muara Ogan
sebagai pusat penyebaran agama Islam di Kecamatan Kertapati Palembang
BAB IV : Kecamatan Kertapati
Palembang dan Warganya
A. Kondisi Geografis dan
Demografis
B. Struktur Pemerintahan
Kecamatan Kertapati dan Perangkat-perangkatnya
C. Struktur Masyarakat Kecamatan
Kertapati Palembang
D. Pola Hidup Masyarakat
Kecamatan Kertapati Palembang
BAB V : Dakwah Islamiyah di
Kecamatan Kertapati Palembang: Peluang dan Tantangan
A. Kegiatan Dakwah di Kecamatan
Kertapati Palembang
B. Faktor-faktor Penghambat
Penyebaran Dakwah Islam
a. Tingkat Pendidikan Masyarakat yang Beranekaragam
b. Pemahaman Agama
C. Pandangan tokoh, ulama,
aparat, dan masyarakat mengenai geliat dakwah.
D. Prospek Masa Depan Islam di
Palembang.
BAB VI : Penutup
A.
Kesimpulan
B.
Implikasi Teoritik
C.
Saran Rekomendasi
[1]Dakwah adalah ajaran atau seruan dari seorang da’i
untuk merubah situasi dan kondisi mad’u, dari situasi yang belum maju menjadi
lebih maju, belum tahu menjadi tahu, belum sejahtera menjadi sejahtera guna
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Esensi dakwah pada hakekatnya
adalah mengajak individu atau masyarakat kepada Islam. Dengan demikian dakwah
Islam merupakan upaya mensosialisasikan dan mengkomunikasikan Islam. Lihat, M.
Yunan Yusuf, “Kode Etik Dakwah,”
Dakwah; Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. 4, No. 1, (Jakarta: Fakultas
Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003), hal. 48
[4] Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam
Beragama, (Bandung: Mizan, Cet. 5, 1999), hal. 252.
[5] Ali An Sun Geun, Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh; Meneropong Penyebaran dan
Dinamika Islam di Korea, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), hal. 12
[7]Beragamnya masyarakat yang akan dihadapi oleh seorang
da’i, menuntut adanya upaya sungguh-sungguh untuk menciptakan konsep dakwah
Islam yang relevan dengan keanekaragaman obyek dakwah di lapangan. Oleh karena
itu, penyampaian pesan dakwah oleh seorang da’i haruslah dilakukan dengan cara
memahami karateristik dan tipologi masyarakat yang dihadapinya. Da’i itu
seperti dokter ahli, “yang dapat memberikan obat (resep) sesuai dengan penyakit
(permasalahan) audiens”. Lihat, Lihat, A. Hasjimi, Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. 3,
1994), hal 3.
[8]Ibid., hal. 3
[9]Lihat,
Nasichah, “Dakwah pada Masyarakat Modern;
Problem Kehampaan Spiritual”, Dakwah; Jurnal Kajian Dakwah, Komunikasi dan
budaya, Vol. X, No. 2, (Jakarta: Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2003), hal. 94.
[10]Amrullah
Ahmad, “Dakwah Islam sebagai Ilmu Sebuah
Kajian Epistemologi dan Struktur Keilmuan Dakwah: Bagian Pertama”, Dakwah;
Jurnal Kajian Dakwah dan Kemasyarakatan, Vol. I, No. 1, (Jakarta: Fakultas Dakwah
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1999), hal. 7.
[13]H. M. Ali Amin, “Sejarah
Kesultanan Palembang Darussalam dan Beberapa Aspek Hukumnya”, Masuk dan
Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, (Jakarta: UI-Press, Cet. I,
1986), hal. 68.
[14]Saat itu, Sriwijaya mengalami kemajuan, kondisi
Timur Tengah sedang berkembang ajaran Islam. Seperti yang telah kita ketahui
bersama, masa besarnya pengaruh kekuasaan politik Islam di Timur Tengah dapat
kita bagi dalam periode: Khulafa Rasyidin
(632-661) Khalifah dinasti Ummayyah (661-750), Khalifah Abbasiyah (750-1268), dan Khalifah dinasti
Ummayyah di Spanyol (757-1492), dan Khalifah dinasti Fatimiah (919-1171).
Selanjutnya muncullah kekuasaan politik Islam yang baru dan Turki, Bani Seljuk
(1055-1290), dan Turki Usmani (1290-1909). Kalau kita perhatikan angka-angka
tahun di atas, dapatlah kita perkirakan bahwa perkembangan Sriwijaya berada di
antara kekuasaan politik Islam di Timur Tengah, dari periode Khalifah dinasti
Ummayyah di Arab hingga masih berlangsungnya Turki Usmani. Lihat, Ahmad Mansur
Suryanegara, “Masuknya Islam ke Sumatera
Selatan,” Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan,
(Jakarta: UI-Press, Cet. I, 1986), hal.
27-28.
[15] Menurut topografinya,
kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber
baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang
masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik
1990). Kemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini
menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai
kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya
tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air
(menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau
lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi
oleh air. Lihat, http://www.palembang.go.id/?nmodul=halaman&judul=sejarah&bhsnyo=id
[17] Uka Tjandrasasmita dan
Hasan Muarif Ambary, “Sejarah Masuknya
Islam ke Sumatera Selatan”, Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan,
(Jakarta: UI-Press, Cet. I, 1986), hal.
19.
[18]Purwaka Caruban Nagari ditulis oleh Pangeran Ario
pada tahun 1720. Naskah ini ditemukan kembali pada tahun 1970 dan telah dibuat
transkripsinya serta uraian metodologisnya dengan pengamatan filologi oleh Drs.
Atja dan diterbitkan pada tahun 1972 oleh Ikatan Karyawan Museum Jakarta.
[19] Nagarikertabumi ditulis
oleh Pangeran Wangsakarta padatahun 1695 yang merupakan sumber suntingan kitab
Purwaka Caruban Nagari. Naskah tersebut kini ada pada Museum Negeri Jawa Barat
dan sedang diadakan penelitian secara sistematis sebagai sumber sejarah oleh
Drs. Atja, Direktur Museum Negeri Jawa Barat.
[23] VOC 2934 Palembang ke
Batavia 10 Sept. 1758, fo. 70; VOC 3733 jawaban Residen untuk surat Amsterdam
pada 30 Nov. 1781 dan 22 Nov. 1982, fo. 10. Lihat juga, Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII:
Melacak Akar-Akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan, Cet.
I, 1994), hal. 244.
[24] Ma’moen Abdullah, “Masuk dan Berkembangnya Agama Islam pada
Zaman Kesultanan Palembang: Suatu Analisis,” Masuk dan Berkembangnya Islam di Sumatera
Selatan, (Jakarta: UI-Press, Cet. I, 1986),
hal. 45-46.
[27] Husni Rahim, Sistem
Otoritas dan Administrasi Islam: Studi tentang Pejabat Agama Masa Kesultanan
dan Kolonial di Palembang, (Jakarta: Logos, Cet. I, 1998), hal. 215.
[31] Inti dari pendekatan
kualitatif ini adalah upaya “memahami” atau vestehen
dari sasaran kajian atau penelitiannya. Ini berbeda dengan pendekatan
kuantatif yang intinya mengukur. Karena dasar dari pendekatan kualitatif atau
etnografi dalam antropologi adalah pemahaman, konteks kebudayaan dari masalah
yang dikaji menjadi amat penting. Karena itu, dalam pendekatan kualitatif
tersebut cirinya yang mnedasar, yang membedakannya dari pendekatan kuantitati,
adalah “holistik” atau “sistemik”. Lihat, Parsudi Suparlan, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin
Antropologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin
Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), hal. 87.
[32] Oman Fathurrahman, “Naskah dan Kajian Keagamaan”, dalam
Nabilah Lubis, Naskah, Teks, dan Metode Kajian Filologi, (Jakarta: Puslitbang
Lektur Keagamaan Badiklat Depag RI, 2007), hal. 1. Lihat juga, Ali An Sun Geun,
Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh;
Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2011), hal. 19-20
[33]Menurut Mastuhu untuk menemukan kebenaran dalam
perspektif sosiologi melalui beberapa tahap yaitu: 1), Teracity, perolehan kebenaran melalui penyaksian bahwa sesuatu
selalu terjadi sehingga orang percaya bahwa hal itu memang benar demikian. 2), Autority, yaitu kebenaran diperoleh
dengan menyandarkan dari sumber yang berwenang untuk menyatakan kebenaran.
Misalnya, seorang ahli/lembaga maupun kitab suci. Jika kitab suci menyatakan
bahwa Tuhan itu Esa, orang mempercayai dan menerimanya sebagai suatu kebenaran.
3), A-Priory atau Intuition, yaitu kebenaran yang
diperoleh melalui intuisi atau instinc. Mungkin karena pengalamannya yang sudah
“banyak makan asam garam”. 4), Trial
dan Error, yaitu kebenaran yang
diperoleh melalui uji coba dan perbaikan. Jika uji coba itu menghasilkan
kebenaran, akan diteruskan dan dikembangkan. Jika salah, akan diperbaiki. 5), Keilmuan, yaitu kebenaran yang diperoleh
melalui teori, penelitian dan dikaji dalam alam empiris, melalui
langkah-langkah yang sistematis dan logis. Lihat, Mastuhu, “Penelitian Agama Islam: Tinjauan Disiplin
Sosiologi”, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar Disiplin
Ilmu, (Bandung: Nuansa bekerja sama dengan Pusjarlit, Cet. I, 1998), hal. 87.
[34]Sosiologi menaruh perhatian pada
interaksi sosial. Interaksi sosial baru terjadi manakala ada peristiwa
komunikasi. Kegiatan dakwah merupakan peristiwa komunikasi yang juga melahirkan
interaksi sosial antara da’i dan mad’u. Untuk memahami fenomena pada masyarakat
yang menjadi obyek dakwah di mana interaksi sosial terjadi, sosiologi pastilah
dibutuhkan. Dengan bantuan sosilogi, seorang da’i dapat menganalisa struktur
sosial yang mempengaruhi tingkah laku mad’u, sehingga ia dapat menentukan
pendekatan apa yang akan dilakukan dalam dakwahnya. Lihat, Ahmad Mubarok,
Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 2, 1999), hal.22
[35] Brayan S. Turner, Agama dan Teori Sosial, (Yogyakarta:
IRCi SoD, 2003), hal. 31. Lihat juga, Ali An Sun Geun, Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh; Meneropong Penyebaran dan
Dinamika Islam di Korea, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2011), hal. 20
Post a Comment