Untuk download versi pdf nya bisa didownload disini
Dalam sejarah Islam, mulanya berkembang pemikiran rasional, tetapi kemudian berkembang pemikiran tradisional. Pemikiran rasional berkembang pada zaman klasik Islam (650-1250 M) sedangkan pemikiran tradisional berkembang pada zaman pertengahan Islam (1250-1800 M).[1]
Pertemuan Islam
dan peradaban Yunani melahirkan pemikiran rasional di kalangan ulama Islam
zaman klasik. Tapi, perlu ditegaskan di
sini bahwa ada perbedaan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran Islam
klasik. Di Yunani tidak dikenal agama samawi, maka pemikiran bebas, tanpa
terikat pada ajaran-ajaran agama, tumbuh dan berkembang. Sementara pada Islam
zaman klasik pemikiran rasional ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam
sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah.[2]
Sedangkan Ilmu
kalam atau teologi termasuk salah satu bidang studi Islam yang amat dikenal
baik oleh kalangan akademis maupun oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini antara
lain terlihat dari keterlibatan ilmu tersebut dalam menjelaskan berbagai
masalah yang muncul di masyarakat. Keberuntungan atau kegagalan seseorang dalam
kehidupannya sering dilihat dari sisi teologi. Dengan kata lain, berbagai
masalah yang terjadi di masyarakat seringkali dilihat dari sudut teologi.
Fiqih atau Hukum
Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling dikenal oleh
masyarakat. Hal ini antara lain karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan
masyarakat. Dari sejak lahir sampai dengan meninggal dunia manusia selalu
berhubungan dengan fiqih. Dengan fungsinya yang demikian itu, tidak
mengherankan jika fiqih termasuk ilmu yang pertama kali diajarkan kepada
anak-anak dari sejak di bangku Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi.
Sedangkan
tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada
permbersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak
mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya dikenal sebagai
dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fiqih,
khususnya pada bab thaharah yang memusatkan perhatian pada permbersihan aspek
jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Munculnya Aliran Pemikiran Islam
Mulai abad
pertengahan merupakan abad gemilang bagi ummat Islam. Di abad inilah
daerah-daerah Islam meluas di Barat melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol, di
Timur melalui Persia sampai ke India.
Daerah-daerah
ini tunduk kepada kekuasaan khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah,
kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Di abad ini lahir para pemikir
dan ulama besar seperti: Maliki, Syafii, Hanafi, dan Hambali serta lainnya di
kalangan ahli hukum, Imam al-Asy’ari, al-Maturidi, Wasil bin Atha, al-Jubbai,
Abu Huzail, al-Nazzam, dalam bidang teologi Zunnun al-Misri, Abu Yazid
al-Busthami dal al-Hallaj dalam bidang tasawuf, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina,
dan Ibnu Khawarizmi, al-Mas’udi dan al-Razi dalam bidang ilmu pengetahuan dan
lain sebagainya.[3]
Dengan lahirnya
pemikir dan para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang
dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama, non agama maupun
dalam bidang kebudayaan lainnya.
Para pemikir dan
ulama Islam pada saat itu bukan hanya dapat mengislamisasikan
pengetahuan-pengetahuan Persia Kuno dan warisan-warisan Yunani, akan tetapi
kedua kebudayaan itu disesuaikan pula dengan kebutuhan dan perkembangan
pemikiran pada masa itu. Ilmu pengetahuan yang telah ditampung dan diolah oleh
para pemikir Islam.[4]
Memasuki benua
Eropa melalui Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu
pengetahuan yang menguasai alam pikiran orang Barat (Eropa) pada abad
selanjutnya.
Dipandang dari
segi sejarah kebudayaan, maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan
itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan menciptakan ilmu pengetahuan. Jika
tugas penelitian yang diadakan oleh Aristoteles, Galinus, dan lainnya dalam
lapangan ilmu pengetahuan tidak ditampung dan dipelihara, maka dunia akan
miskin dalam ilmu pengetahuan.
Puncak kemegahan
dunia Islam itu akhirnya menurun, dunia Islam mulai mengalami kemunduran pada
abad kesepuluh, kemudian tenggelam beradab-abad lamanya.
Ada beberapa
faktor yang menyebabkan kemunduran ummat Islam masa itu, antara lain:
Pertama,
isu pintu ijtihad tertutup telah meluas di kalangan ummat Islam, berpalingnya
pikiran untuk menggali secara langsung pada sumber pertama dan utama (al-Qur’an
dan Hadits) apabila menemukan persoalan baru, pikiran hanya dipusatkan untuk
kepentingan Mazhab, praktek bermazhab dan taassub terhadap mazhab
tertentu demikian suburnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan mulai
berkurang.[5]
Kedua,
keutuhan ummat Islam dalam bidang politik mulai pecah, kekuasaan khalifah
menurun, pemikiran akan adanya masyarakat Islam yang berbentuk persatuan dan
kesatuan dalam seiman telah pindah, tidak ada satu ikatan di dalamnya kecuali
nama dan tatanan, ummat Islam terpecah belah dan saling bermusuhan. Masyarakat
Islam berubah, kerajaan Islam telah mewariskan kota-kota dan kerajaan yang
telah bertikai selama berabad-abad dan dalam sekejab mata sejarah kemanusiaan
telah dirobek-robek oleh kelemahan strategi politik, beginilah akibat
kelemahan.[6]
Ketiga,
adanya perang salib di bawah arahan Gereja Katolik Roma, dan serbuan tentara
Barbara di bawah kepemimpinan Hulaqho Khan dari Tartar. Kota Baghdad di rampas
dan dihancurkan pada tahun 1258 M. Sehingga Khalifah sebagai lambang kesatuan
politik ummat Islam, hilang. Tentara salib ingin menguasai Baitul Maqdis, untuk
menyebarkan pengaruhnya dan mengajak bersatu dalam keyakinan. Tentara salib
dibantu oleh tentara Tartar, yang membalas kebodohan-kebodohan manusia dengan
harga pengetahuan dan penyerbuan serta perluasan reruntuhan peradaban dan
kebudayaan.[7]
Dari ketiga faktor
di atas, faktor yang menjadi penyebab utama adalah kemunduran spirit yang
menimpa kaum muslimin, yang ditampilkan dalam bentuk khurafat, ummat Islam
tidak lagi menggunakan pikirannya sebagaimana para pemikir-pemikir sebelumnya
melakukan ijtihad, untuk menggali sumber yang asli kepada la-Qur’an dan Hadits
Nabi, praktek bermazhab dan bid’ah telah subur.
Masa kemunduran
ini berlangsung berabad-abad lamanya hingga muncul gerakan pemikiran yang
dikumandangkan oleh pelopor-pelopor pembaharuan, seperti Ibnu Taimiyah dengan
muridnya Ibnul Qayim, Muhammad Ibn Abdul Wahab, Muhammad Ibn Ali Sanusi
al-Kabir dan lain-lainnya.
Di antara yang
mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama,
paham tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan
kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap
orang-orang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua,
sifat jumud membuat ummat Islam berhenti berpikir dan berusaha, ummat Islam
maju di zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena
itu selama ummat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk
berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya
pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.
Ketiga,
ummat Islam selalu terpecah belah, maka ummat Islam tidaklah akan mengalami
kemajuan. Ummat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya
persaudaraan yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan
kembali ummat Islam bangkitlah suatu gerakan pembaharuan.
Keempat,
hasil dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya
kontak ini ummat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan
dengan Barat, terutama sekali terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani
selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami
kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani
untuk menyelediki rahasia kekuatan militer Eropa yang baru muncul. Menurut
mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa,
sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer, namun pembaharuan di
bidang lain disertakan pula.
Pembaharuan
dalam Islam berbeda dengan renaisans Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan
menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu
untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya.
Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan
ummatnya. Oleh karena itu, pembaharuan dalam Islam bukan hanya mengajak maju ke
depan untuk melawan segala kebodohan dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan
ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri.
Dalam fase
kemunduran umat itu muncul pula perintis usaha pembaharuan yaitu Ibnu Taymiyah,
yang menentang segala kemunkaran dan kemunduran. Usaha yang dilakukan Ibnu
Taymiyah dalam pembaharuan hampir semua bidang sosial, politik, dan kenegaraan.
Segala yang memecah persatuan Islam selalu diberantas.
Di Turki
pembaharuan ini dimulai dengan hal-hal yang bersifat untuk kepentingan militer.
Dalam lapangan non-militer, pemikiran dan usaha pembaharuan dirintis antara
lain oleh Ibrahim Mutafarrika (1670-1754 M), seorang Hongaria yang ketika masih
muda tertangkap dalam perang Usmani-Hongaria, kemudian masuk Islam. Usaha-usaha
yang pertama menghasilkan pembukaan suatu usaha percetakan di Istambul, untuk
mencetak buku-buku, al-Qur’an, Hadits, Fiqih, Ilmu Kalam, Tafsir dan juga
mencetak buku-uku tentang kedokteran, Astronomi, Ilmu Pasti, Sejarah, dan
sebagainya.[8]
Kebangkitan di
Mesir dikobarkan oleh Sayid Jamaluddin al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh.
Dari segi politik gerakan yang berusaha untuk menyatukan ummat Islam, para
pemukanya Jamaluddin al-Afghani dengan pergerakannya Pan Islamisme yang
berusaha menyatukan dunia Islam, meskipun ide-idenya ini mengalami kegagalan,
namun pengaruhnya tetap berkembang. Di antara muridnya yang setia adalah Syekh
Muhammad Abduh yang berusaha memperkenalkan pendidikan agama yang lebih luas,
dan mempermodern sistem pendidikan ummat Islam, yaitu adanya keseimbangan
antara kurikulum agama dengan pengetahuan umum. Dalam gerakan salafiah, murid
Muhammad Abduh yang setia adalah Rasyid Ridha dengan menyebarkan ide-ide
pembaharuan melalui majalah al-Manar yang lebih cenderung untuk mengembangkan
Pan Islamisme.
Dalam
perkembangan permbaharuan Salafiah, paham Wahabi berkembang pula di India,
antara lain oleh Sayid Ahmad Khan (1817-1898 M) pembangun perguruan Alighar.
Sebelumnya Syah Waliullah (1703-1762 M) yang berusaha mengkompromikan antara
syariat dengan ajaran yang bersifat mistik.
Menurutnya
sistem pemerintahan dengan kekuasaan Absolut oleh raja-raja Islam perlu diganti
dengan sistem pemerintahan khalifah empat, yaitu sistem pemerintahan demokrasi,
juga berjuang untuk memurnikan ajaran Islam dan kembali kepada ajaran Islam
yang sebenarnya. Usaha pembaharuan Syah Waliullah ini dilanjutkan oleh
puteranya Syah Abdul Azis dan muridnya Syah Muhammad Syahid.
Pengaruh gerakan
pembaharuan seperti gerakan Wahabi, Muhammad Abduh dan lainnya sampai pula ke
Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Majalah al-Urwatul
Wusqa melalui pelabuhan Tuban masuk ke Indonesia dan majalah-majalah ini
berpengaruh di kalangan ulama-ulama dan pemikir di pulau Jawa. Disamping itu
banyak pula kaum muslimin yang menuntut ilmu pengetahuan di kota suci Mekkah
yang secara langsung menyaksikan dan melihat pembaharuan-pembaharuan di Mekkah
(Arabia) yang dilaksanakan gerakan Wahabi.
Di Sumatera
dengan gerakan Paderi yang dipimpin oleh H. Miskin, H. Piabang dan H. Sumantik
berusaha memurnikan ajaran Islam di Minangkabau, yang kemudian berkelanjutan
oleh generasi penerusnya seperti Syekh Muhammad Abdullah Muhammad (1878-1945
M). Sebagai realita gerakan pembaharuan ini antara lain, berdirinya Jami’atul
Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan lain-lainnya. Untuk di
kepulauan lain tumbuh pula organisasi keagamaan yang serupa yang bertujuan
memurnikan ajaran Islam, meningkatkan cara berpikir, menangngulangi
keterbelakangan dan menyatukan ummat Islam.
[1]Harun
Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Harun Nasution, (Bandung:
Mizan, 1995), h. 7.
[3]Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), h. 11.
[4]Yusran
Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam Dunia Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo, 1995), h. 4
[5]Edward
Mortimer, Faith and Power the Politics of Islam, Penerjemah. Enna Hadi,
(Bandung: Mizan, 1984), h. 51.
[6]Muhammad
al-Bahy, al-Fikhu al Islam fi Tathawwurihi, Penerjemah. Bambang Saiful,
(Bandung: Mizan, 1985), h. 51.
Post a Comment