A. Riwayat Hidup K.H. Ahmad Sanusi
Nama dan Asal K.H. Ahmad Sanusi
Nama dan Asal K.H. Ahmad Sanusi
Ahmad Sanusi dilahirkan di Kampung Cantayan, Desa Cantayan,
Kecamatan Cikembar, Kewedanaan Cibadak, Kabupaten Sukabumi pada 13 Muharram
tahun 1306 Hijriyyah bertepatan dengan tahun 1888 Masehi.[1] Tanggal yang dituliskan
Haji Ahmad Sanusi dalam formulir edaran Gunseikanbu adalah 12 Muharram
malam Jum'at tahun 1306 Hijriyyah atau 18 September 1888 Masehi.[2] Ahmad Sanusi lahir sebagai
anak ketiga Haji Abdurrahim bin Haji Yasin dalam pernikahannya dengan Ibu Empok
asal Kampung Cimahi Kecamatan Cisaat Sukabumi.
Haji Abdurrahim, seperti telah disinggung di atas adalah
kelahiran Kampung Cantayan dari bapak bernama Haji Yasin. Ia adalah seorang haji
dengan panggilan Ajengan.[3] Ia membina pesantren di
tempat kelahirannya. Santri-santrinya berdatangan dari daerah sekitar Sukabumi,
Bogor, dan Cianjur. Pesantren ini relatif banyak didatangi para santri, walaupun
letaknya di sebuah dusun terpencil di balik bukit. Haji Abdurrahim menjadi
orang paling terkenal di daerah Kewedanaan Cibadak daripada saudara-saudaranya
yang lain.
Dilihat dari garis keturunannya, Ahmad Sanusi lahir dari
keturunan seorang tokoh masyarakat. Ahmad Sanusi mempunyai silsilah kepada
seorang ajengan yang menyandang predikat haji, dengan kakek seorang haji
pula. Bahkan silsilah keturunannya dikait-kaitkan dengan penyebar Agama Islam
di Jawa Barat bagian selatan, Syekh Abdul Muhyi Pamijahan Tasikmalaya.[4] Artinya, bahwa baik ayah
maupun kakek Ahmad Sanusi adalah dua orang yang pernah berinteraksi dengan
kenyataan-kenyataan sosial dan politik di Tanah Suci Makkah.
2.
Latar
Belakang Pendidikan
Ahmad Sanusi tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan
kehidupan yang agamis, dalam lingkungan sebuah pesantren, dalam dusun yang
bersih dan penuh damai, dalam masyarakat yang taat kepada kyai, dan dalam
masyarakat yang terhindar dari hiruk-pikuk kebisingan kota. Sebagaimana
lazimnya hidup dalam lingkungan pesantren, maka anak-anak seorang guru atau
kyai selalu mendapatkan penghormatan dari santri dan masyarakat sekitar karena
status ayahnya. Bila sang anak kyai mempunyai keinginan, biasanya jarang
ditentang kecuali menginginkan sesuatu yang dilarang. Sebaliknya bila ada di
antara tindakannya yang keliru dan menyalahi norma atau kaidah yang berlaku
dalam lingkungannya, maka masyarakatnya pun biasanya tidak segan-segan untuk
memperingatkannya. Masyarakat tidak akan membiarkan apabila tingkah laku sang
anak sampai menjatuhkan nama dan martabat ayahnya.
Berasal dari dan tumbuh di lingkungan keluarga ulama, Uci
panggilan untuk Ahmad Sanusi masa kecil, sangat dihormati baik oleh para santri
maupun masyarakat di lingkungan pesantren ayahnya. Mereka beranggapan Uci
termasuk keturunan orang terhormat, yang akan memangku jabatan kyai sebagaimana
ayahnya. Oleh sebab itu, sejak dini ia telah diperkenalkan ayahnya dengan
disiplin yang keras dalam menuntut ilmu agama. K.H. Abdurrahim, sebagaimana
kebiasaan kalangan kyai waktu itu, senantiasa mendidik anaknya dengan disiplin
keras. Mereka berharap anaknya kelak menjadi kyai seperti halnya dia atau
bahkan lebih dari dia.[5]
Demikian keadaan Ahmad Sanusi ketika masih kecil. Kondisi
dan lingkungan pesantren telah membentuk kepribadian Ahmad Sanusi yang dekat
dengan rakyat dan kehidupan beragama. Bakat dan kecerdasan Ahmad Sanusi
memungkinkan ia meluluskan keinginannya dan mengembangkan kreasinya. Sejak usia
tujuh sampai dengan lima belas tahun, Ahmad Sanusi menuntut pengetahuan agama
dari ayah kandungnya sendiri. Demikian pula Ahmad Sanusi memperoleh
keterampilan menulis huruf Arab dan huruf Latin dari ayahnya. Hal ini
dipelajarinya bersama-sama dengan para santri ayahnya di Pesantren Cantayan.[6] Ahmad Sanusi belajar
kepada ayahnya sampai ia memungkinkan untuk turun gunung melanjutkan
pembelajaran dan menambah pengalamannya kepada guru-guru selain ayahnya.
Pada usia sekitar 15 tahun atau pada tahun 1903-an, Haji
Abdurrahim mulai mendorong Ahmad Sanusi untuk menimba pengalaman pada beberapa
pesantren di daerah Pasundan (Jawa Barat) selama kurang lebih lima tahun.
Sesuai dengan pendapat umum pada waktu itu bahwa istilah "nyantri"
adalah menuntut pengetahuan agama dan umum dengan cara berpindah-pindah dari
satu pesantren ke pesantren lain. Nyantri dapat berarti menimba pengalaman dari
kyai yang mungkin pengetahuan agamanya berada di bawah dirinya, tetapi memiliki
jam terbang lebih panjang dalam berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya.
Pelaku nyantri disebut sebagai santri.[7] Kehadiran santri pada
pesantren seperti itu dilakukan sebagai ngalap berkah yang dapat
diterjemahkan dalam bahasa kontemporer sebagai sosialisasi diri, aktualisasi
diri dan membangun jaringan sesama santri.
Pesantren yang disinggahi Ahmad Sanusi mulai dari daerah
Sukabumi, terus menuju ke arah Timur, ke Cianjur, Garut, dan Tasikmalaya. Dalam
tiap pesantren ia tinggal antara dua bulan sampai satu tahun. Selain belajar
kepada ayahnya, Ahmad Sanusi nyantri kepada:
- Haji Anwar di Pesantren Selajambe Cisaat, lebih kurang enam bulan.
- Haji Siddiq di Pesantren Sukamantri Cisaat, sekitar dua bulan.
- Kyai Haji Hafizh di Pesantren Sukaraja Sukabumi, sekitar enam bulan.
Kyai Pesantren Cilaku Cianjur sekitar dua
belas bulan, untuk belajar ilmu tasawwuf.
- Pesantren Ciajag Cianjur sekitar lima bulan.[8]
- Kyai Haji Ahmad Syatibi di Pesantren Gentur, Jambudipa, Warung Kondang, Cianjur, sekitar enam bulan.[9]
- Pesantren Kresek Garut sekitar tujuh bulan.
- Pesantren Buniasih (Cianjur) sekitar tiga bulan.
- Kyai Haji Suja'i di Pesantren Gudang, Tasikmalaya sekitar duabelas bulan.[10]
Melihat nama-nama kyai yang menjadi guru Ahmad Sanusi
rupanya tidak ada satu pun di antara kyai tersebut yang secara sosiologis
termasuk dalam kelompok modernis, paling tidak nama-nama kyai tersebut tidak
tercatat dalam sejarah gerakan modernisme Islam di Indonesia. Hal ini membawa
pengaruh kepada Ahmad Sanusi di kemudian hari yang tetap mempertahankan
ketradisionalannya dalam faham keagamaan, namun moderen dalam metodologi. Salah
satu ciri ketradisionalan dalam bidang pemahaman keagamaan adalah berpegang
kepada kaidah memelihara tradisi lama yang baik serta mengakomodasi tradisi
baru yang lebih baik.
Berdasarkan cerita para kyai sepuh yang beredar di wilayah
Sukabumi bahwa Ahmad Sanusi terkenal sebagai santri yang kritis dan banyak
mengajukan permasalahan kepada gurunya. Sementara itu berdasarkan cerita para
kyai yang beredar di seputar wilayah Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua
Bogor (bekas onderafdeeling Tjiawi Buitenzorg), bahwa Ahmad Sanusi
dikenal sebagai santri yang "nyeleneh atau mahiwal"
yang berani melawan kepada guru sendiri.
Namun demikian, rupanya sebelum Ahmad Sanusi menunaikan
ibadah haji dan bermukim di Tanah Suci, ia belum berkenalan dengan gerakan
modernisme Islam, puritanisme Islam dan nasionalisme. Demikian pula sebelum
bergabung dengan Sarekat Islam (SI), Ahmad Sanusi masih berupa sosok yang introvert
(tertutup) dan tidak reaktif.
Ahmad Sanusi tidak pernah mengenyam pendidikan pada sekolah
formal dengan kurikulum pemerintah Hindia Belanda. Pada saat Ahmad Sanusi
nyantri dari satu pesantren ke pesantren yang lain, di Sukabumi belum terdapat
sekolah bagi pribumi yang biasa disebut Hollandsch Inlandsche School
(HIS).[11]
Ahmadiah school Soekaboemi yang
diasuh R.H. Ahmad Djoewaeni, Penghulu Sukabumi, baru berdiri sekitar tahun
1912, ketika Ahmad Sanusi sudah berada di Tanah Suci. Hal tersebut menimbulkan
pertanyaan, dari mana Ahmad Sanusi belajar bahasa Melayu dan kepada siapa
belajar menulis dengan huruf latin. Bahkan dalam beberapa karya tulisnya Ahmad
Sanusi menyebut beberapa patah kata bahasa Belanda dan mengutip beberapa pasal
dari Peraturan Pemerintah Kolonial Belanda.
Atas kekurangannya ini Ahmad Sanusi pernah meminta maaf
kepada pelanggan karya tulisnya berupa tafsir Tamsijjatoel Moeslimien
yang ditulis dengan huruf Latin berbahasa Melayu.
Dimohon
oleh kami jang dho'if, kepada sekalian Toean2 jang moelia, jang membatja
ini Tafsier, djika melihat soeatoe kesalahan daripada perkataan melajoenja atau
soesoenannja, soedi kiranja membetoelkan dengan showab, kerna kami boekan
seorang bangsa Melajoe dan tiada mengalami sekolahan.[12]
Pada usia 21 tahun Ahmad Sanusi pulang kampung, kemudian
menikah dengan Siti Djuwaerijah, puteri K.H. Affandi Babakan Selawi Baros
Sukabumi. Pada awal tahun 1909, beberapa bulan setelah pernikahannya, ia
bersama keluarganya berangkat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci atas bantuan
mertuanya, K.H. Affandi. Setelah menunaikan ibadah haji, Ahmad Sanusi bermukim
di Makkah sambil menambah pengalaman dan memperdalam pengetahuannya dalam
bidang agama. Ia bermukim di Tanah Suci selama tujuh-tahun. Tiga orang
puteranya yang pertama, kedua, dan ketiga dilahirkan di Makkah dan
ketiga-tiganya meninggal di sana dalam usia balita.[13]
Biaya hidup Ahmad Sanusi selama bermukim di Tanah Suci
dikirim dari Tanah Air yang dititipkan melalui jamaah haji asal Sukabumi.
Kitab-kitab agama dan umum dibeli Ahmad Sanusi dengan uang yang disisihkan dari
biaya hidup selama di Tanah Suci.[14] Komunikasi antara Makkah
dengan Sukabumi dijalin dengan cara berkirim surat dari Tanah Suci ke rumahnya
melalui konsulat Hindia Belanda yang ada di Jeddah. Dapat disimpulkan bahwa
sesungguhnya pemerintah Hindia Belanda memberikan pelayananan bagi
terselenggaranya komunikasi antara jamaah haji yang bermukim di Tanah Suci
dengan keluarga mereka di Tanah Air. Berdasarkan pola berpikir saat ini, sulit
dibayangkan bagaimana surat dapat disampaikan dari Makkah ke Kampung Cantayan
yang berada di pelosok Gunung Walat sebelah selatan Sukabumi.
Selama di Tanah Suci Ahmad Sanusi memanfaatkan waktunya
untuk memperdalam baik pengetahuan dalam bidang agama maupun pengetahuan umum.
Di antara ulama Makkah yang menjadi gurunya adalah Syekh Ali Al Maliki
(bermadzhab Maliki), Syekh Ali Thayyibi (bermadzhab Syafi'i), dan seorang syekh
yang berasal dari Garut Priangan, yakni Syekh Djunaidi yang juga bermadzhab
Syafi'i.[15]
Para haji yang berasal dari wilayah Sukabumi, yang
menunaikan ibadah haji sebelum tahun 1915-an, bercerita bahwa sebagian mereka
pernah menyaksikan Ahmad Sanusi yang berusia muda pernah menjadi imam Shalat
Jumat di Masjid Al Haram. Sebagian haji yang lain pernah mendengar cerita
tentang Ahmad Sanusi pernah menjadi imam dari mukimin Indonesia yang tinggal di
Makkah. Pentahbisan Ahmad Sanusi sebagai imam dianggap sebagai sebuah prestise,
penghormatan dan sekaligus merupakan pengakuan dan penghargaan Syekh Masjid Al Haram
terhadap ilmu pengetahuan Ahmad Sanusi, terutama dalam masalah yang berkaitan
dengan agama.[16]
Salah seorang Syekh Masjid Al Haram asal Indonesia
mengatakan bahwa apabila masyarakat Sukabumi hendak memperdalam pengetahuan
dalam bidang agama, maka tidak perlu merantau jauh, karena Ahmad Sanusi dengan
pengetahuannya sudah cukup memadai untuk menjadi guru panutan yang pantas
diikuti.[17]
Cerita ini, walaupun tidak mendapat dukungan dari dokumen tertulis adalah
cerita yang dapat dipercaya, sekaligus menjadi petunjuk bahwa telah terjadi
interaksi sosial antara masyarakat asal Indonesia dengan masyarakat mukimin di
Tanah Suci.
Jika membuka kitab-kitab peninggalan Haji Ahmad Sanusi yang
tersimpan di Perpustakaan Pesantren di rumah K.H. Ahmad Badri Sanusi, selintas
dapat diduga bahwa Haji Ahmad Sanusi banyak membaca kitab-kitab bernuansakan
gerakan modernisme Islam, puritanisme Islam, dan nasionalisme. Rupanya selama
bermukim di Makkah, Haji Ahmad Sanusi mempelajari berbagai disiplin ilmu, termasuk
ilmu fisika. Pada perpustakaan K.H. Ahmad Badri Sanusi terdapat sederet kitab
peningalan Haji Ahmad Sanusi, di antaranya adalah:
- Daairat al Ma 'aarif Al Islamiyyah (ensiklopedi Islam) karya Syekh Farid Wajdi, Pembaharu Mesir, terbitan Syekh Babi Alhalabi, Cairo Mesir,tt.
- Tafsir al Jawahir karya Thanthawi Jauhari, yang berisi tafsir bagi ayat-ayat Al Qur'an yang berkaitan dengan sains atau ilmu pengetahuan alam yang dilengkapi dengan gambar-gambar dan rumus.
- Tarikh al Umami wal Muluk (Sejarah Bangsa-Bangsa dan Para Raja) karya Ibnu Jarir at Thabari.
- Al Kaamil fi at Tarikh (Sejarah Dunia) karya Ibnu Atsir.
- Tafsir al Manaar karya tokoh Pembaharu Mesir, Rasyid Ridha.
- Almajmu' bi Syarhi al Muhadzzab (Kodifikasi Hukum Islam) karya Imam Nawawi.
- Almilalu wan Nihal (Perbandingan Agama) karya Assyahristani.
- Al Farqu bain al Firaq (Sejarah Pemikiran Sekte Dunia) karya Abdul Kadir al Bagdadi.
- Syarah al Mawaqif (Sejarah Filsafat) karya Al Jurjani (Georgiani) dan sejumlah kitab lain yang berkaitan dengan fiqh madzhab Syafi'i maupun pengetahuan umum.[18]
Kitab-kitab yang dikoleksi Haji Ahmad Sanusi memberikan
arah kepada satu kesimpulan bahwa Ahmad Sanusi selain berinteraksi dengan para
jamaah haji yang berkumpul di Tanah Suci, ia juga berinteraksi dengan
perkembangan pemikiran modern dan ilmu pengetahuan yang lebih dahulu berkembang
di Timur Tengah dan Eropa Timur abad ke-18.
Haji Ahmad Sanusi wafat di Gunung Puyuh Sukabumi pada hari
Ahad malam, 15 Syawwal 1369 Hijriyyah (1950 Masehi) dalam usia 63 tahun. Ia
dikuburkan di Gunung Puyuh, di atas bukit kira-kira 200 meter sebelah utara
pesantren yang didirikannya. Masyarakat Sukabumi ikut berkabung atas kemangkatan
Haji Ahmad Sanusi. Saat itu ia berada di tengah-tengah masyarakat Sukabumi
belum lama, belum setengah tahun dari kepulangannya dari Jakarta, setelah turut
hijrah ke Yogyakarta (1948) karena kota Sukabumi diduduki tentara Sekutu
Belanda.
Sulit untuk diperkirakan berapa jumlah masyarakat Sukabumi
yang hadir dalam prosesi shalat janazahnya. Berikut adalah gambaran situasi
pemakamannya:
Tepi ka lima kali rintakan ngayakeun shalat janazah di
masjid, masih keneh aya anu henteu kabagean ngama'mum, ... eta bae dibawa ti
masjid ka pakuburan oge teu kungsi digotong, tapi ditatalepakeun. Mangkaning
eta anu ngajajar di sisi jalan, bangunna teh kabeh oge pada hayang nyabak (Sampai lima kali rombongan menyelenggarakan shalat janazah di masjid,
masih terdapat orang yang tidak kebagian bermakmum, dibawanya dari masjid ke
pekuburan pun tanpa digotong, akan tetapi didukung secara estafet. Padahal
seluruh yang berdiri di sepanjang jalan ke pemakaman masing-masing terlihat
ingin menyentuh...). [19]
Tidak dapat diperkirakan berapa ratus orang pelayat
berderet di pinggir jalan mulai dari masjid sampai kuburan. Hal tersebut
menjadi petunjuk betapa besar rasa hormat dan penghargaan masyarakat Sukabumi
terhadap Haji Ahmad Sanusi.
Haji Ahmad Sanusi wafat dengan meninggalkan lembaga
pendidikan Islam, Pesantren Gunung Puyuh. Haji Ahmad Sanusi meninggalkan
sekitar 126 judul karangan tersiar, yang sebagian merupakan jawaban dan
tanggapan atas persoalan khilafiyah (perbedaan pemahaman keagamaan) yang
menjadi topik hangat dalam kehidupan keagamaan di permulaaan abad ke-20. Ia
meninggalkan tiga orang istri yang menjalani iddah wafat dan delapan orang anak
dari anakanaknya yang hidup dan masih perlu diasuh dan dididik. Haji Ahmad
Sanusi dianggap sebagai seorang kyai yang mampu menjembatani secara logis
perbedaan faham keagamaan. Ia tampil sebagai sosok kyai yang mampu
menetralisasi keresahan umat Islam di lingkungannya dalam menghadapi proses
yang disebut gerakan reformasi dan pemurnian kehidupan beragama. Haji Ahmad
Sanusi meninggalkan semangat kebangsaan, semangat persatuan, semangat
pembaharuan dan semangat kepujanggaan, walaupun pernah terlibat polemik
berkepanjangan dengan Gerakan Islam Modern.
3.
K.H. Ahmad
Sanusi dan Sarekat Islam
Di samping membuka pesantren di Babakan Sirna (1923), Haji
Ahmad Sanusi juga disebutkan pernah menjadi anggota Sarekat Islam Cabang
Sukabumi.[20]
Berdasarkan pengakuan Haji Ahmad Sanusi, ia sudah menjadi anggota Sarekat Islam
pada tahun 1913 ketika masih bermukim di Makkah atas fasilitasi Haji Abdoel
Moeloek, tetapi tidak membacakan sumpah keanggotaan.[21]
Ketika Haji Ahmad Sanusi kembali ke Tanah Air pada bulan
Juli tahun 1915, ia langsung bergabung dengan Sarekat Islam Cabang Sukabumi
dengan kedudukan sebagai penasihat cabang. Namun keanggotaan Haji Ahmad Sanusi
dalam Sarekat Islam hanya 10 bulan. Haji Ahmad Sanusi mengundurkan diri dari
Sarekat Islam karena terdapat ketidakcocokan dengan ketua cabang mengenai garis
perjuangan Sarekat Islam. Pada tahun 1915 itu Sarekat Islam Cabang Sukabumi
berada di bawah pimpinan Haji Sirod dengan Sekretaris bernarna Sardjono.[22]
Ketika bertempat tinggal di Babakan Sirna Cibadak, Haji
Ahmad Sanusi menerbitkan sebuah tulisan dengan judul, Qawanin ad Diniyyah wa
Dunyawiyyah fi Umuri Zakat wal Fitrah, (Peraturan Keagamaan dan Keduniaan
Berkenaan dengan Urusan Zakat dan Fitrah). Tulisan Haji Sanusi tersebut secara
tersurat melarang membayarkan zakat kepada pihak yang tidak berhak menerimanya
(Penghulu). Pihak yang tidak berhak menerima zakat dihukumkan haram untuk
menerima zakat dengan kategori berdosa, sama dengan dosa memakan barang hasil
mencuri atau menipu.
Haji Ahmad Sanusi menjelaskan dalam bukunya mengenai
pihak-pihak yang tidak berhak menerima zakat walaupun mengatasnamakan diri
sebagai amilin. Haji Ahmad Sanusi mendefinisikan amilin sebagai, “...man
ista’malahu al Imam ‘ala akhdi shadaqaat wa daf'iha limustahiqqiha, la qadin wa
walin fala haqqa lahuma fiz zakat. (Amilin adalah seseorang yang ditugaskan
oleh Imam untuk mengakumulasi zakat dan mendistribusikannya kepada pihak yang
berhak untuk menerimanya. Penghulu (Kadi) dan Pemerintah (Wali) tidaklah
termasuk dalam pengertian amilin. Oleh karenanya keduanya tidak berhak menerima
zakat).”[23]
Tulisan ini menjadi salah satu penyebab perseteruan antara
Haji Ahmad Sanusi dengan Penghulu Sukabumi, Raden Haji Ahmad Djoewaeni, Tulisan
Haji Ahmad Sanusi dianggap melawan kebijakan pemerintah dalam masalah
pemungutan zakat dan fitrah. Dengan demikian tulisan mengenai zakat ini
merupakan awal keterlibatan Haji Ahmad Sanusi secara langsung dalam politik
praktis.
B. Latar Sosio-Politik, Ekonomi, dan Kultural pada
Abad 20 di Sukabumi
1.
Latar Kondisi
Sosial Politik
Dalam hal sosial politik, pada awal abad 20 pemerintah
kolonial Belanda menggagas sebuah gerakan yang dinamai politik etis. Politik
etis adalah memberikan kesempatan kepada tokoh-tokoh pribumi untuk berkarya
atau menulis tetapi tidak boleh menulis berkenaan dengan politik. Oleh karea
itu, Haji Ahmad Sanusi diperbolehkan menulis
masalah keagamaan selama dalam pembuangan. Ch.O. van der Plas, seorang Adjunct
Adviseur voor Inlandsche Zaken atau pembantu penasihat pemerintah dalam
urusan pribumi antara tahun 1929 sampai dengan tahun 1931,[24] dikenal sebagai pejabat
kolonial yang mengendalikan gerakan nasionalis Indonesia dengan strategi canalizing
dan netralisasi, yaitu menarik kaum nasionalis dari kesibukan politik ke
kesibukan sosial budaya, dengan sasaran mengubah sikap ekstrim menjadi sikap
moderat.[25]
Dengan demikian kolonial Belanda diduga banyak memberikan kesempatan bahkan memberikan kebebasan
kepada Haji Ahmad Sanusi untuk
mengembangkan kebiasaan menulis bahasan, asalkan bukan bahasan politik.
Kolonial Belanda juga terlihat secara sengaja memposisikan Haji Ahmad Sanusi menjadi bagian dari konflik pemikiran keagamaan yang berkembang awal abad ke-19.
mengembangkan kebiasaan menulis bahasan, asalkan bukan bahasan politik.
Kolonial Belanda juga terlihat secara sengaja memposisikan Haji Ahmad Sanusi menjadi bagian dari konflik pemikiran keagamaan yang berkembang awal abad ke-19.
Apapun alasan yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda
untuk membiarkan Haji Ahmad Sanusi beraktualisasi di pengasingan, Haji Ahmad
Sanusi telah berhasil menempatkan dirinya dalam dinamika pemikiran keagamaan
awal abad ke-19. Haji Ahmad Sanusi tampil sebagai pembela faham keagamaan
kategori ortodoks progresif.
Pengetahuan agama yang pernah didalami Haji Ahmad Sanusi
beserta kitab-kitab langka yang menjadi referensinya telah turut mendukung
kemunculannya sebagai ajengan yang mampu menjawab hampir segala
persoalan khilafiyah keagamaan yang berkembang pada waktu itu, seperti
masalah membaca ushalli dalam permulaan shalat, membaca qunut, talqin
mayyit, dan tawassul.[26]
Komentar serta jawaban Haji Ahmad Sanusi terhadap masalah
khilafiyah diterbitkan dalam bentuk buku. Penerbit, tahun terbit dan alamat
wesel para pelanggan karya-karya Haji Ahmad Sanusi yang dimuat dalam khatimah
(penutup) setiap karangan, memberikan petunjuk bahwa selama dalam pengasingan.
Haji Ahmad Sanusi rnemanfaatkan waktunya untuk menulis berbagai disiplin ilmu
yang berkaitan dengan Islam dalam bahasa populer, Sunda dan Melayu.[27]
Pada 3 Juli 1934 Haji Ahmad Sanusi ditetapkan sebagai
tahanan kota. Sejak Desember 1934 Haji Ahmad Sanusi dipindahkan dari Weltevreden
Batavia Centrum ke Sukabumi. Haji Ahmad Sanusi tidak diperbolehkan
keluar dari Sukabumi kecuali mendapat rekomendasi dari Burgermeester.
Oleh karena Haji Ahmad Sanusi tidak diizinkan bertempat tinggal di luar kota,
maka ia tidak kembali ke Babakan Sirna di Genteng Cibadak yang dibangunnya
tahun 1923, tetapi membeli rumah di Jalan Gunung Puyuh yang dikenal sebagai de
Vogelweg 100.
Selanjutnya Haji Ahmad Sanusi membeli sebidang tanah rawa
di perkampungan kawasan Kota Sukabumi, di sebelah barat rumah yang
ditempatinya. Di atas tanah tersebut Haji Ahmad Sanusi membangun perguruan yang
diberi nama Perguruan Syamsul `Ulum. Peletakkan batu pertamanya dilakukan pada
14 Syawwal 1354 Hijriyyah yang bertepatan dengan 5 Februari 1933 Masehi. Oleh
karena pesantren Syamsul ‘Ulum terletak di perkampungan di pinggir Jalan Gunung
Puyuh, maka pesantren tersebut
dikenal dengan Pesantren Gunung Puyuh.
2.
Latar Kondisi
Sosial Ekonomi
Latar belakang sosial ekonomi pada awal abad 20, dimulai
dengan kekhawatian Pemerintah Hindia Belanda terhadap perkembangan SI yang
begitu pesat. SI dianggap membahayakan kedudukan pemerintah Hindia Belanda,
karena mampu memobilisasikan massa. Namun Gubernur Jenderal Idenburg
(1906-1916) tidak menolak kehadiran Sarekat Islam. Keanggotaan Sarekat Islam
semakin luas. Politik Kanalisasi Idenburg cukup berhasil, karena Central
Sarekat Islam baru diberi pengakuan badan hukum pada bulan Maret 1916 dan
keputusan ini diambil ketika ia akan mengakhiri masa jabatannya. Idenburg
digantikan oleh Gubernur Jenderal van Limburg Stirum (1916-1921). Gubernur
Jenderal baru itu bersikap agak simpatik terhadap Sarekat Islam.[28]
Pada kongres Sarekat Islam di Yogayakarta pada tahun 1914,
HOS Tjokroaminoto terpilih sebagai Ketua Sarekat Islam. Ia berusaha tetap
mempertahankan keutuhan dengan mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan
diri dari Central Sarekat Islam harus dikutuk dan persatuan harus dijaga karena
Islam sebagai unsur penyatu.[29]
Ada dua macam sebab mengapa organisasi ini didirikan. Pertama,
kompetisi yang meningkat dalam bidang perdagangan batik terutama dengan
golongan Cina, dan sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang
Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina dalam tahun 1911. Kedua, dirasakan pula tekanan oleh
masyarakat Indonesia di Solo ketika itu dari kalangan bangsawan mereka sendiri.
Sarekat Dagang Islam dimaksudkan menjadi benteng bagi orang-orang Indonesia
yang umumnya terdiri dari pedagang-pedagang batik di Solo terhadap orang-orang
Cina dan para bangsawan tadi.[30]
Sedangkan orientasi Syarikat Islam
di Sukabumi mengamali pergeseran yang semula hanya mengurusi masalah ekonomi
kemudian terdapat pergerakan menuju ke arah politik. Dalam hal ini, Ahmad
Sanusi tidak setuju kalau Syarikat Islam berpolitik. Menurutnya, terlalu dini
untuk berpolitik, sehingga Syarikat terpecah menjadi tiga kubu, yaitu: kubu
Haji Sirod (Presiden SI Sukabumi) yang berorientasi Politik, kubu Sardjono
(penulis/Sekretaris SI Sukabumi) yang kemudian memimpin Syarekat Rakyat atau SI
Merah yang berorientasi Komunis, dan kubu Ahmad Sanusi (Adviseur SI Sukabumi),
yang ingin memajukan agama dan ekonomi. Dengan alasan ketidak cocokan inilah
Ahmad Sanusi pada tahun 1916 setelah menjadi Adviseur selama sepuluh bulan
menyatakan keluar dari Syarikat Islam. Ahmad Sanusi mencita-citakan ekonomi
berdasarkan koperasi yaitu modal dikumpulkan dari iuran masyarakat, kemudian
modal dikelola untuk kepentingan masyarakat sebagai pasar.[31]
3.
Latar Kondisi
Sosial
Setelah pulang dari
Mekkah al-Mukarramah, pemikiran mengenai keummatan, ia implementasikan dengan
memimpin organisasi al-IttihĆ¢diyatul Islamiyah (AII), yang
berubah menjadi Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) dan melakukan fusi
dengan Perikatan Ummat Islam (PUI) dari Majalengka yang dipimpin oleh K.H.
Abdul Halim (teman seperjuangannya sewaktu mukim di Mekkah al-Mukarramah)
menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Organisasi ini oleh Ahmad Sanusi
dimanfaatkan untuk sarana dakwah, pendidikan, dan perjuangan. Semangat
perjuangan untuk membebaskan dari kebodohan, ketertindasan, kemiskinan, penjajahan,
dan lain-lain dalam konteks pergerakan nasional, dibangun dan dikembangkan
dengan dikemas dalam pembahasan tafsir al-Qur’an. Hal ini senantiasa ia
ungkapkan dalam berbagai event, baik melalui kitab karangannya, pengajian
santri dan umum maupun diskusi dan kegiatan lainnya, sehingga semangat juang
dikalangan bangsa Indonesia khususnya masyarakat Sukabumi tertanam dengan
kokoh, kuat, dan konsisten.[32]
Sebagai ulama yang produktif menulis dan ahli dalam
berpolemik, K.H. Ahmad Sanusi tidak jarang mendapat ejekan, serangan, dan
tantangan dari lawan-lawan pahamnya. Dia memiliki pendapat-pendapat yang tidak
jarang berbeda dengan kaum tradisi maupun pembaru. Setelah diasingkan K.H.
Ahmad Sanusi ke Batavia tahun 1928, di Sukabumi dan Bogor datang Paham baru dari
Bandung dan Garut. Paham baru yang
muncul itu di seputar masalah furu’iyyah, seperti talafud biniat,
talqin dan penggunaan kitab-kitab kuning karya ulama abad pertengahan,
serta ada tidaknya bid’ah hasanah. Para pembaru menyebut orang yang taqlid
kepada ulama, suka membaca talafud biniat dan talqin adalah
musyrik dan bukan umat Muhammad. Hal di atas menjadi alasan kegelisahan dan
kekhawatiran itu menjadi-jadi ketika tidak adanya para ajengan tradisional yang
terkenal saat itu di Priangan yang berani menghadapi pendapat para pembaru itu.[33]
Kemudian para pengikut Haji Ahmad Sanusi datang
menghubunginya untuk memberi tahu tentang munculnya paham-paham baru tersebut.
Maka atas desakan para pengikutnya itu, ia menulis beberapa buku sebagai
jawaban terhadap fatwa-fatwa kaum pembaru. Dari sejak itu Haji Ahmad Sanusi
berhadapan dan sekaligus sebagai lawan polemik dengan kaum pembaru. Bagi Haji
Ahmad Sanusi tidak cukup dengan menjawab fatwa-fatwa yang diajukan kepadanya, bahkan
ia menantang balik para pembaru untuk membuktikan semua tuduhannya itu secara
tertulis dalam buku tersendiri. Menurut Mohammad Iskandar, kecuali dari para
kyai pembaru Garut, tidak ada lagi tokoh pembaru yang menanggapi tantangan K.H.
Ahmad Sanusi itu termasuk A. Hassan, tokoh PERSIS, dan tokoh pembaru yang
paling keras mengecam kaum tradisi. Bahkan A. Hassan menyinggung nama Ahmad
Sanusi sebagai mata-mata untuk mengecam atau malah menghina pribadi kyai itu
dengan sebutan “bambu buruk.”[34]
Ketika surat kabar “Cahaya Islam” mengkufurkan dan
memusyrikan terhadap ulama-ulama yang menyunatkan talafud biniat, talqin,
dan wiridan berjamaah. K.H. Ahmad Sanusi menulis dalam majalah, Al-Hiayatul
Islamiyyah, no. 8, Agustus 1931 dengan Babul Ijtihad. Dalam
tulisannya ia menggambarkan tentang sulitnya melakukan ijtihad. Alasan yang ia kemukakan
berupa perbandingan antara Imam Malik yang banyak mengatakan “tidak bisa”
dengan para ulama yang mengaku mujtahid. Kemudian dalam mengakhiri tulisannya
ia menulis, “Kata para Mujtahid dulu: ijtihad itu sulit, sedangkan kata
mujtahid tahun 1350 (1931): ijithad itu mudah, bahkan tukang I (orang yang
mencari rumput untuk binatang ternak) sekalipun tidak boleh taklid dan harus
berijtihad sendiri.”[35]
Oleh sebab itu ia mengaku tidak melakukan ijtihad, walaupun
ia percaya pintu ijtihad masih terbuka, karena untuk melakukannya tidak mudah.
Menurutnya tidak benar setiap berijtihad selalu mendapat ganjaran jika hasil
ijtihadnya tidak benar, kecuali jika orang yang hendak melakukan ijtihad
tersebut memenuhi persyaratan.
Lawan paham Kyai Ahmad Sanusi bukan saja datang dari kaum
Pembaru, melainkan juga dari kaum tradisi. Misalnya, dalam masalah pengumpulan
zakat, fitrah, dan slametan. Menurut Kyai Ahmad Sanusi, pengumpulan zakat fitrah
melalui para amil dari Pekauman, yang kemudian disetorkan kepada naib dan
seterusnya kepada penghulu kepala di Kabupaten adalah salah kaprah. Seharusnya,
zakat dan fitrah dikumpulkan kepada amil yang ditunjuk masyarakat dan
seterusnya dibagikan kepada mustahik. Kyai Ahmad Sanusi juga mengkritik
upacara ketiga hari, ketujuh hari, dan seterusnya bagi orang yang telah
meninggal. Menurut Kyai jadi haram hukumnya jika prakteknya dianggap sebagai
ketentuan agama mengikuti waktu-waktu yang ditentukan. Fatwa ini di tentang keras oleh pihak Pekauman,
salah satunya dari Kyai Raden Haji Uyek Abdullah, anggota Raad agama yang juga
menjabat Imam Kaum Sukabumi, yang mengatakan upacara slametan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.[36]
Kyai Ahmad Sanusi menuturkan bagaimana serangan-serangan
para ajengan kaum tradisi kepada dirinya dalam masalah upacara slametan, ia mengemukakan,
“Pada tahun 1920, saya telah mendapat kebencian dalam masalah ini, karena saya
sering mengajar anak-anak kitab “Fathu al-Mu’in,”, tatkala sampai pada
bab al-Janazah tepat pada masalah ini oleh saya diterangkan kepada
orang-orang seperti biasa mengajar ngaji saja serta oleh saya diterangkan
keadaan sebenarnya dalam hasiyyahnya Fathu al-Mu’in (I’anah
al-Thalibin) karangan al-marhum Sayyid Muhammad Bakri. Karena betapa
cintanya kepada ketiganya, ketujuhnya dan seterusnya, jadi banyak yang benci
kepada saya, bahkan para ajengan kota banyak yang benci kepada saya
sampai-sampai mereka mencari jalan supaya saya bisa celaka, atau kalau bisa di
penjara.”[37]
Di samping masalah pengumpulan zakat, fitrah, dan slametan,
K.H. Ahmad Sanusi mendapat reaksi keras dari kaum ulama tradisi berkenaan
dengan penulisan al-Qur’an dengan huruf latin. Hal ini bermula dari
dipindahkannya Ahmad Sanusi dari Batavia ke Sukabumi pada Agustus 1934. Dua
bulan setelah perpindahannya itu, ia mengeluarkan sebuah tafsir berbahasa
Melayu dan berhuruf latin, yang berjudul, TafsƮr Tamsyiyyat al-MuslimƮn.
Dalam perkembangannya, tafsir ini mendapat kritikan keras dari kalangan
masyarakat, termasuk para kyai Cicurug dan Bogor. Sebagaimana diceritakan dalam
buku Mindhorat al-IslĆ¢m wa al-ImĆ¢n, “Sejak itu para kyai tersebut mengeluarkan segala ucapan, celaan, hinaan
bahkan sampai mengkufurkan ajengan Sanusi di setiap tempat duduk-tempat duduk,
pasar-pasar. Tetapi oleh ajengan Ahmad Sanusi tidak didengar, kemudian beliau
menyuruh kepada semua pengurus permusyawaratan di Sukabumi dan Bogor supaya
masalah penulisan al-Qur’an dengan huruf latin dimusyawarahkan. Permusyawaratan
di adakan di majelis al-Ittihad Sukabumi 2 kali dan di majelis al-Ittihad Bogor
3 kali. Serta itu para kyai diundang seluruhnya, tetapi itu kyai-kyai tidak ada
yang mau datang kepada permusyawaratan itu kecuali sekali di Bogor ada yang
datang Haji Usman, karena hujjah haji Usman terdesak oleh Damanhuri Cantayan,
terpaksa Haji Usman minta diundurkan pada permusyawaratan yang akan datang.
Dalam permusyawaratan yang kedua kalinya tidak ada yang datang dari kyai
kecuali Haji Mansur berkata: “Buat apa bermusyawarah dengan orang-orang bodoh
tidak punya pengetahuan.” Oleh karena itu, kyai-kyai tetap mencela ajengan
Sanusi.[38]
Perdebatan tentang masalah itu tidak hanya berhenti dalam
forum resmi melainkan terus berlanjut dalam perang urat saraf melalui
tulisan-tulisan. Seperti yang diceritakan oleh salah seorang pengikutnya karena
betapa banyaknya celaan-celaan yang dialamatkan kepada diri Kyai Ahmad Sanusi,
maka ia memberikan hak jawab untuk melegitimasi kebolehan penulisan huruf
al-Qur’an dengan huruf latin dengan mengutip kitab-kitab karya ulama abad
pertengahan seperti HĆ¢syiyah Tuhfah, IqnĆ¢,
FatĆ¢wĆ¢ hadĆ®thiyyah, QalyĆ»bi dan HĆ¢syiyah
Bahjah. Hak jawabnya tersebut ditanggapi oleh Haji
Usman dan Haji Mansur serta empat orang kawannya, Haji Ahmad Dimyati, Haji
Hasan Basri, Kyai Haji Ahmad dan Muhammad bin Toha, dengan menulis sebuah kitab
yang berjudul, Tadhkirat al-Ikhwan. Kemudian kitab tersebut dibantah
oleh kelompok Kyai Haji Ahmad Sanusi dengan menulis buku berjudul, Mindharatu
al-IslĆ¢m wa al-ImĆ¢n fĆ® TabyĆ®n Bid’at wa DhalĆ¢lat Tadhkirat al-IkhwĆ¢n. Sedangkan karangan Haji Usman dan Haji Mansur yang lainnya seperti Tashfiyat
al-AfkĆ¢r diserang balik oleh kelompok Haji Ahmad
Sanusi dengan buku yang berjudul TahdhĆ®r al-AfkĆ¢r.[39]
C.
Karya-Karya K.H.
Ahmad Sanusi
Selama berada di Babakan Sirna, Haji Ahmad Sanusi mulai
menuliskan pengetahuan agama dan menerbitkannya. Buku yang pertama kali ditulis
di Babakan Sirna adalah tafsir dan terjemah dalam bahasa Sunda dari Surat Yasin
dengan judul, Tafriju Qulub al Mu’inininfi Tarjamati Surati Yasin,
diterbitkan oleh Percetakan terkemuka Syekh Abdullah bin Afif, Cirebon.[40] Kedua Tafsir dan terjemah
dalam bahasa Sunda dari Surat Waqi'ah yang diberi judul, “Kasyf as Sa'adah
fi Tafsiri Surat al Waqi’ah” yang diterbitkan oleh Boekhandel en
Steendrukkerij, Sayyid Yahya, Tanah Abang, Weltevreden.[41]
K.H. Ahmad Sanusi dikenal sebagai ulama yang sangat
produktif menulis. Judul-judul Kitab karangan K.H. Ahmad Sanusi di antaranya,
kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa sunda, al Loe loeoen nadid
(menerangkan bahasan ilmu tauhid), Tidjanul Gilman (ilmu tajwid
al-Qur’an), Hiljatoel Goelam (bab puasa), al-Hidajah (menerangkan
hadits-hadits kitab sapinah), Misbahoel Falah (wiridan sore dan subuh), Sirodjoel
Afkar (wiridan siang dan malam), Matolioel Anwar (bab istigfar), al-Kawakiboeddoerrijjah
(do’a Nabi).
Sedangkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa melayu di
antaranya, Tafsier Maldjaoettolbien (satu buku), Fadoiloel Kasbi
(bab kasab dan ikhtiar), Tamsjijjatoel Moeslimin (53 buku), Bab Wudhu,
Asmaoel Hoesna (makna serta khasiatnya). Tafsier Rhaudhotul Irfan
al-Qur’an 30 Juz (Tafsir ini berbahasa Melayu dan Sunda merupakan tafsir
lengkap yang masih di ajarkan di pondok pesantren Syamsul Ulum dan majelis
taklim di Sukabumi.[42]
[1]Tanggal tersebut sesuai dengan tanggal yang tertera
pada batu nisan kuburnya, di kompleks pemakaman sebelah utara Pesantren Gung
Puyuh Sukabumi.
[2]Formulir Pendaftaran, Oerang Indonesia jang
Terkemoeka jang Ada di Djawa: Sanoesi, Achmad, Gunseikanbu Cabang I,
Pegangsaan Timur 36 Jakarta tt, (Jakarta: ANRI).
[3]Kata ajengan adalah bahasa Sunda yang digunakan
sebagai panggilan untuk tokoh agama di Jawa Barat yang memiliki reputasi lebih
dari kyai. Di Bogor, sesorang dipanggil ajengan apabila orang tersebut
memiliki pesantren dan menjadi panutan para kyai setempat. Sementara itu, kata
kyai adalah sebutan untuk pengelola masjid yang mengajar membaca al-Qur'an
tingkat permulaan, yang memiliki pengetahuan agama walaupun tidak mendalam.
Dengan sendirinya kyai menjadi panutan masyarakat yang menjdi jamaah masjidnya.
[4]Lihat, Munadi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya
dalam Pergolakan Nasional, (Sukabumi: Pesantren Gunungpuyuh Sukabumi,
2011), h. 3.
[5]Husein Hasan Basri, “K.H. Ahmad Sanusi: Membangun Format Ideal
Relasi Agama dan Politik,” dalam Jajat Burhanudin dan Ahmad Baedowi,
Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman Islam Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 226.
[6]Wawancara pribadi dengan Maman Abdurrahman, Pimpinan Pondok Pesantren
Syamsul ‘Ulum Gunungpuyuh Sukabumi, 12 November 2012.
[7]Istilah santri, nyantri, dan pesantren
di atas adalah pengertian yang penulis pahami sebagai siswa yang pernah
berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain. Pengertian santri di sini sama
dengan pengertian santri dalam Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan
Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,
(Jakarta: Seri INIS XX, 1994), h. 25, tetapi berbeda dari pengertian santri
dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj.
Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, Cet. 2, 1983). Santri dalam Geertz
merupakan varian sosial di Mojokuto.
[8]Maman Abdurahman menyatakan lupa nama guru ayahnya
pada Pesantren Cilaku dan Pesantren Ciajag, padahal di Pesantren Cilaku-lah
ayahnya berguru ilmu tasawwuf paling lama.
[9]Selama enam bulan berada di Pesantren Gentur,
Jambudipa Cianjur ini Ahmad Sanusi dianggap melawan tradisi pesantren, karena
berani mengajukan persoalan hukum fikih yang menyudutkan gurunya. Bahkan selanjutnya
terjadi polemik mengenai sah atau tidaknya bersuci dengan menggunakan air teh dalam
media yang dipublikasikan secara meluas. Sebutan kawalat dari Pesantren Cianjur
pun terungkap kepada kyai Sukabumi.
[10]Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan
Kiprahnya dalam Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerakan Kebangsaan di
Sukabumi 1888-1950, (Semarang:
Program Magister Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2011), h. 90-91.
[11]Regeerings Almanak voor Nederlandsch-Indie 1915, h. 345. Tahun 1915 di Sukabumi baru
tercatat Frobelschool te Soekaboemi dengan kepala sekolahnya dijabat
oleh Mej. E. Gollner di bawah Frobelschool te Bandoeng van de Vereniging Het
Gesticht der Zuster Ursulinen te Batavia, dan pada halaman 335 tercatat
nama Instituut Soekaboemi yang diketuai oleh W. Kooiman.
[12]Ahmad Sanusi, Tamsijjatoel Moeslimien fie Tafsieri
Kalami Robbil ‘Alamien, Nummer 9 Tahon ka II (Sukabumi: Druk Al-Ittihad,
1935), h. 392.
[13]Mawardi, op. cit., h. 14. Selama bermukim di
Tanah Suci, Siti Djuwaerijah melahirkan tiga orang putera, Zarkasji (1909)
meninggal di Tanah Suci, Muhammad Asj'arie (1911), dan Siti Halimah (1913).
[14]Sebagaimana didengar Ahmad Badri Sanusi dari ayahnya.
Kitab-kitab dibeli dari sisa uang saku selama bermukim di Tanah Suci. Mertua
Ahmad Sanusi, K.H. Affandi yang turut membiayai Ahmad Sanusi adalah kyai yang
terkenal kaya raya di Babakan Selawi Baros Sukabumi.
[15]Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan
Kiprahnya dalam Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerakan Kebangsaan di
Sukabumi 1888-1950, h. 44. Akan
tetapi Badri Sanusi tidak mendapat cerita bahwa ayahnya pernah berguru atau
bertemu dengan tokoh-tokoh lain dari Indonesia yang bermukim di Makkah pada
dasawarsa pertama abad ke-20, seumpama K.H. Asnawi Kudus, K.H. Abdul Halim
Majalengka, K.H. Wahab Chasbullah dan lain-lain.
[16] Kisah Haji Ahmad Sanusi pernah menjadi imam di Masjid
Al Haram ini adalah cerita dari mulut ke mulut yang tidak didukung dokumen
tertulis.
[17]Sanad (rangkaian penutur) cerita ini terputus, tetapi
cerita di atas sudah menjadi cerita dari mulut ke mulut di kalangan para kyai
Sukabumi, dan hampir menjadi Manakib
(hagiografi) Haji Ahmad Sanusi.
[18] Delapan belas kitab yang dijadikan referensi dalam
polemik dengan Cahya Islam Garut belum termasuk di atas.
[19]Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan
Kiprahnya dalam Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerakan Kebangsaan di
Sukabumi 1888-1950, h. 55.
[20]SI Cabang Sukabumi pasif. Tidak ditemukan mailrapporten/geheim
dari Politieke Inlichtingen Dienst (PID) yang memadai menyangkut SI Afdeeling
Sukabumi. Dalam laporan Residen Bandung, de Steurs kepada Gubernur Jenderal Van
Limburg Stirum tanggal 2 Agustus 1919 hanya ditemukan nama Tarmidi asal Bogor
yang menyebarkan jimat, dan nama Mad Enoh dari Babakan Peundeuy Distrik Cicurug
sebagai Anggota SI Afdeeling B., Sarekat Islam Lokal, Penerbitan
Sumber-Sumber Sejarah Nomor 7 (Jakarta: ANRI, 1975), h. 114.
[21]Proces verbaal pepriksaan Hadji Mochamad Sanoesi kampoeng Tjantajan,
1919 oleh Wedana Cibadak Raden
Karnabrata, 7 Oktober 1919, dari Koleksi R.A. Kern Nomor 278. (KITLV).
[22]Asep Mukhtar Mawardi, Haji Ahmad Sanusi dan
Kiprahnya dalam Pergolakan Pemikiran Keislaman dan Pergerakan Kebangsaan di
Sukabumi 1888-1950, h. 100.
[23]Ahmad Sanusi, Qawanin ad Diniyyah wa Dunyawiyyah fi
Umuri Zakat wal Fitrah: Peraturan Keagamaan dan Keduniaan berkenaan
dengan Urusan Zak-at dan Fitrah, (Sukabumi: Kantor Citak Al Ittihad, 1932), h.
16.
[24] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda,
(Jakarta: LP3ES, 1985), h. 154.
[25]Suminto mengutip laporan penelitian van der Plas, 7
Desember 1927 yang disampaikan kepada Direktur Pendidikan Hardeman yang
menyatakan bahwa, “Untuk melawan kaum ekstrimis tidak ada alat yang lebih baik
daripada memberikan kemungkinan mereka melaksanakan tugas pembangunan. Yang
paling baik adalah bekerjasama dalam bidang sosial budaya dengan orang moderat
dan tidak ekstrim. Dengan tidak hanya tenggelam dalam bidang politik, maka
seseorang mampu mengenal masalah dan kesulitan-kesulitannya dalam praktek,
mampu pula menyadari tanggungjawabnya.” Ibid., h. 159.
[26]Ahmad Sanusi, Tasyqieq al Azeham fi Rad 'i an at
Thugam (Weltevreden, Batavia Cantrum: 27 Jumada' Ula 1347), h. 142. Buku ini membahas masalah ushalli, qunut,
talqin mayyit, tawassul dan sebagainya.
[27] Dalam lampiran formulir isian yang disebarkan
Gunseikanbu Cabang 1 tanggal 25-12-2602, disebutkan 102 judul buku ditulis
dalam bahasa Sunda dengan huruf Arab dan 24 judul buku ditulis dalam bahasa
Indonesia huruf Latin.
[28]Lihat, Ari Sentani, “Sarekat Islam Yang
Terlupakan dari Sejarah Kebangkitan Bangsa,” artikel di akses pada 26 Oktober
dari http://unissula.ac.id/index.php?option=com_
content&view= article&id=289:sarekat-islam-yang-terlupakan&catid=49:artikel&Itemid=163
[29]Ibid.
[30]Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
PT Pustaka LP3ES, Cet. VIII, 1996), h. 115.
[31]Munadi Shaleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya dalam
Pergolakan Nasional, h. 31.
33]Husein Hasan Basri, “K.H. Ahmad Sanusi: Membangun Format Ideal
Relasi Agama dan Politik, h. 237-238.
[34]Mohamad Iskandar, Kiai Haji Ajengan Ahmad Sanusi, (Jakarta:
Pengurus Besar Persatuan Umat Islam PUI, 1993), h. 12.
[35]Ahmad Sanusi, al-Hidayatul Islamiyyah, no. 8, Agustus 1931.
Lihat juga, Husein Hasan Basri, op. cit., h. 238.
[37]Lihat, Ahmad Sanusi, al-Isyarat fi al-Farqi Baina al-Shadaqah wa
al-Dhiyafah, (Tanah Tinggi Senen 191, Batavia Centrum, tt.). h. 3.
[38]Ahmad Sanusi, Mindharatu al-Islam wa al-Iman fi TabyĆ®na Bida’ti wa
Dhalalati Tadzkiratu al-Ikhwan, tp. tt. h. 1-2.
[39]Husein Hasan Basri, “K.H. Ahmad Sanusi: Membangun Format Ideal
Relasi Agama dan Politik, h. 240.
[40]Ahmad Sanusi, Tafriju Qulub al Mu'minin fi
Tarjamati Surati Yasin, (Cirebon: Syekh Abdullah bin 'Afif, tt).
[41]Ahmad Sanusi, Kasyfu as Sa'adah fi Tafsiri Surat al
Waqi'ah, (Wertevreden Batavia: Sayyid Yahya, tt).
[42]Arsip Nasional Republik Indonesia. Dalam lampiran Daftar Orang-Orang
Indonesia Terkemoeka di Djawa. R.A. 31. No. 2119. Jakarta).
Assalamualaikum,
ReplyDeleteLangsung saja ya Admin,
Saya sedang mencari buku karya KH. Ahmad Sanusi yang berjudul "Kanzul rahmah wa lutfi fi tafsiri surat al-kahfi", barangkali Admin tau perpustakaan beliau sekarang ini di daerah mana? Atau kalau Admin sendiri memiliki buku tersebut sudi kiranya berbagi dengan saya.
mohon kabari ke email ini: khangzack[at]gmail.com
terimakasih,
Wassalamu'alaikum