Oleh: Muslimin
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu kepribadian yang melekat pada diri Nabi Muhammad adalah kejujuran dan jauh dari kebohongan. Sebagaimana yang tergambar dalam kisah pertemuan antara Heraklius dan Abu Sufyan. Ketika Heraklius, raja Romawi, bertanya kepada Abu Sufyan tentang sifat-sifat Muhammad SAW, Abu Sufyan menjawab bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang sangat jujur.
Pertanyaan lain yang diajukan Heraklius kepada Abu Sufyan, apakah ia pernah mencurigai Nabi Muhammad melakukan kebohongan? Abu Sufyan menjelaskan, ia tidak pernah meragukan kejujuran Nabi Muhammad.
Komitmen Rasulullah SAW untuk selalu bertindak jujur terlihat ketika Beliau berkunjung ke rumah Abdullah bin Amir. Saat itu, Abdullah bin Amir masih kecil. Ketika ia pergi hendak bermain, lalu ibunya memanggil, “Ya Abdullah, mari ke sini, aku akan memberimu sesuatu.”
Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Ibunya menjawab akan memberikan Abdullah bin Amir kecil kurma. Kemudian Rasulullah SAW mengingatkan, “Jika engkau tidak menepati (janjimu), niscaya itu akan dicatat sebagai dusta.” (HR Abu Daud).
Spirit kisah ini mengingatkan bahwa selain merugikan kepentingan orang lain, berbohong juga merugikan orang yang berbohong itu sendiri. Seseorang yang sering berdusta tidak akan dipercaya meskipun suatu waktu ia berkata benar. Padahal, untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan, seseorang memerlukan kepercayaan dan dukungan orang lain.
Salah satu pribadi yang jauh dari sifat bohong terekam indah dalam dialog Umar Ibn Khattab dengan seorang anak penggembala. Khalifah Umar mendekati anak penggembala itu kemudian berkata, “Cukup banyak kambing yang kamu pelihara, sangat bagus dan gemuk-gemuk. Kamu jual saja padaku seekor yang gemuk dan bagus.”
Mendengar perkataan Amirul Mukminin itu, penggembala menjawab, “Kambing-kambing ini bukan milik saya, melainkan milik tuan saya. Saya hanyalah penggembala yang menerima gaji.” Kemudian Umar Ibn Khattab berkata, “Katakan saja pada tuanmu, kambingnya dimakan serigala.”
Anak gembala itu diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, “Jika tuan menyuruh saya berbohong, bukankah Allah Maha Melihat? Apakah tuan tidak menyadari siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?” Menyaksikan kejujuran anak gembala itu, Umar Ibn Khattab terharu, bahagia, dan kagum akan ketaatannya kepada Allah SWT. Dialog ini mengingatkan kita untuk terus berlatih jujur dalam kondisi dan situasi apa pun.
Namun, tidak semua kebohongan itu mengandung kesalahan dan terlarang. Dalam situasi tertentu, berbohong dibolehkan. Seperti yang diriwayatkan Ummu Kultsum, “Aku tidak mendengar Rasulullah SAW sedikit pun menginginkan dusta kecuali dalam tiga hal, yaitu seseorang yang berkata dusta untuk mendamaikan, seseorang yang berkata dusta sebagai strategi peperangan, dan suami yang berkata dusta kepada istri atau istri yang berkata dusta kepada suami demi untuk keharmonisan rumah tangga.” (HR Muslim).
Komitmen Rasulullah SAW untuk selalu bertindak jujur terlihat ketika Beliau berkunjung ke rumah Abdullah bin Amir. Saat itu, Abdullah bin Amir masih kecil. Ketika ia pergi hendak bermain, lalu ibunya memanggil, “Ya Abdullah, mari ke sini, aku akan memberimu sesuatu.”
Rasulullah SAW bertanya, “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Ibunya menjawab akan memberikan Abdullah bin Amir kecil kurma. Kemudian Rasulullah SAW mengingatkan, “Jika engkau tidak menepati (janjimu), niscaya itu akan dicatat sebagai dusta.” (HR Abu Daud).
Spirit kisah ini mengingatkan bahwa selain merugikan kepentingan orang lain, berbohong juga merugikan orang yang berbohong itu sendiri. Seseorang yang sering berdusta tidak akan dipercaya meskipun suatu waktu ia berkata benar. Padahal, untuk memperoleh kesuksesan dan kebahagiaan, seseorang memerlukan kepercayaan dan dukungan orang lain.
Salah satu pribadi yang jauh dari sifat bohong terekam indah dalam dialog Umar Ibn Khattab dengan seorang anak penggembala. Khalifah Umar mendekati anak penggembala itu kemudian berkata, “Cukup banyak kambing yang kamu pelihara, sangat bagus dan gemuk-gemuk. Kamu jual saja padaku seekor yang gemuk dan bagus.”
Mendengar perkataan Amirul Mukminin itu, penggembala menjawab, “Kambing-kambing ini bukan milik saya, melainkan milik tuan saya. Saya hanyalah penggembala yang menerima gaji.” Kemudian Umar Ibn Khattab berkata, “Katakan saja pada tuanmu, kambingnya dimakan serigala.”
Anak gembala itu diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, “Jika tuan menyuruh saya berbohong, bukankah Allah Maha Melihat? Apakah tuan tidak menyadari siksa Allah itu pasti bagi para pendusta?” Menyaksikan kejujuran anak gembala itu, Umar Ibn Khattab terharu, bahagia, dan kagum akan ketaatannya kepada Allah SWT. Dialog ini mengingatkan kita untuk terus berlatih jujur dalam kondisi dan situasi apa pun.
Namun, tidak semua kebohongan itu mengandung kesalahan dan terlarang. Dalam situasi tertentu, berbohong dibolehkan. Seperti yang diriwayatkan Ummu Kultsum, “Aku tidak mendengar Rasulullah SAW sedikit pun menginginkan dusta kecuali dalam tiga hal, yaitu seseorang yang berkata dusta untuk mendamaikan, seseorang yang berkata dusta sebagai strategi peperangan, dan suami yang berkata dusta kepada istri atau istri yang berkata dusta kepada suami demi untuk keharmonisan rumah tangga.” (HR Muslim).
Post a Comment