Sumber Gambar: |
Pada dasarnya tujuan
dakwah adalah sesuatu yang hendak dicapai melalui tindakan, perbuatan atau
usaha. Didalam kaitannya dengan dakwah, maka tujuan dakwah sebagaimana
dikatakan Ahmad Ghallusy[1]
adalah membimbing manuisa untuk mencapai kebaikan dalam rangka merealisir
kebahagiaan. Sementara itu, Ra’uf Syalabi mengatakan bahwa tujuan dakwah adalah
meng-Esakan Allah SWT, membuat manusia tunduk kepada-Nya, mendekatkan diri
kepada-Nya dan introspeksi terhadap apa yang telah diperbuat.[2]
Tujuan dakwah
sebagaimana dikatakan Ahmad Ghallusy dan Ra’uf Syalaby tersebut dapat
dirumuskan ke dalam tiga bentuk, yaitu tujuan praktis, tujuan realistis, dan
tujuan idealistis.
- Tujuan
Praktis
Tujuan praktis dalam
berdakwah merupakan tujuan tahap awal untuk menyelamatkan umat manusia dari
lembah kegelapan dan membawanya ke tempat yang terang-benderang, dari jalan
yang sesat kepada jalan yang lurus, dari lembah kemusyrikan dengan segala
bentuk kesengsaraan menuju kepada tauhid yang menjanjikan kebahagiaan.
Pemahaman terhadap
tujuan dakwah semacam ini dapat dikaji dengan mengadakan analisis kritis
terhadap sejumlah ayat al-Qur’an yang berbicara tentang upaya mengeluarkan umat
manusia dari jurang kegelapan menuju hamparan luas dan terang-benderang. Hal
ini misalnya tercermin dalam surat al-Thalaq [65]: 11:
“(Dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan
kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam) supaya Dia
mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal shalih dari kegelapan kepada
cahaya.”[3]
Ayat ini menjelaskan
bahwa Allah SWT mengutus para Rasul-Nya dengan dibekali ayat-ayat (kitab,
pengetahuan) untuk disampaikan kepada umat manusia dalam upaya mengeluarkan
mereka dari jurang kegelapan menuju hamparan luas yang disinari cahaya Ilahi.[4]
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa secara praktis tujuan awal dakwah adalah menyelamatkan manusia
daru jurang yang gelap (kekafiran) yang membuatnya tidak bisa melihat segala
bentuk kebenaran dan membawanya ke tempat yang terang-benderang (cahaya iman)
yang dipantulkan ajaran Islam sehingga mereka dapat melihat kebenaran. Dengan
kata lain, tujuan dakwah adalah mengikis habis segala bentuk kemusyrikan dan
menegakkan ajaran tauhid sebagai jalan kebenaran yang menyelamatkan umat
manusia dari kesesatan dan kebathilan.
- Tujuan
Realistis
Tujuan realistis adalah
tujuan antara, yakni berupa terlaksananya ajaran Islam secara keseluruhan
dengan cara yang benar dan berdasarkan keimanan, sehingga terwujud masyarakat
yang menjunjung tinggi kehidupan beragama dengan merealisasikan ajaran Islam
secara penuh dan menyeluruh. Tujuan dakwah semacam ini dapat dikaji dari
al-Qur’an surat al-Baqarah [2]: 208 sebagai berikut:r
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah
kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turuti
langkah-langkah Syaitan.”[5]
Dalam menafsirkan ayat
ini, Sayyid Quthub berpendapat bahwa tujuan dakwah adalah mewujudkan
orang-orang mukmin yang berserah diri kepada Allah dalam segala aspek kehidupan
mereka dengan keseluruhan jiwa dan amal mereka, baik yang kecil maupun yang
besar.[6]
Dengan penyerahan diri
ini, maka sudah tidak tersisa lagi kedurhakaan baik dalam angan-angan maupun
dalam ingatan, baik dalam niatan maupun dalam perbuatan, baik dalam kesukaan
maupun dalam ketakutan, tidak berlagak merendahkan diri terhadap Allah serta
tidak membenci hukum-hukum Allah dan ketetapan-ketetapan-Nya.[7]
Memperhatikan
penafsiran Sayyid Quthub dapat dipahami bahwa al-Qur’an menghendaki terwujudnya
masyarakat beriman (mukmin) secara utuh dan sempurna, bukan masyarakat mukmin
yang setengah-setengah atau masyarakat munafiq. Dengan demikian, tujuan
realistis dakwah adalah merealisasikan terwujudnya masyarakat mukmin yang
benar-benar menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh.[8]
- Tujuan
idealistis
Tujuan idealistis
adalah tujuan akhir pelaksanaan dakwah, yaitu terwujudnya masyarakat muslim
yang diidam-idamkan dalam suatu tatanan hidup berbangsa dan bernegara, adil,
makmur, damai, dan sejahtera di bawah limpahan rahmat, karunia, dan ampunan
Allah SWT. Tujuan idealistis ini dapat kita pahami dengan mengkaji ayat
berikut:
“Makanlah olehmu dari rizki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah
negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”[9]
Sebetulnya ayat ini
menceritakan kehidupan kaum Saba’ yang subur, makmur dan mendapat taraf
kehidupan yang sejahtera serta mendapat perlindungan dan ampunan dari Allah
SWT. al-Maraghi melukiskan bahwa penduduk negeri Saba’ ini terdiri dari
raja-raja Yaman yang hidup dalam kenikmatan besar dan rizkinya yang luas.
Mereka mempunyai kebun-kebun yang subur dan tanaman-tanaman yang luas di
sebelah kanan negerinya dan lembah di sebelah kirinya. Allah pun mengutus
Rasul-rasul-Nya kepada mereka.[10]
Tujuan dakwah tersebut
kemudian dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan kriteria berupa obyek dakwah
dan materi dakwah. Dilihat dari sisi obyeknya, tujuan dakwah adalah sebagai
berikut.
- Tujuan
perorangan, yakni terbentuknya pribadi muslim yang memiliki iman yang kuat
dan menjalankan hukum-hukum Allah serta berakhlak mulia.
- Tujuan
keluarga, yaitu terbentuknya keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah.
- Tujuan
untuk masyarakat, yaitu terbentuknya masyarakat sejahtera sesuai dengan
yang digariskan Allah SWT dan tujuan untuk seluruh umat manusia, yaitu
terbentuknya masyarakat dunia yang penuh dengan kedamaian, ketenangan,
ketentraman, tanpa adanya diskriminasi dan eksploitasi.
Adapun tujuan dakwah
dilihat dari segi materinya adalah sebagai berikut:
- Tujuan
aqidah, yakni tertanamnya aqidah tauhid yang mantap di dalam hati setiap
manusia, sehingga keyakinannya terhadap ajaran-ajaran Islam tidak diikuti
dengan keragu-raguan. Realisasi dari tujuan ini adalah orang yang belum
beriman menjadi beriman, dan orang yang sudah beriman semakin mantap
keimanannya.
- Tujuan
hukum, yakni kepatuhan setiap manusia terhadap hukum-hukum yang telah
ditetapkan Allah SWT. Realisasi dari tujuan ini misalnya orang yang belum
mau menjalankan ibadah menjadi beribadah dan lain sebagainya.
- Tujuan
akhlaq, yakni terbentuknya pribadi muslim yang berbudi luhur dan dihiasi
dengan sifat-sifat terpuji serta bersih dari sifat-sifat yang tercela.
Realisasinya dapat terwujud melalui hubungan manusia dengan Tuhannya,
sikap terhadap dirinya sendiri, dalam hubungan dengan manusia lain, dengan
sesama muslim dan lingkungan sekitarnya.
[1]Ahmad
Ghallusy, al-Dakwah al-Islâmiyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ (Kairo: Dar
al-Kitab al-Mashry, Cet. 2, 1407 H/1987 M), h. 29.
[2] Ra’uf
Syalaby, al-Dakwah al-Islâmiyah fî
‘Adihâ al-Makky:
Manâhijuhâ wa Ghayatuhâ (Kairo:
al-Fajr al-Jadîd, 1985), h.
34.
[4] Ahmad
Musthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghî (Kairo: Musthafa al-Halaby, 1394
H/1974 M), jilid X, Juz, 28, h. 150.
[6]Awaludin
Pimay, Paradigma Dakwah Humanis: Strategi dan Metode Dakwah Prof. KH.
Saifuddin Zuhri, (Semarang: RaSail, 2005), h. 37.
[8]Sayyid
Quthub, Tafsîr fî Zhilâl al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Syurûq, Cet. XIV, 1408
H/1987 M), Jilid IV, Juz XIII, h. 206, Liht juga, Ibid., h. 38.
[9]QS, Saba, [34]: ayat
15.
[10]Ahmad
Musthafa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Kairo: Musthafa al-Halaby, 1394
H/1974 M), Jilid XIII, Juz 22, Cet. Ke-5, h. 69.
Post a Comment