Da’i memiliki posisi yang strategis dan sentral dalam dakwah,
sehingga da’i harus memiliki image yang baik dalam masyarakat. Image terhadap da’i adalah penilaian
mad’u terhadap da’i, apakah da’i mendapat citra positif atau negatif.
Pencitraan mad’u terhadap diri seorang da’i sangat berpengaruh dalam menentukan
apakah mereka akan menerima informasi atau pesan dakwah atau sebaliknya.
Beberapa kategori yang menjadi kriteria seorang da’i di nilai
baik di antaranya: Pertama, melalui reputasi yang mendahuluinya. Kedua,
melalui perkenalan atau informasi tentang diri da’i. Ketiga, melalui apa
yang diucapkannya. Keempat, bagaimana cara da’i menyampaikan pesan
dakwahnya.[1]
Da’i adalah komunikator yang mengirim pesan kepada mad’u .
Oleh karena itu, da’i sebagai komunikator dapat disebut pengirim, sumber,
source, dan encoder. Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komuniktor
memegang peranan penting, terutama dalam mengendalikan jalannya komunikasi.
Oleh karena itu, seorang da’i harus terampil berkomunikasi,
dan juga kaya ide dan penuh daya kreativitas. Suatu hal yang sering dilupakan
oleh da’i sebelum memulai aktivitas komunikasinya, adalah bercermin pada dirinya apakah syarat-syarat
yang harus dimiliki seorang da’i yang handal telah dipenuhi atau belum.
Da’i adalah pengambil inisiatif terjadinya suatu proses
komunikasi. Dia yang harus mengetahui lebih awal kesiapan dirinya, pesan yang ingin
disampaikan, media yang akan digunakan, hambatan yang mungkin ditemui, dan
khalayak yang akan menerima pesannya.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, mengenali diri adalah suatu
hal yang sangat penting jika kita menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat.
Sebab dengan mengenal diri, kita dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan yang
ada pada diri kita. Untuk mencapai komunikasi yang mengena, seorang da’i selain
mengenal dirinya, ia juga harus memiliki kepercayaan (credibility), daya tarik (attractive),
dan kekuatan (power).
Sosok da’i yang memiliki kepribadian sangat tinggi dan tidak
pernah kering jika digali seperti pribadi Rasulullah SAW. Ketinggian
kepribadian Rasul dapat dilihat pada pernyataan al-Qur’an, pengakuan Rasul
sendiri dan kesaksian para sahabat yang mendampinginya. Dalam al-Qur’an
disebutkan bahwa Rasul adalah teladan utama, Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Akhir, dan dia banyak menyebut
Allah. (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Di mata para sahabatnya, Rasul SAW adalah guru, teman, orang
tua, dan pemimpin. Kombinasi kepemimpinan yang sangat ideal bagi seorang da’i,
sehingga beliau layak disebut sebagai da’i agung. Hadits yang meriwayatkan
pengakuan para sahabat atas ketinggian kepribadian Rasul sangat banyak
jumlahnya. Nabi SAW sendiri, dalam kapasitasnya sebagai Rasul terus terang
mengaku dirinya sebagai yang terbaik di antara para sahabatnya.
Seperti yang terungkap dalam sabda beliau, “Orang yang paling
baik (perlakuannya) terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang terbaik
(perilakunya) terhadap istriku.” (HR. Tirmidzi). Dalam hadits yang lain
dijelaskan, “Bahwasanya aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan
ketinggian akhlak.” (HR. Ahmad). Sedangkan dalam hadits lain diungkapkan, “Ya
Allah, perindahlah akhlakku sebagaimana Engkau telah perindah tubuhku.” (HR.
Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Salah satu bukti sejarah tentang kuatnya daya pesona pribadi
Rasul adalah awal hubungan beliau dengan penduduk kota Yatsrib. Disebutkan
bahwa ketika Rasul masih berada di kota Makkah di mana kaum musyrikin Quraisy
masih mendominasi kehidupan kota Makkah dalam menindas Rasul dan pengikutnya,
kepada setiap peziarah kota Makkah selalu diperingatkan oleh kaum Quraisy bahwa
di kota Makkah ada seorang gila yang berbahaya, bernama Muhammad. Tujuan dari
propaganda negatif itu ialah untuk menanamkan persepsi buruk tentang Rasul
kepada orang luar Makkah. Bagi orang Yatsrib, propaganda yang gencar dalam
menjelek-jelekkan seseorang justru menggelitik hati mereka untuk melihat
sendiri, seperti apa orang yang dianggap gila itu.
Pertemuan orang Yatsrib dengan Rasul ternyata kemudian
mengubah jalannya sejarah. Mereka menangkap jelas bahwa Muhammad itu bukan
orang gila. Lebih dari itu, di mata orang Yatsrib, Muhammad justru memiliki
kepribadian yang agung dan cerdas yang merupakan ciri pemimpin yang ideal.
Kepribadian Rasul itu menarik hati orang Yatsrib yang dikala itu sedang
mengalami krisis kepemimpinan, sehingga pertemuan dengan Muhammad menimbulkan
ide untuk mengajak Muhammad hijrah ke Madinah sekaligus mengangkat beliau
menjadi pemimpin mereka. Berangkat dari ketertarikan orang Yatsrib kepada
kepribadian Rasul, maka dakwah Rasul selanjutnya dapat mereka terima sepenuh
hati tanpa ragu sedikit pun.
Penguasaan
Da’i terhadap Ilmu Pengetahuan Islam
Dalam hal ini seorang da’i sekurang-kurangnya memiliki
pengetahuan tentang al-Qur’an dan Hadits, bahwa al-Qur’an mempunyai fungsi
sebagai petunjuk hidup (hudan),
nasihat bagi yang membutuhkan (mau’idzah)
dan pelajaran (‘ibratan), yang oleh
karena itu, selalu menjadi rujukan dalam menghadapi segala macam persoalan. Sedangkan tentang sunnah seorang da’i minimal
harus mengetahui kesahihan suatu hadis, riwayat Nabi, dan riwayat sahabat besar
dan sebagian riwayat ulama salaf yang berkaitan dengan periwayatan hadits.
Seorang da’i sedikit banyaknya juga harus mengetahui hukum Islam dan falsafah
tasri’nya. Ciri seorang da’i yang berilmu antara lain, ia tidak berani mengatakan
apa yang tidak dikuasainya dengan menggunakan term-term yang digunakan oleh
ahlinya. Seorang da’i akan segera ketahuan bodohnya jika ia berbicara tentang
sesuatu yang ia sendiri tidak paham.
Konsistensi
Seorang Da’i antara Ilmu dan Amal
Seorang da’i sekurang-kurangnya harus mengamalkan apa yang ia
serukan kepada orang lain. Perbuatan seorang da’i tidak boleh melecehkan
kata-katanya sendiri, apa yang ia demonstrasikan kepada masyarakat haruslah apa
yang memang menjadi keyakinannya. Sebab inkonsistensi antara kedual hal
tersebut akan membuat seruan dakwahnya tidak berbobot dan tidak berwibawa di
depan masyarakat. Seorang da’i yang baik tidak berani mengajak orang atas apa
yang ia sendiri tidak menjalankannya, dan secara moral ia juga tidak berani melarang
sesuatu yang ia sendiri tidak meninggalkannya. Sebagaimana dalam al-Qur’an
dijelaskan, “Apakah kalian menyuruh orang lain berbuat kebajikan seraya
melupakan dirimu sendiri (untuk melakukannya) padahal kalian membawa al-Kitab,
apakah kalian tidak mempunyai akal. (QS. Al-Baqarah [2]: 44).
Jadi, orang yang memberi nasihat kepada orang lain tetapi ia
sendiri tidak menggunakan nasihat itu adalah bagaikan orang yang mengetengahkan
hal-hal yang dapat dipahami oleh akal sehat. Seorang da’i terlebih dahulu harus
mengambil nasihat itu, baru kemudian menasihati orang lain, ia harus lebih
dahulu mengetahui, baru memberi tahu, ia harus mengambil petunjuk lebih dahulu,
baru memberi petunjuk. Perumpamaan seorang da’i yang tidak konsisten adalah
seperti buku tulis, ia memberi manfaat, tetapi ia sendiri tidak dapat mengambil
manfaat atau seperti sebatang lilin yang menyala, menerangi orang lain tetapi
ia sendiri terbakat.
Idealnya, seorang da’i adalah seperti matahari, ia membuat
bulan bercahaya, tetapi sinat matahari tetap lebih terang. Atau seperti api
yang memanaskan besi, besinya menjadi panas, tetapi panasnya api tetap lebih
tinggi, atau seperti minyak wangi, membuat harum orang lain, tetapi dirinya
tetap lebih harum.
Untuk menjadikan pesan dakwah itu sampai kepada mad’u tepat
waktu dan tepat sasaran, seorang da’i harus memiliki pengetahuan yang memadai
tentang semua hal yang berhubungan dengan masyarakat mad’u, bahasanya,
tradisinya, dan temperamennya sehingga da’i tidak terjebak dalam perbuatan
bodoh yang sia-sia. Secara lebih rinci, ilmu bantu yang harus dimiliki oleh
seorang da’i adalah, sejarah, ilmu jiwa, geografi wilayah dakwahnya, ilmu
akhlak, perbandingan agama, paham-paham madzhab, bahasa, dan budaya setempat.
Sejalan dengan sifat kejuangan dan perumpamaan da’i sebagai
matahari, seorang da’i dengan senang hati akan menjajakan ilmunya, kepada orang
yang mau maupun yang tidak mau. Jika mad’u membuka pintu hatinya, dengan
semangat da’i akan meresponnya, jika mad’u masih menutup pintu hatinya di lain
waktu, begitulah seterusnya. Oleh karena itu, tidak ada kamusnya seorang da’i
menyembunyikan ilmunya dari mad’u. Ilmu itu sendiri, semakin banyak diberikan
justru menjadi semakin tajam dan bertambah.
Sebagai pribadi, pada dasarnya seorang da’i dapat diibaratkan
sebagai danau, menampung air hujan, menyimpannya dan menyediakan diri bagi
orang yang membutuhkannya. Dalam puncak kerjanya, seorang da’i dapat
diibaratkan sebagai ember yang membawa air dari danau untuk disiramkan ke
pohon-pohon yang kekeringan. Jadi, ilmu, yang dipelajari oleh seorang da’i
adalah diperuntukkan bagi kepentingan mad’u. Oleh karena itu, ia tidak akan
kikir terhadap ilmunya.
Da’i
yang Memiliki Kesantunan dan Kelapangan Dada
Sifat santun (al-hilm)
dan lapang dada yang dimiliki seorang da’i merupakan indikator dari keluasan
ilmunya, dan secara khusus kemampuannya mengendalikan akalnya (ilmunya) dalam
praktek kehidupan. Sifat al-hilm itu
sendiri artinya akal. Ciri orang santun adalah lembut tutur katanya, tenang
jiwanya, tidak gampang marah dan tidak suka omong kosong. Secara psikologis,
kepribadian santun dan lapang dada seorang da’i akan membuat mad’u terikat
perasaannya, lebih daripada pemahaman melalui pikirannya, sehingga masyarakat mad’u cenderung ingin selalu
mendekatinya. Al-Qur’an mengingatkan bahwa sifat kasar (lawan dari santun).
Sebagaimana dalam al-Qur’an dijelaskan, “Sekiranya engkau (Muhammad) kasar dan
keras hati, niscaya mereka lari dari sisimu.” (QS. [3]: 159).
Da’i
yang Memiliki Sifat Pemberani
Dalam tingkatan tertentu seorang da’i adalah pemimpin
masyarakat. Kapasitas kepemimpinan seorang da’i boleh jadi hanya dalam bidang
keagamaan, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk menjalankan fungsi-fungsi
kepemimpinan dalam bidang sosial, ilmu pengetahuan, kebudayaan, ekonomi, dan militer.
Daya tarik kepemimpinan seseorang antara lain terletak pada keberaniaannya. Secara
psikologis, manusia memang tertarik pada keberanian. Petinju yang berani
menantang sang juara, jika di atas ring dapat sedikit saja mengungguli
lawannya, maka aplous penonton akan terpusat pada sang penantang. Kelompok
oposisi dalam suatu negara, sering menjadi pusat perhatian publik karena
dinilai memiliki keberanian menentang mainstream politik yang mapan.
Kemampuan
Da’i dalam Berkomunikasi
Kegiatan dakwah adalah kemampuan da’i mengkomunikasikan pesan
dakwah kepada mad’u. Komunikasi dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, dan
perbuatan. Komunikasi dapat berhasil manakala pesan dakwah itu dipahami oleh
mad’u dan pesan dakwah itu mudah dipahami manakala disampaikan sesuai dengan
cara berpikir dan cara merasa mad’u. Kaum intelektual lebih mudah memahami
bahasa ilmiah, sedangkan orang awam lebih mudah memahami bahasa awam. Jadi,
seorang da’i dituntut untuk dapat menggunakan metode yang tepat, dalam
mengkomunikasikan pesan dakwahnya. Dalam bahasa Arab, kemampuan ini disebut, quwwatul bayâni wa quwwatul lisâni, (kemampuan menjelaskan dan
fasih berbicara). Pesan dakwah yang tinggi jika disampaikan secara tidak logis,
atau orang yang berbicaranya gagap, maka dakwahnya tidak persuasif.
Da’i yang Memiliki Rasa Percaya Diri, Rendah Hati,
dan Sabar
Seorang da’i harus memiliki rasa percaya diri, yakni bahwa
selama dakwahnya dilandasi oleh keikhlasan dan dijalankan dengan menggunakan
perhitungan yang benar dan mengharap ridla Allah, Insya Allah akan membawa
manfaat. Seorang da’i juga harus tawadhu, rendah hati, merendahkan diri tapi
bukan rendah diri, menjauhi sifat sombong dan rasa kagum diri (‘ujub). Dalam perspektif Islam, rendah
hati justru akan mendatangkan kehormatan, sementara kesombongan justru akan
mengantar pada kehinaan. Nabi SAW pernah bersabda, “Barangsiapa merendahkan
dirinya maka Allah akan mengangkat derajatnya, dan barangsiapa yang
menyombongkan dirinya maka Allah akan menjatuhkannya. (HR. Abu Nu’aim).
Mengajak
manusia kepada kebajikan bukanlah pekerjaan yang mudah. Semua Nabi dan Rasul
dalam menjalankan tugas risalahnya selalu berhadapan dengan hambatan dan
kesulitan. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa orang tidak boleh menghayal untuk
masuk ke dalam surga sebelum mengalami pahit getirnya perjuangan seperti yang
dialami dengan Nabi dan umatnya terdahulu (QS. [2]: 214).
Demikian juga setiap da’i. Sebagai pewaris para Nabi setiap
da’i sangat besar kemungkinannya untuk berhadapan dengan resiko dilawan,
dihina, dilecehkan dan bahkan dibunuh. Menurut Imam al-Ghazali, tingkat
kesulitan yang dihadapi oleh pejuang, bergantung pada besar kecilnya terget
perjuangan.
Kemampuan
Da’i Menjaga Keanggunan dan Selera Tingginya
Betapapun seorang da’i harus aktif bekerja dan berbicara,
tetapi keanggungan kepribadiannya harus tetap dijaga. Keanggunangan da’i dapat
dijaga melalui hal-hal berikut. Pertama,
tidak terlalu banyak bicara, bicara hanya dalam hal yang diperlukan saja. Kedua, tidak terlalu banyak tingkah,
jangan terlalu banyak menggerakkan badan dan tangan dalam hal yang tidak
memerlukan gerakan. Ketiga, menjadi
pendengar yang baik dari lawan bicaranya. Keempat,
jika ditanya seseorang, jangan menjawab secara spontan, tetapi diam sejenak
sebelum menjawab. Kelima, tidak
terlalu banyak bercanda, apalagi berbau pornografi. Keenam, menjaga jarak dalam pergaulan dengan orang-orang yang sudah
dikenali sebagai orang yang tidak baik. Ketujuh,
menjaga diri dari citra negatif tertentu. Misalnya, duduk di pinggir jalan,
makan sambil berjalan, atau makan di warung secara sembarangan, tertawa terlalu
keras, berpakaian dengan mode yang tidak lazim, dan sebagainya.
Selera tinggi juga dapat menunjang keanggungan. Seorang da’i
yang berselera tinggi artinya ia tidak merasa puas denga hasil kerja yang tidak
sempurna. Konsepnya tentang pengembangan masyarakat juga memiliki standar
optimal. Jika ia berpikir mendirikan sekolah misalnya, maka dalam pikirannya
adalah sekolah bermutu, jika menyusun program peningkatan kesejahteraan
masyarakat, maka konsepnya tentang kesejahteraan juga memenuhi standar
maksimal, meski pelaksanaannya mungkin bertahap. Meski begitu selera tinggi
menghalangi seorang da’i untuk hidup sederhana, sebaliknya kesederhanaan justru
menambah keanggungan, yakni hidup sederhana tetapi gagasannya besar.
[1]Acep Aripudin, Pengembangan Metode
Dakwah: Respon Da’i Terhadap Dinamika Kehidupan Beragama di Kaki Ciremai,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h. 4-5.
Post a Comment