Suatu hari, Khalifah Abu Bakar hendak berangkat berdagang. Di
tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khathab. “Mau berangkat ke mana engkau,
wahai Abu Bakar?” tanya Umar. “Seperti biasa, aku mau berdagang ke pasar,”
jawab khalifah.
Umar kaget mendengar jawaban itu, lalu berkata, “Engkau
sekarang sudah menjadi khalifah, karena itu berhentilah berdagang dan
konsentrasilah mengurus kekhalifahan.” Abu Bakar lalu bertanya, “Jika tak
berdagang, bagaimana aku harus menafkahi anak dan istriku?” Lalu Umar mengajak
Abu Bakar untuk menemui Abu Ubaidah. Kemudian, ditetapkanlah oleh Abu Ubaidah
gaji untuk khalifah Abu Bakar yang diambil dari baitul mal.
Pada suatu hari, istri Abu Bakar meminta uang untuk membeli
manisan. “Wahai istriku, aku tak punya uang,” kata Abu Bakar. Istrinya lalu
mengusulkan untuk menyisihkan uang gaji dari baitul mal untuk membeli manisan.
Abu Bakar pun menyetujuinya.
Setelah beberapa lama, uang untuk membeli manisan pun
terkumpul. “Wahai Abu Bakar belikan manisan dan ini uangnya,” ungkap sang istri
memohon. Betapa kagetnya Abu Bakar melihat uang yang disisihkan istrinya untuk
membeli manisan. “Wahai istriku, uang ini ternyata cukup banyak. Aku akan
serahkan uang ini ke baitul mal, dan mulai besok kita usulkan agar gaji
khalifah supaya dikurangi sebesar jumlah uang manisan yang dikumpulkan setiap
hari, karena kita telah menerima gaji melebihi kecukupan sehari-hari,” tutur
Abu Bakar.
Sebelum wafat, Abu Bakar berwasiat kepada putrinya Aisyah.
“Kembalikanlah barang-barang keperluanku yang telah diterima dari baitul mal
kepada khalifah penggantiku. Sebenarnya aku tidak mau menerima gaji dari baitul
mal, tetapi karena Umar memaksa aku supaya berhenti berdagang dan
berkonsentrasi mengurus kekhalifahan,” ujarnya berwasiat.
Abu Bakar juga meminta agar kebun yang dimilikinya diserahkan
kepada khalifah penggantinya. “Itu sebagai pengganti uang yang telah aku terima
dari baitul mal,” kata Abu Bakar. Setelah ayahnya wafat, Aisyah menyuruh orang
untuk menyampaikan wasiat ayahnya kepada Umar. Umar pun berkata, “Semoga Allah
SWT merahmati ayahmu.”
Inilah sikap keteladanan dari seorang pemimpin sejati yang
perlu ditiru oleh para pemimpin bangsa kita. Perilaku pemimpin, memiliki
pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat. Terlebih, bangsa Indonesia
memiliki karakteristik masyarakat yang paternalistik yang rakyatnya
berorientasi ke atas.
Apa yang dilakukan pemimpin akan ditiru oleh
rakyatnya, baik perilaku yang baik maupun yang buruk. Dengan spirit Ramadhan,
maka hendaknya para pemimpin memberi teladan untuk hidup secara wajar agar
tidak menimbulkan kecemburuan sosial.
Post a Comment