Firman Allah SWT., QS. ‘Abasa [80]: 1-2
Dia (Muhammad) bermuka
masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya (Abdullah Ibn
Ummi Maktum).
(QS. ‘Abasa
[80]: 1-2)
Penyebutan kata ‘abasa dalam bentuk persona ketiga,
tidak secara langsung menunjuk Nabi saw., mengisyaratkan betapa halus teguran
ini, dan betapa Allah pun- dalam mendidik Nabi-Nya- tidak menuding beliau atau
secara tegas mempersalahkannya. Menurut Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, kata
‘abasa’ artinya mengerutkan dahi
karena merasa benci dengan apa yang sedang dilihat dan mengganggu
konsentrasinya.[1]
Selain itu, penyebutan
orang buta dalam ayat diatas merupakan pemberitahuan akan keuzurannya yang
harus dimaklumi dalam hal ia memotong pembicaraan Nabi SAW., Tatkala beliau
sedang disibukkan oleh pertemuannya dengan orang banyak.[2]
Rahasia di balik penggunaan ungkapan “seorang buta,” untuk memberitahukan udzur
yang terdapat padanya (kebutaan), karena ia telah memotong pembicaraan
Rasulullah SAW, yang saat itu sedang sibuk dengan para pembesar Quraisy. Kalau
saja ia dapat melihat bahwa Nabi SAW, sedang sibuk dengan para pembesar Quraisy
saat itu, tentu ia tidak akan memotong pembicaraan beliau Nabi SAW.[3]
Oleh karena itu, Penyebutan kata al-a’ma
(yang buta) mengisyaratkan bahwa ‘Abdullah bersikap demikian, karena dia tidak
melihat sehingga hal ini mestinya dapat merupakan alasan untuk mentoleransinya.
Sedangkan
menurut Sayyid Quthb, ayat ini menggunakan bentuk cerita tentang orang ketiga
yang bukan lawan bicara. Di dalam uslub ‘metode’ ini terdapat isyarat yang
mengesankan bahwa persoalan ini menjadi topik pembicaraan yang disertai
ketidaksenangan di sisi Allah. Dia tidak suka mengarahkan secara langsung
perkataan ini kepada Nabi-Nya, karena kasih sayangnya dan untuk menghormatinya.
Sehingga, tidak diucapkan langsung sesuatu yang tidak menyenangkan ini
kepadanya.[4]
Ayat
yang berbunyi, “an jaa-ahul a’maa”
ayat ini di-jar (kasrah)-kan dengan huruf “jar”
yang dihilangkan, yaitu huruf “laam”
sehingga ayat tersebut berbunyi, “lianjaa-ahuu.”
Peniadaan huruf jar tersebut dibolehkan di dalam ayat ini. Susunan yang
sebenarnya adalah, “liajli majiiil a’ma
lahuu (karena kedatangan orang buta).”[5]
Firman Allah SWT., dalam al-Qur’an Surat
‘Abasa [80]: 3-4
(3).Tahukah
kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4). atau Dia
(ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
(QS. ‘Abasa
[80]: 3-4)
Sungguh kamu tiada mengetahui apa
yang hendak dilakukannya yaitu keinginannya untuk membersihkan diri dan meminta
nasehat. Jika kamu mengetahui hal itu, niscaya kamu tidak akan memperlakukannya
secara demikian.[6]
Kata,
“yazakkaa” aslinya berbunyi, “yatazakkaa” yaitu berusaha membersihkan
dirinya. Huruf “ta” dimasukkan ke
dalam huruf “zai” sehingga menjadi “yazakka.”[7]
(5). Adapun orang yang merasa dirinya serba
cukup, (6). Maka kamu melayaninya.
(QS. ‘Abasa [80]: 5-6)
Menurut Syaikh Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, amma manis taghna,
maksudnya adalah orang yang merasa tidak memerlukan keimanan, ilmu, dan agama
karena mereka merasa memiliki banyak harta dan kedudukan.[8]
Adapun orang yang
merasa dirinya kaya dengan harta benda dan kekuasaan yang dimilikinya, ia tidak
membutuhkan iman dan apa yang ada padamu berupa ilmu yang terkandung dalam
al-Kitab yang telah diturunkan kepadamu. Lalu kamu melayani mereka dengan suatu
pengharapan akan kesediaan mereka memasuki Islam dan kesediaan untuk beriman.[9]
Kata istaghna terambil dari kata ghaniya yakni tidak butuh. Huruf sin
pada kata tersebut dipahami dalam arti merasa/menduga. Dia merasa tidak butuh
kepada Allah serta petunjuk Nabi Muhammad saw, karena kekayaan, pengetahuan,
dan kedudukan sosialnya.
Sedangkan kata tashadda terambil dari kata shada yaitu gema yakni suara yang
memantul. Seseorang yang menghadapi orang lain dan melayaninya diibaratkan
sebagai memantulkan suaranya, sehingga ia tidak berhenti kecuali kalau orang
itu berhenti sebagaimana gema suara dan pantulannya akan terus terdengar sampai
terhentinya suara itu. Siapa yang melakukan itu dinamai tashadda.
(7). Padahal
tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman).
(QS. ‘Abasa [80]: 7)
Lalu apakah engkau
mendapat cela jika ia tetap dalam keadaannya semula serta tidak mau
membersihkan diri dari kotoran kebodohan? Engkau tiada lain hanyalah seorang
Rasul yang diperintahkan untuk menyampaikan apa-apa yang datang dari Allah. Dan
engkau telah menunaikan kewajiban tersebut. Lalu mengapa engkau sangat
mengharapkan ke-Islaman mereka?
Oleh karena itu,
janganlah engkau terlalu berharap akan ke-Islaman mereka. Dan jangan pula
menyibukkan diri dengan ajakan kepada mereka kemudian engkau memalingkan muka
dari orang yang telah tertanam dalam jiwanya keimanan yang baik kepada-Ku.[10]
Firman Allah SWT., dalam al-Qur’an Surat
‘Abasa [80]: 8-10
(8). dan Adapun orang yang datang kepadamu
dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9). sedang ia takut kepada
(Allah), (10). Maka kamu mengabaikannya.
(QS. ‘Abasa [80]: 8-10)
Adapun terhadap orang
yang bergegas datang kepadamu- karena ingin memperoleh hidayah dari-Nya serta
mendekatkan diri kepada-Nya- dan ia berbuat demikian itu karena dorongan rasa
takut kepadanya serta berlaku hati-hati agar tidak terjerumus ke dalam jurang
kesesatan- tetapi engkau justru meremehkan dan mengabaikan serta tidak bersedia
menjawab pertanyaannya.[11]
Kata talahha terambil dari kata laha- yalha yang menyibukkan diri dengan
sesuatu, sehingga mengabaikan yang lain. Dalam Hasyiyat al-Jamal, digarisbawahi bahwa kata ini bukannya terambil
dari kata al-lahwu. Kata kedua ini bermakna lengan dan lupa. Kata yang
digunakan ayat ini tidak selalu berarti meninggalkan yang penting dengan
mengerjakan yang tidak penting, tetapi bisa juga meninggalkan yang lebih
penting karena mengerjakan yang penting.
[1] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Aisar At-Tafaasir li Al-Kalaami Al-Aliyyi
Al-Kabir, terj. Fityan Amaliy dkk, Jilid. 7, (Jakarta: Darus Sunnah Press,
Cet. II, 2011), hal. 802.
[2]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi, terj. Bahrun Abu Bakar, Juz 28, 29, dan 30, (Semarang:
CV. Toha Putra, Cet. II, 1992 ), hal. 72.
[3]Para ahli hadits sepakat membolehkan penyebutan
dengan menggunakan sifat-sifat seperti ini untuk maksud memberitahu, bukan
untuk mencela. Mereka mengatakan, “Ia seorang yang buta, seorang yang buta
sebelah, atau seorang yang tuli.” Tentang penyebutan profesi, “Ia seorang
tukang sol sepatu, tukang jahit, atau lainnya.” Dan semua sebutan yang
memberikan pengetahuan tentang deskripsi seorang perawi dalam sanad. Hal
semacam ini tidak termasuk dalam pencelaan dengan julukan yang jelek dalam
disiplin ilmu tentang perawi hadits. Juga tidak dianggap merendahkan apabila
ditujukan untuk pengenalan dengan niat yang baik, tanpa maksud merendahkan,
sebagaimana telah dijelaskan terdahulu. Ibid.,
hal. 60
[4]Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur’an, terj. As’ad
Yasin, Jilid. 23, (Jakarta: Gema Insani
Press, Cet. I, 2002), hal. 263.
[5] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, op. cit., hal. 805
[6] Ahmad Mustafa Al-Maragi, op. cit., hal. 73
[7] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, loc. cit., hal. 805
[8] Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, op. cit., hal. 803
[9] Ahmad Mustafa Al-Maragi, op. cit., hal. 73.
[10] Ibid., hal. 73.
[11] Ibid., hal. 74
Post a Comment