(24). Maka
hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. (25). Sesungguhnya Kami
benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), (26). kemudian Kami belah bumi
dengan sebaik-baiknya, (27). lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, (28).
anggur dan sayur-sayuran, (29). zaitun dan kurma, (30). kebun-kebun (yang)
lebat, (31). dan buah-buahan serta rumput-rumputan, (32). untuk kesenanganmu
dan untuk binatang-binatang ternakmu.
(QS. ‘Abasa [80]: 24-32)
Setelah
ayat-ayat yang lalu menguraikan perjalanan hidup manusia sejak nuthfah sampai dibangkitkan, dan menegaskan pula
bahwa manusia belum menyelesaikan tugasnya,
kini diuraikan anugerah Allah kepada manusia
dalam hidup ini yang berupa pangan, sekaligus mengisyaratkan bahwa itu merupakan dorongan untuk menyempurnakan
tugas-tugasnya. Allah berfirman:
Jika ia benar-benar hendak melaksanakan tugas-tugasnya secara sempurna maka hendaklah manusia itu melihat ke makanannya memperhatikan serta merenungkan bagaimana proses yang
dilaluinya sehingga siap dimakan.
Kehidupan
manusia ‘tergantung’ dengan makanannya. Semua ini terjadi dengan kehendak dan
kekuasaan-Nya agar manusia senantiasa mengingat dan bersyukur kepada-Nya.[1]
Sedangkan
menurut Syaikh Al-Maragi,
ayat ‘Abasa [80]: 24;
(24). Maka
hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
(QS. ‘Abasa [80]: 24)
Hendaknya manusia mau
memikirkan tentang kejadian dirinya dan makanan yang dimakannya. Bagaimana hal
itu diciptakan dan disediakan untuknya sehingga bisa dijadikan makanan yang
menunjang kelangsungan hidupnya. Di samping itu ia pun bisa merasakan kelezatan
makanan yang menunjang kekuatan tubuhnya agar tetap terjaga sampai batas umur
yang telah ditentukan untuknya.[2]
Sesungguhnya Kami telah
mencurahkan air dari langit sederas-derasnya,
kemudian Kami belah bumi yakni merekahnya
melalui tumbuh-tumbuhan dengan belahan yang
sempurna, lalu
Kami tumbuhkan padanya yakni bumi itu dan anggur serta sayur-sayuran, dan juga pohon Zaitun serta
pohon kurma, dan kebun-kebun yang lebat, serta buah-buahan
dan rumput-rumputan,
untuk kesenangan kamu dan untuk binatang-binatang ternak kamu.
Firman-Nya:
Sesungguhnya Kami telah mencurahkan air dari langit sederasderasnya dikomentari oleh
Sayyid Quthub lebih kurang sebagai berikut: "Pencurahan
air dalam bentuk hujan adalah suatu hakikat yang dikenal manusia di setiap lingkungan, dalam tingkat apapun
pengetahuan mereka. Ini adalah satu
hakikat yang dipaparkan kepada setiap orang. Adapun setelah kemajuan ilmu pengetahuan, maka kandungan teks tersebut
lebih dalam. Serta jauh lebih lama dari air hujan yang kita bayangkan turun dan
terlihat oleh siapapun setiap saat. Sayyid Quthub kemudian menukil pendapat
sementara ilmuwan yang menyatakan bahwa suhu bola dunia kita ketika berpisah dengan matahari adalah sekitar 12.000 (dua belas
ribu) derajat atau itulah suhu permukaan
bumi. Ketika itu semua unsur bebas karena itu
tidak dimungkinkan adanya perpaduan kimiawi yang berarti. Nanti setelah suhu bola dunia atau bagian-bagaian yang
membentuknya dingin secara bertahap,
maka terjadilah pembentukan dan perpaduan, dan lahirlah sel alam ini sebagaimana yang kita kenal. Hidrogen dan
oksigen tidak mungkin dapat menyatu kecuali
setelah suhu udara turun hingga 4.000 (empat
ribu) derajat Fahrenheit, ketika itu terbentuklah air yang kita kenal sekarang. Tentu saja ketika itu ia sangat luar biasa.
Semua samudra tadinya berada di atas
sedang semua unsur yang belum menyatu merupakan gas di udara, dan setelah terbentuknya air di lapisan luar
jatuhlah dia ke bumi, tetapi ketika itu
air tersebut belum dapat sampai ke permukaan bumi, karena suhu udara yang meliputi bagian terdekat ke permukaan
bumi lebih panas dari pada daerah
yang berada ribuan mil di atasnya. Kemudian berlalu waktu, sampai tiba saatnya air itu tiba di permukaan bumi yang
kemudian dari saat ke saat ia naik lagi ke
udara dalam bentuk uap."
Adapun
makna kemudian Kami belah bumi dengan belahan sempurna maka ulama yang syahid itu berkomentar bahwa setelah kemajuan
ilmu pengetahuan maka pembelahan bumi sehingga dapat ditumbuhi
tumbuhan bisa menjadi jauh lebih lama
dari apa yang kita bayangkan. Pembelahan itu boleh jadi
adalah keretakan kulit bumi yang disebabkan oleh banjir-banjir yang demikian besar — sebagaimana hipotesis para
ilmuwan, yakni banjir-banjir yang disebabkan oleh sekian faktor cuaca
yang diperkirakan oleh ilmuwan masa kini
sebagai faktor yang ikut serta menghancurkan batu-batu karang yang demikian kokoh yang ketika itu menyelimuti
bumi dan yang kemudian menjadi
kulitnya sampai akhirnya lahir tingkat tanah yang dapat ditumbuhi tumbuhan. Ini adalah salah satu
dampak dari air yang tercurah
sedemikian deras — pada masa lalu itu. Perurutan ini sejalan dengan perurutan yang disebut ayat di atas. Demikian
antara lain Sayyid Quthub melukiskan pengetahuan pada abad ini menyangkut
kandungan makna ayat 25 di atas.
Ayat-ayat
di atas menyebut aneka tumbuhan dan buah-buahan.Kurma tidak disebut buahnya, tetapi pohonnya. Ini karena
pohon kurma,di samping buah kurma, memiliki banyak keistimewaan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat Arab ketika itu. Mereka makan buah kurma dalam keadaan mentah, setengah matang dan matang. Mereka menjadikan
dari buahnya arak dan bijinya makanan unta. Dari dahan pohon kurma mereka
minum airnya. Dari pelepahnya mereka jadikan bahan rumah kediaman
mereka, juga dari pohon itu mereka membuat tikar, tali, bahkan
perlengkapan rumah tangga.
Kata
abban dipahami oleh banyak ulama dalam arti rerumputan. Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar ra. ditanyai
tentang makna kata ini, lalu beliau menjawab: "Langit apa tempat aku
berlindung, bumi, apa tempat aku berpijak, kalau aku mengucapkan menyangkut
kitab Allah sesuatu yang tidak kuketahui." Ucapan serupa
dikemukakan oleh `Umar Ibn al-Khaththab ketika beliau membaca ayat-ayat di atas.
Beliau berkata:
"Semua ini telah kita ketahui, tetapi apakah abban itu?"
Lalu beliau mengangkat tongkat yang dipegangnya dan
berkata. "Inilah (yakni upaya mencari
apa yang tidak dapat diketahui) yang merupakan pemaksaan. Tidak ada celaan bagimu wahai putra Ibu `Umar (maksud
beliau dirinya sendiri) jika tidak
mengetahui apakah abban itu." Lalu beliau mengarah kepada siapa yang di sekelilingnya seraya berkata:
"Ikutilah apa yang dijelaskan kepada
kamu dan yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah, dan apa yang kamu tidak ketahui, maka serahkanlah
kepada Tuhan."
Salah satu
makna yang ingin ditekankan oleh Sayyidina `Umar ra. dengan ucapannya itu adalah tidak menafsirkan al-Qur'an secara spekulatif.
Kita tidak harus menafsirkan apa yang kita tidak ketahui. Kita hendaknya menyerahkan kepada generasi berikut, boleh jadi
mereka dapat menjelaskannya lebih
baik dan alangkah banyaknya ucapan Allah — yang dikemukakan oleh ulama-ulama yang lalu — yang ternyata dapat dijelaskan
kembali dengan memuaskan oleh ulama
generasi sesudah mereka.
Kata atau redaksi yang tidak jelas maknanya dapat ditarik. Yang terpenting adalah menarik makna umum yang dikandungnya. Ayat di
atas walau tidak jelas makna salah satu kata-katanya
oleh sementara sahabat Nabi saw.,
namun mereka dapat menarik kesimpulan dan keseluruhan ayat-ayatnya bahwa Allah melimpahkan kepada manusia dan
hewan nikmat-Nya yang antara lain
adalah nikmat pangan, dan itu haruslah disyukuri.
Bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Umar ra. dan sekian banyak sahabat lain tidak mengetahuinya, boleh jadi karena kata tersebut terdapat
dalam perbendaharaan bahasa Arab dan pernah digunakan oleh generasi dahulu, tetapi tidak populer lagi. Memang alangkah
banyaknya kata-kata dalam semua
bahasa, bahkan alangkah banyaknya bahasa yang telah mati karena tidak digunakan. Rupanya al-Qur'an bermaksud
menghidupkan kembali kata itu agar
digunakan kembali.
Post a Comment