Sumber Gambar: |
Dalam agama Islam, ada
hadits yang melarang melukiskan makhluk yang hidup, apalagi manusia. Meskipun
hal itu di Persi dan India tidak dihiraukan, di Indonesia ternyata larangan itu
diikuti. Denga kata lain, masalah itu masalah khilafiyah. Di dalam al-Qur’an
sebenarnya tidak ada larangan, tetapi di dalam hadits ada didapati sesuatu yang
menyinggung soal ini. Hadits tersebut artinya sebagai berikut:
Berkata Said Ibn Hasan,
“Ketika saya bersama dengan Ibn Abbas datang seorang laki-laki, ia berkata: “Hai
Ibn Abbas, aku hidup dari kerajinan tanganku membuat arca seperti ini.” Lalu Ibn
Abbas menjawab, “Tidak aku katakan kepadamu kecuali apa yang telah aku dengar
dari Rasulullah SAW. Beliau bersabda, “Siapa yang telah melukis sebuah gambar
maka dia akan disiksa Tuhan sampai dia dapat memberinya nyawa, tetapi selamanya
dia tidak akan mungkin memberinya nyawa.”
Menurut mafhum hadits
itu, menggambar (seni lukis) dibolehkan dalam agama Islam, dalam hal ini ulama
sepakat. Akan tetapi,
mereka berbeda pendapat mengenai bentuk dari objek dan motif yang dilukis.
Pendapat pertama mengatakan, hadis ini melarang seorang membuat gambar atau
pahatan yang objek atau motif suatu makhluk bernyawa, manusia atau binatang.
Siapa yang membuat gambar seperti itu maka di akhirat ia harus memberinya nyawa
dan kalau tidak bisa maka ia akan menerima siksa.
Di kalangan ulama
Indonesia memang ada yang menganut paham ini, sehingga di antara mereka ada
yang tidak mau di foto karena, pertama, foto sama dengan menggambar makhluk
hidup bernyawa. Pendapat kedua mengatakan, boleh saja membuat gambar makhluk
bernyawa dengan
syarat
bentuknya tidak diraba. Fito tidak dilarang, yang dilarang kalau merupakan
relief atau arca. Pendapat ketiga mengatakan, boleh membuat gambar makhluk
bernyawa, asal saja dalam rupa yang tidak mungkin makhluk itu hidup, misalnya
membuat arca orang hingga dada ke atas, membuat relief dan sebagainya.
Pendapat keempat
mengatakan, melihat keadaan, suasana, tempat, dan waktu, yaitu memerhatikan
hikmah dari larangan itu. Larangan membuat lukisan yang berbentuk makhluk
bernyawa pada permulaan lahirnya Islam dipandang dari sudut tauhid, memang
penting karena pada waktu nabi masih hidup di kota Makkah masih banyak bekas
reruntuhan arca yang dulunya disembah oleh nenek moyang bangsa Arab. Arca itu
berupa tokoh-tokoh Latta, Uzza, dan Manat.
Apabila kepercayaan politeisme
itu tidak dibongkar sampai ke akar-akarnya, apabila arca tersebut tidak
dihancurkan, apabila seni patung diberi kesempatan, maka akan tumbuh tunas baru
kepercayaan lama itu. Hal ini membahayakan sendi-sendi ketauhidan para muallaf.
Namun, ketika hakikat tauhid telah mendarah daging, maka tidak ada alasan untuk melarang umat Islam. Pada
abad ke-20 ini untuk membuat foto, arca orang atau binatang untuk keperluan
ilmu pengetahuan
atau sejarah, misalnya patung pahlawan.
Ketika Islam baru
datang ke Indonesia, terutama ke Jawa, ada kehati-hatian para penyiar agama.
Banyak candi-candi besar, termasuk candi borobudur, yang semula ditimbun tanah
(baru pada zaman Belanda ditemukan dan digali kembali) supaya tidak mengganggu
para muallaf. Membuat patung dan seni ukir pun dilarang. Kalaupun timbul
kembali, kesenian itu harus
disamarkan, sehingga seni ukir dan seni patung menjadi terbatas kepada seni
ukir hiasan saja. Untuk seni ukir hias, orang
mengambil pola-pola berupa daun-daun, bunga-bungaan, bukit-bukit, pemandangan,
garis-garis geometri, dan huruf Arab. Pola ini kerap kali digunakan untuk
menyamarkan lukisan makhluk hidup (biasanya binatang), bahkan juga untuk gambar wayang.
Menghias masjid pun ada
larangan, cukup tulisan-tulisan yang mengingatkan manusia kepada Allah dan nabi
serta firman-firman-Nya. Hal ini di Indonesia dipatuhi. Oleh sebab itu, seni
hias seakan-akan tertumpah di makam-makam, sedangkan masjid hanya mimbarnya
saja yang diperindah dengan ukiran-ukiran. Salah satu contoh masjid yang dihiasi
dengan ukiran-ukiran adalah Masjid Mantingan dekat Jepara berupa pigura-pigura
itu kini dipasangkan pada tembok-tembok masjid.
Ada juga makam yang
dipenuhi dengan hiasan, baik pada jiratnya, nisannya, cungkupnya, tiang-tiang
cungkup, dan lain-lain. Jirat
kebanyakan dihiasi
dengan bingkai-bingkai yang contohnya dari bingkai candi, atau nisannya dibuat
dari batu atau kayu yang diukir. Di Troloyo Sulawesi Selatan, batu nisan
menjadi hasil kesenian tersendiri, baik karena bentuknya atau karena ukurannya.
Gapura-gapura juga
banyak diukir dengan pahatan-pahatan indah, misalnya gapura di Tembayat
(Klaten) yang dibuat oleh Sultan Agung Mataram (1633). Hiasan yang mewah
terdapat pada gapura di Sendanguwur (Tuban) yang polanya terutama berupa
gunung-gunung karang, didukung oleh sayap-sayap yang melebar melingkupi seluruh
pintu gerbangnya, di bawah sayap sebelah kanan tampak ada sebuah pola yang
mengandung makna berupa sebuah pintu bersayap. Hanya lambang apa itu belum ada
yang dapat menentukan. Mungkin sekali lambang pintu surga seperti juga yang
terdapat pada gunungan dalam wayang purwa. Ada pula kala marga, melengkung
melingkupi lubang pintu gapura. Corak dan pola-pola hiasan pada gapura
Sendangduwur banyak persamaannya dengan gapura-gapura di ujung selatan pulau Bali,
yaitu Pura Ulu Watu dan Pura Sakenan (di pulau Sarangan).
Post a Comment