BAB II
Filsafat Islam; Pengertian dan
Dinamikanya
A.
Defenisi Filsafat
Islam
Falsafah berasal
dari bahasa Yunani. Dalam bahasa Arab, kata ini merupakan kata benda-kerja (masdar) yang diturunkan dari kata philosophia, yang merupakan gabungan
dari philos dan sophia: yang pertama berarti cinta dan yang kedua berarti
kebijaksanaan. Oleh karena itu, philosophia
berarti cinta kebijaksanaan. Plato menyebut Socrates sebagai seorang philosophos (filosof) dalam pengertian
seorang pecinta kebijaksanaan.[1]
Filsuf Heroklaitos
(540-480 SM) sudah menggunakan kata filsafat untuk menerangkan hanya Tuhan yang
mengetahui hikmah dan pemilik hikmah. Manusia harus puas dengan tugasnya di
dunia sebagai pencari dan pencinta hikmah.[2] Kemudian
Socrates (470-399 SM) memberi arti filsafat dengan tegas, yaitu pengetahuan
sejati, terutama untuk menentang kaum Sofis yang menamakan dirinya para
bijaksana (sofos). Dia bersama pengikutnya menyadari bukan orang yang sudah
bijaksana, tetapi hanya mencintai kebijaksanaan dan berusaha mencarinya.
Dalam arti
pengetahuan sejati (pengetahuan yang benar), kata philosophia bertahan mulai
Plato sampai Aristoteles, tetapi obyeknya meliputi juga ilmu, yaitu usaha untuk
mencari sebab yang universal. Sedangkan pembentukan kata filsafat menjadi kata
Indonesia diambil dari kata Barat fil dan safat dari kata Arab sehingga
terjadilah gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat.[3]
Ibrahim Madkur
memberikan batasan Filsafat Islam itu adalah pemikiran yang lahir dalam dunia
Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah, alam semesta, wahyu,
dan akal.[4] Sedangkan
Ahmad Fu’ad al-Ahwani mendefenisikan Filsafat Islam sebagai pembahasan tentang
alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.[5]
Ketika kaum Muslim
berusaha mengembangkan kembali klasifikasi sains menurut Aristoteles, mereka
memakai kata-kata falsafah. Mereka mengatakan, “Filsafat, yaitu sains rasional,
mempunyai dua bagian: teoritis dan praktis.” Filsafat teoritis menggambarkan
sesuatu sebagaimana adanya; sedangkan filsafat praktis menggambarkan perilaku
manusia sebagaimana seharusnya. Filsafat teoritis terdiri atas tiga bagian:
teologi atau filsafat tinggi, matematika atau filsafat menengah, dan ilmu-ilmu
kealaman atau filsafat rendah. Filsafat tinggi atau teologi pada gilirannya
terdiri atas dua disiplin: fenomenologi umum dan teologi itu sendiri.
Matematika terdiri atas empat bagian, setiap bagiannya menjadi satu sains
tersendiri: aritmetika, geometri, astronomi, dan musik. Ilmu kealaman mempunyai
banyak bagian. Filsafat praktis dibagi menjadi etika, ekonomi domestik, dan
kewarganegaraan (civics). Filosof yang lengkap menguasai seluruh sains
tersebut.[6]
B. Corak Pemikiran dalam Filsafat
Islam
a.
Peripatetisme
Filsafat
peripatetik[7]
dapat kita lihat pada gejala Aristotelianisme. Para filsuf Islam yang masuk
dalam kategori filsuf peripatetik diantaranya adalah Al-Razi, Al-Farabi, Ikhwan
al-Shafa, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, Ibnu Bajjah (wafat 533 H/ 1138 M), Ibnu
Tufail (wafat 581 H/ 1185 M) dan Ibnu Rushd (520-595 H/1126-1198 M). Abad ke-11
menjadi saksi atas munculnya sejumlah ilmuwan yang meletakkan dasar-dasar
ilmiah yang genuine. Puncak dari perjalanan ini ada pada kelahiran kembali
Aristotelianisme. Peripatetik yang dalam bahasaArab dikenal dengan nama al-Masyai’yyah
berarti orang yang berjalan diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu
berjalan-jalan dalam mengajar.[8]
b.
Illuminasionisme
Filsafat
iluminasi[9]
yang dalam bahasa Arab disebut dengan Hikmat al-Isyraq dapat kita
ikuti jejaknya mulai dari al-Maqtul Syihab al-Din al-Suhrawardi. Ia lahir di
Aleppo, Suriah pada 1154 dan dihukum mati oleh Shaladin pada 1191 atas tuduhan
kafir seperti yang diklaim oleh para teolog dan fuqaha. Dalam banyak risalah,
al-Suhrawardi menyatakan bahwa pendapat-pendapatnya sesuai dengan metode
peripatetik konvensional yang ia sebut sebagai metode diskursif yang baik.
Namun metode tersebut tidak lagi memadai bagi mereka yang berusaha mencari
Tuhan atau bagi yang ingin memadukan metode diskursif dengan pengalaman batin
sekaligus. Menurut al-Suhrawardi, agar dapat melakukan tugas ini, seseorang dapat
mengambil jalur filsafat iluminasi atau Hikmat al-Isyraq.
Inti dari
ajaran hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi adalah tentang sifat dan pembiasan cahaya.
Cahaya ini, menurutnya, tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas
yang paling nyata dan yang menampakkan segala sesuatu. Cahaya ini juga
merupakan substansi yang masuk ke dalam komposisi semua substansi yang lain.
Segala sesuatu selain “Cahaya Murni” adalah zat yang membutuhkan penyangga atau
sebagai substansi gelap. Objek-objek materil yang mampu menerima cahaya dan
kegelapan sekaligus disebut barzakh.[10]
Dalam
hubungannya dengan objek-objek yang berada di bawahnya, cahaya memiliki dua
bentuk, yakni cahaya yang terang pada dirinya dan cahaya yang menerangi yang
lain. Cahaya yang terakhir ini merupakan penyebab tampaknya segala sesuatu yang
tidak bisa tidak beremanasi darinya. Di puncak urutan wujud terdapat
cahaya-cahaya murni yang membentuk anak tangga menaik. Pada bagian tertinggi
dari urutan anak tangga ini disebut Cahaya di atas Cahaya yang menjadi sumber
eksistensi semua cahaya yang ada di bawahnya, baik yang bersifat murni maupun
campuran. Oleh al-Suhrawardi cahaya ini juga disebut Cahaya Mandiri, Cahaya
Suci atau Wajib al-Wujud.[11]
c. Hikmah al-Muta’aliyah
Filsuf yang
juga banyak diinspirasikan oleh Hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi namun
kemudian memodifikasinya ajaran tersebut sedemikian rupa sehinga menjadi ilm
al-huduri (knowledge by presence) adalah Mulla Shadra. Mulla Shadra
lahir di Syiraz, Persia pada tahun 1572 dan belajar pada guru-guru
Isyraqi yang pada saat itu sedang menggejala di dalam tradisi filsafat Persia.
Karya yang menjadi magnum opus Mulla Shadra adalah Hikmat
al-Muta’aliyah (hikmat transendental) yang lebih dikenal dengan al-asfar
al-arba’ah (empat perjalanan). Empat perjalanan yang dimaksud oleh Mulla
Shadra dikemukakan dalam al-asfar al-arba’ah sebagai berikut: pertama
perjalanan dari makhluk menuju Tuhan, kedua perjalanan menuju Tuhan melalui
bimbingan Tuhan, ketiga perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui
bimbingan Tuhan, dan yang keempat adalah perjalanan di dalam makhluk
melalui bimbingan Tuhan.
Salah satu pemikiran Mulla Shadra yang
sampai kini masih fenomenal dalam tradisi filsafat di Persia adalah tentang ‘ilm
al-huduri atau knowledge by presence. Ilmu ini biasanya
dipertentangkan dengan knowledge by representation (‘ilm al-husuli).
Menurut Mulla Shadra perbedaan antara ‘ilm al-huduri dengan ‘ilm
al-Husuli ada pada hubungan antara subjek penahu dengan objek yang
diketahui. Dalam ‘ilm al-husuli (knowledge by representation),
hubungan antara subjek dengan objek jelas terpisah sehingga ada konsep dualisme
di dalamnya. Sementara pada ‘ilm al-huduri (knowledge by presence)
dualisme itu hilang. Yang ada adalah kesatuan antara subjek penahu dan objek
yang diketahui.
Kedua metode ini pada perkembangan
berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan Islam. Pendukung dari kedua
paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia Islam. Namun
terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode
lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam
(teologi)
[4] Ibrahim
Madkur, Fi Falsafah al-Islamiyyah wa
Manhaj wa Tathbiquh, Jilid I (Kairo:Dar al-Ma’arif, 1968), h. 19
[7]Peripatetik (Masysya’i) merupakan sintetis dari ajaran-ajaran wahyu Islam,
Aristotelianisme baik dari aliran Athena maupun Alexandria.
[9] Sebutan iluminasi mengacu kepada Plato dan tradisi Neo-Platonisme.
Sedangkan metode filsafat dalam tradisi Neo-Platonisme, yang disebut dengan
metode intuisi, dilakukan dengan jalan instropeksi intuisi, dan dengan
pemakaian simbol-simbol, diusahakan pembersihan intelektual, sementara
bersamaan dengan itu dilakukan penyucian jiwa (purifikasi), sehingga tercapai
suatu penyingkapan batin (enlightment). Lihat, Budhy Munawar Rahman, Rekonstruksi dan Renungan Relidius Islam,
(Jakarta: Paramadina, 1996), h. 328
[10] Barzakh oleh Majid Fakhry diingdriskan menjadi isthmuse, yaitu sepetak tanah yang
dikitari air atau galengan.
Post a Comment