BAB III
Sejarah Singkat Perkembangan
Filsafat Islam
A.
Perkembangan Filsafat
Islam di Dunia Islam Timur
Pada saat imperium Islam merambah
wilayah-wilayah Timur Tengah yang kental dengan kebudayaan Yunani, pertanyaan
mengenai apa yang bisa dimanfaatkan dari kebudayaan ini segera muncul.
Pertanyaan yang sama sebenarnya juga sempat muncul saat (imperium) Islam
menaklukkan Timur; dan Dunia Islam pun mau tak mau harus bersentuhan dengan
kebudayaan India dan Persia.[1]
Pertanyaan ini tentunya tidak sekadar
menyangkut soal pengetahuan, yakni pengetahuan apa yang bermanfaat dan penting.
Lebih dari itu, ia menyangkut identitas, yakni apakah identitas sebagai Muslim
sudah demikian memadai sehingga informasi teoretis lain tidak lagi diperlukan?
Tentu saja tidak. Masih begitu banyak informasi yang netral menurut ukuran
agama, namun sangat penting untuk diketahui secara luar.[2]
Antara abad ke-7 dan 8, umat Muslim
dan Kristen berjumpa untuk pertama kalinya di kancah kebudayaan. Bersamaan
dengan itu, Damaskus menyaksikan gejolak “pencarian.” Nyatanya, gejolak ini
memang sangat politis, bahkan juga tragis. Barangkali akibat tumpang-tindihnya
urusan agama dan politik dalam sejarah Islam, perselisihan teologis paling awal
antara kaum Qadariah (Pendukung kebebasan kehendak) dan kaum tradisionalis
(pendukung takdir Tuhan) berkisar pada masalah tanggungjawab politik, yaitu
bernakah para khalifah Bani Umayyah dapat seenaknya menindas dan menggasak
hak-hak rakyat dengan alasan bahwa “semua adalah kehendak dan takdir Allah?
Para teolog Qadariyah, seperti Ma’bad al-Juhani (w. 699) dan Ghalin al-Dimasyqi
(w. 743) jelas-jelas menentang alasan naif itu. Mereka menuntut
pertanggungjawaban para khalifah atas semua tindakan zalim mereka, hingga ke
masalah yang remeh temeh sekalipun.[3]
Sejak itu, para teolog rupanya
merasakan kebutuhan yang luar biasa pada filsafat secara umum dan logika secara
khusus sebagai alat bantu untuk menjernihakn konsep dan metode pembuktian
mereka. [4] Oleh karena
itulah, karya-karya filsafat Yunani diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab pada abad ke-9 M. Umat Muslim mengawalinya dengan mempelajari
teks-teks tersebut, terjemahan-terjemahan dan komentar-komentar yang ada dan
lantas mereka menulis komentar mereka sendiri, juga ringkasan dan kritisisme
dalam bahasa Arab. Kemudian mereka berusaha befilsafat sepanjang garis-garis
Yunani, sehingga muncullah serentetan pemikir yang dinamakan falasifah oleh
para penulis Arab, bermula pada Abad ke-9 M dan berakhir saat jatuhnya
kekuasaan Muslim di Timur. Filsafat dapat berkembang hanya dalam sebuah
masyarakat yang menikmati kebebasan, kedamaian dan kemakmuran. Setelah
penjarahan terhadap Baghdad, Negara-negara muslim di Timur berhenti menikmati
pikiran bebas, ini dikarenakan seluruh perkembangan budaya Muslim mengalami
kemunduran dan filsafat adalah yang pertama menderita. Pelopornya adalah
Al-kindi. Sedangkan para filosofnya adalah; Al-Razi, Al-Farabi, Ikhwan
al-Shafa, Ibn Miskawaih, Ibn Sina, dan Al-Ghazali.[5]
B. Perkembangan Filsafat Islam di Dunia Islam Barat
Penolakan
masyarakat Muslim belahan Timur- yang berada di bawah kekuasaan kaum As’ariyah,
Hanbaliyah, dan yang serupa- terhadap filsafat memaksan filsafat untuk mencari
perlindungan di bagian barat Kerajaan Islam. Dan kira-kira sejak abad ke-8,
Bani Umayyah berhasil membangun sebuah dinasti di Spanyol yang mampu bersaing
dengan dinasti Bani ‘Abbas di Bagdad dan Bani Umayyah di Kordoba, ibu kota
Andalusia (Spanyol Muslim), tidak mempengaruhi hubungan kultural antara Barat
dan Timur. Terbukti, banyak sekali ilmuwan Andalusia yang melakukan perjalanan
ke timur.[6]
Menurut
Ahli sejarah filsafat dan kedokteran setempat, Sha’id al-Andalusi (w. 1070),
studi kedokteran dan “sains-sains kuno” di Andalusia telah dimulai sejak masa
pemerintahan al-Hakam II- yang dikenal juga sebagai al-Mustanshir (961-76).
Pada masa pemerintahannya terjadi pemborongan buku-buku ilmiah dan filsafat
secara besar-besaran sehingga selama masa itu, Kordoba bisa menyaingi Bagdad
dalam hal infrastruktur universitas dan perpustakaannya.[7]
Namun, tak
lama waktu berselang, pada masa pemerintahan Hisyam II (976-1009), segala
sesuatu berubah total. Hisyam II memerintahkan untuk membakari buku-buku
tentang “sains-sains kuno” yang dengan susah payah telah dikoleksi oleh
pendahulunya, al-Hakam II. Terutama buku-buku yang dibakar adalah yang
menyangkut soal astronomi dan logika yang dianggap bertentangan dengan agama.
Barangkali, ilmuwan paling
menonjol pada periode ini adalah Maslamah ibn Ahmad al-Majrithi (w.1008).
Ilmuwan yang satu ini giat ke Timur dan menjalin hubungan baik dengan kelompok
Ikhwan al-Shafa. Konon, dia dan muridnya, al-Kirmani, yang memboyong Rasail
Ihkwan al-Shafa ke Andalusia. Menurut sebuah cerita, al-Majrithi ini adalah
penulis lima puluh surat “ringkasan” Ikhwan al-Shafa yang dilampirkan pada
Rasail tersebut. Selain itu, al-Majrithi juga dikagumi lantaran tulisannya
tentang fisika dan ilmu magis yang berjudul Ghayat al-Hakim (Tujuan Filosof). Ilmuwan-ilmuwan
Andalusia lain yang menaruh perhatian besar pada masalah-masalah kefilsafatan,
seperti Ibn Bajjah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd.
[5] Ali Mahdi Khan, Dasar-Dasar Filsafat Islam Pengantar Ke Gerbang
Pemikiran, Ter. Subarkah, (Yogyakarta: Nuansa, 2004), h. 47
Post a Comment